Hindari Hoax di Media Sosial

 

Oleh: Steph Tupeng Taga, Peneliti Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia

Akhir-akhir ini kita banyak dikejutkan dengan pemberitaan di media sosial mengenai maraknya penyerangan pemuka agama. Pemberitaan ini dimulai dengan isu PKI yang sejak dulu yang dinaikan oleh pihak pihak tertentu dengan tujuan untuk menimbulkan keresahan masyarakat. Kali ini, isu Kebangkitan PKI dikaitkan dengan penyerangan tokoh agama yang belakangan terjadi. Faktanya, penyerangan tokoh agama tersebut tidak berhubungan mengingat tidak adanya keterkaitan antar pelaku.

Dengan seiring perkembangan teknologi  yang tidak bisa kita hindari, banyak media sosial yang dapat dimanfaatkan untuk berjejaring dan mencari informasi seperti Facebook, Twitter, Instagram dan lainnya. Kehadiran media sosial tersebut pada dasarnya memudahkan individu untuk mendapatkan informasi dengan mudah melalui media sosial, namun kita tidak dapat memastikan informasi tersebut adalah fakta  atau sebuah  kebohongan belaka (hoax)  sebelum melakukan klarifikasi. Seperti kejadian penyerangan ulama, banyak di media sosial yang justru menyebarkan hoax tentang maraknya kejadian penyerangan ulama yang dikaitkan dengan isu  kebangkitan PKI yang merupakan organisasi yang sudah terlarang di Indonesia. Kepolisian sendiri mengklarifikasi dari 45 pemberitaan hanya 3 yang benar tarjadi. Dengan klarifikasi ini kita dapat melihat tajamnya media sosial.

Sebelumnya, di media sosial, muncul isu tentang meninggalnya seorang muazin di kabupaten Majalengka Jawa Barat. Polres  Majalengka mengklarifikasi terkait kejadian ini merupakan  berita hoax. Klarifikasi ini dibenarkan karena pihak keluarga korban telah melaporkan kejadian ini .Selain kejadian tersebut ada beberapa kejadian lainnya seperti surat ancaman untuk penyerangan ulama di di Depok, Jawa Barat. Surat ini hanya dibuat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk membuat masyarakat resah ditambah dengan maraknya kejadian penyerangan ulama yang sebenarnya tidak terjadi tetapi di dunia maya ada oknum-oknum yang melebih- lebihkan kejadian dengan alasan PKI telah bangkit.

Dengan adanya  kejadian penangkapan penyebar hoax dan ujaran kebencian yang bernama “The Family MCA” oleh pihak kepolisian pada Februari 2018 lalu, sebenarnya telah menandakan adanya oknum-oknum yang dengan sengaja menyebarkan berita hoax dan ujaran kebencian dengan tujuan menciptakan kebingungan, hasutan, provokasi, dan saling fitnah di masyarakat.

Bahaya  Hoax

Hoax atau  pemberitaan/ informasi palsu pada dasarnya merupakan usaha untuk menipu atau mengakali pembaca atau pendengar agar mempercayai apa yang di informasikan. Informasi hoax ini sangat berpotensi menjadi fitnah bahkan dapat mengadu domba masyarakat lus sehingga timbul perpecahan antar masyarakat. Seperti yang terjadi di Srilangka pada pada 8 Maret 2018, hoax telah memicu bentrok antara penganut Islam dan penganut Budha di negera itu hingga menelan korban jiwa. Bahkan Presiden Srilanka Maithripala Sirisena menetapkan keadaan darurat selama tujuh hari sejak Selasa untuk menghentikan dan mencegah kekerasan menyebar ke wilayah lain.

Kita berharap di Indonesia tidak terjadi hal serupa, mengingat majemuknya Indonesia dengan berbagai latar belakangnya. Dengan maraknya penyebaran hoax belakangan ini, kita harusnya menyadari bahaya yang akan ditimbulkan apabila hoax ini dibiarkankan. Kita harus cerdas dalam menelan informasi terutama informasi yang kita peroleh dari media yang belum jelas sumbernya.

Sebagai pengguna media sosial ada baiknya kita bijak dalam bertindak, khususnya saat membagikan sebuah informasi di media sosial. Apabila kita belum mengetahui informasi yang kita bagikan benar terjadi atau tidak. Lebih baik di urungkan sampai kita mengetahui informasi tersebut secara benar. Apabila kita membagikan informasi yang tidak benar, secara tidak langsung kita dapat dikategorikan sebagai penyebar hoax. Indonesia sudah mengantisipasi penyebaran hoax melalui UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang di dalamnya mengatur ancaman hukuman yang tegas atas penyebaran berita bohong yang di sebarkan di media elektronik. Hukumannya berupa pidana selama 6 tahun  dan atau denda Rp 1 Miliar. 

Media sosial ini banyak memiliki dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif nya selain kita dapat berinteraksi tanpa mengenal jarak dan waktu, masyarakat juga dapat mengetahui banyak informasi secara cepat. Namun, kita tidak mengetahui apakah informasi tersebut benar terjadi atau sebuah kebohongan belaka. Hendaknya kita menyaring informasi yang kita terima terutama di media sosial. Kita harus melakukan pengecekan silang apakah informasi tersebut benar benar terjadi. Dengan adanya beberapa langkah tersebut, maka diharapkan peredaran hoax dapat ditekan secara signifikan sehingga dapat memelihata persatuan dan keharmonisan di masyarakat.

 

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…