Data Impor Garam?

Persoalan impor garam kembali mencuat ke permukaan. Penyebabnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sekarang tidak lagi memberikan rekomendasi impor kepada kementerian lain yang membutuhkannya. Padahal, KKP pada awalnya bertujuan mulia melindungi produsen lokal, dalam hal ini petani dan PT Garam, sementara di pihak lain Kementerian Perindustrian yang menjadi pelindung untuk pebisnis yang menggunakan garam sebagai bahan dasarnya.

Nah, awal polemik muncul ketika KKP merekomendasikan impor garam sebesar 2,1 juta ton. Namun, Kemenperin melalui Kemenko Perekonomian, menyatakan membutuhkan impor garam sebesar 3,7 juta ton untuk kebutuhan industri.

Pemerintah Pusat berdasarkan pasal 1 ayat 32 adalah Presiden yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, dan merujuk pasal 37 ayat 3, bahwa untuk melakukan impor, menteri terkait harus mendapatkan rekomendasi dari kementerian (KKP), sesuai pasal 1 ayat 34, bahwa rekomendasi ini berasal dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan Perikanan.

Artinya, apabila Kemenperin atau kementerian manapun yang berencana untuk impor garam, maka wajib mendapatkan rekomendasi dulu dari KKP. Dengan tanggung jawab yang besar sebagai pelaksana UU, KKP pun secara berkala menerbitkan Neraca Garam Nasional. Berdasarkan data tersebut, pada 2015, kebutuhan garam nasional sebesar 3,75 juta ton. Jumlah ini meningkat sebesar 6,16% dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 3,53 juta ton.

Kebutuhan terbesar pun terlihat berasal dari garam industri. Pada 2016, sebesar 65,25% kebutuhan garam nasional atau setara dengan 2,45 juta ton berasal dari permintaan industri. Sedangkan, untuk konsumsi, kebutuhannya hanya 1,30 juta ton.

Dalam hal produksi, sejak 2010, jumlahnya meningkat tajam. Tercatat, pada 2010, produksi nasional hanya 30.600 ton dan meningkat 3.537,6% pada 2011 menjadi 1,11 juta ton. Pada 2015, Indonesia bahkan mampu memproduksi 2,84 juta ton atau meningkat 29,86% dibandingkan tahun sebelumnya.

Garam rakyat adalah produsen terbesar. Pada 2015, produksi dari lini mengambil porsi 87,85% atau sebesar 2,50 juta ton. Sisanya, diproduksi oleh PT Garam, yaitu sebesar 345 ribu ton. Polemik impor muncul dari perbedaan data mengenai kebutuhan garam oleh industri. Berdasarkan data KKP, pada 2015, kebutuhan garam untuk industri sebesar 2,45 juta ton.

Berdasarkan informasi laman Tirto.id, kebutuhan ini dihitung dari empat industri, pertama farmasi yang membutuhkan NaCL minimal 99,8% sebanyak 2.418 ton. Kedua, industri kimia dengan NaCL minimal 96% sebanyak 1,80 juta ton, industri aneka pangan dengan NaCL minimal 97% sebanyak 509,6 ribu ton. Serta, industri perminyakan, penyamakan kulit, pakan ternak/ikan, water treatment, es batu dan lainnya dengan NaCL minimal 85%, membutuhkan 140.000 ton.

Sayangnya, untuk kebutuhan garam industri 2018, hingga saat ini, KKP belum memberikan rincian penggunaannya. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan pihaknya telah menghitung perkiraan produksi dan kebutuhan garam industri.

Berdasarkan perhitungannya, angka 2,1 juta ton itu muncul karena mempertimbangkan kebutuhan garam secara total di tahun ini yang mencapai 3,9 juta ton, perkiraan produksi sebesar 1,5 juta ton, dan stok sisa sebanyak 340 ribu ton. Sedangkan, menurut perhitungan Kemenperin, kebutuhan garam industri pada 2018 sebesar 3,8 juta ton dengan rincian penyaluran pada industri Chlor Alkali Plant (CAP) yang akan memenuhi permintaan industri kertas dan petrokimia sebesar 2,49 juta ton. Untuk industri farmasi dan kosmetik sebesar 6.846 ton, industri aneka pangan sebesar 535 ribu ton. Sisanya, sebesar 740 ribu ton akan disalurkan untuk industri pengasinan ikan, penyamakan kulit, pakan ternak, tekstil dan resin, pengeboran minyak serta sabun dan detergen.

Permasalahan beda data memang bukan hal baru di Indonesia. Sebenarnya tidaklah sulit untuk menemukan perbedaan angka dari instansi pemerintah yang berkepentingan. Seperti kasus impor garam ini. Melihat data tersebut, baik KKP maupun Kemenperin sebenarnya memiliki sudut pandangan yang berbeda dalam berhitung. Dari sisi KKP, perhitungannya selain didasari oleh informasi industri, juga mempertimbangkan perkiraan produksi dan stok sisa.

Sedangkan, dari Kemenperin, perhitungannya hanya berdasarkan estimasi kebutuhan industri. Maka wajar jika kedua kementerian ini tidak akan memiliki titik temu dalam mengagregasi kebutuhan nasional. Di sisi lain, yang terpenting dalam polemik impor garam adalah rincian produksi nasional. Baik KKP maupun Kemenperin tidak ada yang memberikan informasi jelas mengenai produksi garam berdasarkan kandungan NaCL. Untuk itu, KKP dan Kemenperin sebaiknya duduk bersama menghitung produksi dan kebutuhan garam nasional sehingga tak membingungkan publik.

BERITA TERKAIT

Sinergitas Lintas Sektoral

Dalam upaya menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), serta untuk menciptakan situasi dan kondisi di wilayah agar tetap dalam keadaan…

Optimalisasi Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

Momentum Jalin Persatuan

Pasca pemilihan umum, bulan Ramadhan menyajikan momentum yang berharga bagi masyarakat untuk menyatukan diri. Meskipun perbedaan politik mungkin telah menimbulkan…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Sinergitas Lintas Sektoral

Dalam upaya menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), serta untuk menciptakan situasi dan kondisi di wilayah agar tetap dalam keadaan…

Optimalisasi Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

Momentum Jalin Persatuan

Pasca pemilihan umum, bulan Ramadhan menyajikan momentum yang berharga bagi masyarakat untuk menyatukan diri. Meskipun perbedaan politik mungkin telah menimbulkan…