INDEF INGATKAN RI JANGAN TERJEBAK UTANG - Laju Utang Lebih Cepat dari Produktivitas

Jakarta-Lembaga peneliti INDEF menilai peningkatan utang di era pemerintahan Jokowi-JK belum mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Faktanya, peningkatan produktivitas perekonomian masih belum terealisasi dengan cepat. "Efektivitas utang untuk meningkatkan produktivitas perekonomian sepertinya tidak kunjung terlihat sampai sekarang," ujar Ahmad Heri Firdaus, peneliti lembaga tersebut dalam acara diskusi di Jakarta, Rabu (21/3).

NERACA

Menurut Ahmad, selama periode 2015-2017, produk domestik bruto (PDB) harga berlaku rata-rata hanya naik sekitar 8,74% per tahun, yaitu dari Rp11.526,33 triliun (2015) meningkat Rp12.406,77 triliun (2016) dan Rp13.588,8 triliun (2017). Secara riil, pertumbuhan ekonomi juga terjebak di kisaran 5%.

Sementara, pada periode yang sama, rata-rata utang pemerintah dalam denominasi rupiah melesat 14,81%, yaitu dari Rp3.165,13 triliun (2015) menjadi Rp3.515,46 triliun (2016) dan Rp3.938,45 triliun (2017). "Laju penambahan utang yang lebih kencang dari laju peningkatan output perekonomian ini akan semakin menggerogoti stabilitas perekonomian ke depan jika tak segera dikendalikan," ujarnya.

Dia mengatakan, pemerintah memang berdalih penambahan utang salah satunya digunakan untuk membiayai sektor infrastruktur. Dampak utang dalam membiayai infrastruktur memang tidak bisa terlihat dalam jangka pendek.

Namun, seharusnya hal itu bisa meningkatkan optimisme pertumbuhan ekonomi. Sementara, indeks tendensi bisnis maupun ekspektasi akselerasi pertumbuhan ekonomi dari dunia usaha tidak juga menunjukkan peningkatan signifikan.

Karena itu, Ahmad tidak heran melihat kondisi tersebut terjadi. Jika melihat komposisi belanja pemerintah selama periode 2014-2017, porsi belanja subsidi pemerintah yang berkurang, banyak dialihkan ke belanja barang dan pegawai ketimbang belanja modal. Padahal, belanja barang dan pegawai kurang produktif bagi perekonomian.

Untuk perbandingan, berdasarkan data Kementerian Keuangan, porsi belanja subsidi mencapai 32,57% dari total belanja pemerintah pada 2014, belanja pegawai 20,25%, belanja barang 14,67%, dan belanja modal 12,24%.

Sementara, pada 2017, porsi belanja subsidi hanya 12,17%. Sedangkan, porsi belanja pegawai naik menjadi 26,25%, belanja barang naik menjadi 23,7%. Padahal, porsi belanja modal hanya naik menjadi 15,25%.

Peneliti INDEF lainnya, Rizal Taufikurrahman, mengatakan berdasarkan simulasi ekonometri CGE yang dilakukan, peningkatan utang untuk membiayai infrastruktur tidak menunjukkan peningkatan produktivitas baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang secara signifikan.

Hal itu terkonfirmasi dari data pertumbuhan ekonomi secara sektoral yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dimana pertumbuhan sektor yang padat tenaga kerja, seperti sektor pertanian, industri, dan perdagangan tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal, ketiga sektor tersebut menguasai 68% tenaga kerja di Indonesia.

"Sektor-sektor yang terkena dampak positif hanya sektor-sektor yang secara langsung terkait dengan infrastruktur, seperti baja, semen, perumahan, konstruksi, dan jalan. Itu pun dengan porsi yang masih cukup kecil," ujarnya.

Jangan Tiru Sri Lanka

Rizal juga mewanti-wanti agar Indonesia tidak mengalami hal buruk seperti negara lainnya yang tak mampu membayar utang. Sri Lanka misalnya, negara tersebut memiliki utang untuk pembangunan infrastruktur. Namun, utang tersebut tidak dikelola dengan baik dan justru mengalami risiko gagal bayar.

"Bahkan Sri Lanka tidak bisa membayar utang diberikan pelabuhan untuk membayar utangnya. Pelabuhan Hambatita sebesar US$ 1,1 triliun atau sebesar 70% sahamnya dijual ke BUMN China," ujarnya.  

Demikian juga dengan Pakistan, yang menjual Gwadar Port yang dibangun bersama China dengan nilai investasi sebesar US$ 46 miiar. Begitu pula dengan Zimbabwe, akibat utang US$ 40 juta ke China dan tak bisa membayar, negara tersebut harus mengganti mata uangnya menjadi yuan sebagai imbalan penghapusan utang.  "Mata uang yuan Zimbabwe berlaku sejak 1 Januari 2016 tersebut, akibat tak mampu membayar utang yang jatuh tempo pada akhir Desember 2015," ujarnya.  

Meski demikian, ada kisah sukses seperti Korea Selatan yang mendapat pinjaman dari Amerika Serikat, akhirnya sukses membangun infrastruktur negaranya dari utang. "Korsel contoh yang sukses. Mereka alokasi infrastruktur adalah sektor-sektor yang langsung bisa mendorong nilai tambah industri itu," ujarnya.

Rekan peneliti lainnya, Riza Annisa Pujarama, mengatakan posisi utang pemerintah terus meningkat secara agresif sejak 2015. Peningkatan utang seiring kebutuhan belanja infrastruktur yang menjadi prioritas kerja Pemerintahan Jokowi-JK.

"Utang pemerintah melonjak dari Rp 3.165 triliun (2015) menjadi Rp 3.466, triliun (2017). Peningkatan utang terus berlanjut hingga APBN 2018-Februari menembus angka Rp 4.034, 8 triliun dan pada APBN 2018 mencapai Rp 4.772 triliun," ujarnya.

Bahkan, menurut Riza, sebenarnya total utang negara Indonesia telah mencapai lebih dari Rp 7.000 triliun. Angka tersebut gabungan dari utang pemerintah dan swasta. Utang pemerintah tersebut ditujukan untuk membiayai defisit anggaran, sementara utang swasta berasal dari korporasi swasta dan badan usaha milik negara (BUMN).

"Kementerian Keuangan dalam APBN 2018 menyatakan total utang pemerintah mencapai Rp 4.772 triliun. Namun, jika menelisik data out-standing Surat Berharga Negara (SBN) posisi September 2017 sudah mencapai Rp 3.128 triliun, terdiri SBN denominasi rupiah sebanyak Rp 2.279 triliun, dan dalam denominasi valas Rp 849 triliun. Sementara, utang swasta tahun 2017 telah mencapai sekitar Rp 2.389 triliun," tutur dia.

Menurut Riza, terdapat dua indikator utang yang biasanya dipakai pemerintah, yaitu rasio keseimbangan premier terhadap PDB dan rasio utang terhadap PDB. Rasio keseimbangan premier terhadap PDB pada APBN 2017 mengalami minus 1,31%.  “Hal ini menunjukkan cash flow pemerintah justru semakin tekor ketika menambah utang. Akibatnya, untuk membayar bunga dan cicilan utang terus ditopang oleh utang baru," ujarnya.

Adapun, rasio utang terhadap PDB tahun 2017 sebesar 2,89% memang masih dalam batas wajar. Artinya, indikator rasio utang pemerintah tetap dalam waspada. "Menurut penjelasan Pasal 12 ayat 3 UU No 17/2003 tentang keuangan negara menyebutkan bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal sebesar 3% dan utang maksimal 60% dari PDB," ujarnya.

Direktur INDEF Enny Sri Hartani menambahkan, seharusnya utang pemerintah langsung fokus menyasar sektor-sektor hilir yang bisa meningkatkan nilai tambah. Dengan demikian, produktivitas utang bisa lebih terasa oleh perekonomian.

Jika Indonesia terus terbuai oleh utang yang tidak digunakan secara produktif, perekonomian Indonesia bisa terganggu, bahkan bisa mengalami krisis seperti yang dialami Yunani. "Yunani mengalami persoalan karena utang terus bertambah tetapi tidak digunakan untuk hal produktif," ujarnya.

Saat ini, alih-alih ekspor nilai tambah yang terdongkrak, peningkatan utang malah dibarengi oleh impor barang yang semakin membengkak. Akibatnya, neraca perdagangan mengalami defisit. Indonesia, menurut dia, bisa belajar dari negara lain yang sukses dalam memanfaatkan utang negaranya, seperti Korea Selatan. Pada awal 1960-an, kondisi pendapatan per kapita Korsel sama dengan Indonesia.

Namun, setelah mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat, Korsel mampu menggunakannya untuk membangun sektor industri dan sumber daya manusia (SDM). Akibatnya, Korea tidak terjebak dalam lingkaran utang seperti yang banyak dialami oleh negara berkembang dan masuk ke deretan sepuluh besar negara pengekspor terbesar di dunia.

Sebelumnya Kementerian Keuangan mengestimasi pemerintah membutuhkan waktu sembilan tahun untuk membayar seluruh utangnya saat ini yang mencapai Rp4.035 triliun atau sekitar Rp450 triliun per tahun. "Kami kelola dari jatuh temponya, hampir sembilan tahun. Jadi, utang akan lunas sepanjang sembilan tahun. Artinya, Rp4.035 triliun dibagi sembilan, berarti Rp450 triliun yang harus dibayar setiap tahunnya," ujar Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu Scenaider Clasein H Siahaan di gedung BI, pekan lalu.

Menurut Scenaider, estimasi itu muncul dengan mempertimbangkan batas jatuh tempo setiap penarikan utang dan kemampuan pembayaran utang oleh pemerintah. Bahkan, menurut dia, pelunasan utang bisa saja dipercepat menjadi hanya empat sampai delapan tahun dengan memperbesar alokasi pembayaran utang dari total penerimaan negara dalam APBN.

Misalnya, untuk melunasi utang dalam waktu delapan tahun dibutuhkan sekitar Rp500 triliun dari penerimaan untuk bayar utang. Lalu, agar utang lunas dalam waktu empat tahun, berarti membutuhkan alokasi penerimaan mencapai Rp1.000 triliun untuk bayar utang. "Tapi, urusan bayar utang ini kan sepenuhnya politik anggaran juga. Politik anggaran itu bergantung proyeksi penggunaannya," ujarnya.

Dia melihat, meski banyak pihak khawatir dengan jumlah utang pemerintah, namun pemerintah tak bisa hanya fokus menggunakan APBN untuk pembayaran utang. Untuk itu, pembayaran utang harus tetap dipetakan dengan rasional sesuai kemampuan dan kebutuhan negara. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…