Ekosistem Globalisasi dan Digitalisasi

Pemerhati Masalah Industri dan Perdagangan, Fauzi Aziz

 

Kita telah hidup dalam lingkungan kehidupan yang demokratis. Tapi dalam konteks ekonomi, kita berada dalam ecosystem globalisasi dan digitalisasi. Globalisasi dan digitalisasi adalah semacam kondisi yang menuntut dan menuntun kita untuk bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut.

Karena itu, mindset kita harus berubah, ketika membahas masalah ekonomi yang memerlukan terciptanya satu sistem yang mem buat ekonomi bisa bekerja secara efisien. Mindset itu adalah sebuah kebijakan dan kebijaksanaan yang mampu menciptakan sistem konektifitas tanpa hambatan yang berkelanjutan. NKRI secara geopolitik clear sebagai keputusan politik negara kepulauan yang berdaulat penuh.

Tapi untuk menggerakkan sumber daya ekonomi di wilayah NKRi dilihat dari peta geoekonomi membutuhkan pengorganisasian yang efektif untuk mengolahnya untuk dijadikan public goods maupun privat goods. Public goods menjadi urusannya pemerintah. Sedang privat goods menjadi urusannya rakyat atau masyarakat, dan dunia usaha. Ketika sudah bicara di dua ranah itu, maka keduanya penting perannya untuk menggerakkan perekonomian. Public goods dan privat goods membutuhkan ecosystem yang baik dan sehat untuk menciptakan efisiensi dan produktifitas.

Sekarang kita pakai angka ramalan nilai PDB Indonesia tahun 2030 versi PwC yang akan mencapai sekitar USD 5,424 Triliun sebagai target yang akan kita capai dalam 12 tahun mendatang dari sekarang. Mencapai target tersebut bukan perkara mudah. Tiap tahun berarti output ekonomi Indonesia harus mencapai rata-rata USD 450,00 Triliun.

Dari sisi public goods pemerintah harus sanggup memproduksinya dalam jumlah dan kualitas yang memadai, dan harus menjamin terciptanya konektifitas yang low cost antar koridor ekonomi,bukan sekedar antar propinsi, antar kabupaten/kota, antar kota dan desa serta antar desa di seluruh pelosok tanah air. Begitu pula dengan privat goods yang dihasilkan oleh dunia usaha dan masyarakat juga harus dihasilkan dalam jumlah dan kualitas yang memadai dan bersaing, baik untuk mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri maupun ekspor.

Telaahannya menjadi semakin menarik untuk kita bahas. Diskursus yang penulis fahami memberikan satu pembelajaran bahwa membangun perekonomian dan kekayaan nasional membutuhkan pendekatan strategis, bukan pendekatan yang bersifat pragmatis. Pendekatan strategis yang dimaksud antara lain adalah mencari cara terbaik untuk mencapai target  angka output ekonomi senilai USD 5,424 triliun pada tahun 2030 dengan biaya politik, dan biaya ekonomi yang rendah. Low cost harus diwujudkan karena sekian tahun lamanya Indonesia hidup dalam lingkungan yang high cost. Ini dilihat dari konsep biaya.

Membutuhkan 3 pilar utama, yakni pertumbuhan ekonomi yang baik; masyarakat yang baik; dan proses politik yang juga harus baik. Penjelasan masing-masing secara ringkas adalah sebagai berikut: Pertama, menaikkan nilai PDB dan Pendapatan Nasional Kotor (PNB) dengan menstimulasi pertumbuhan ekonomi, sehingga kemiskinan dan pengangguran berkurang, dan standar hidup secara materi makin baik. Bersamaan mengejar pertumbuhan, kita harus berhasil memperbaiki daya saingnya, apapun ukuran yang dipakai.Kedua,masyarakat yang baik adalah bukan hanya PNBnya yang meningkat, tapi masyarakat yang baik selalu mempunyai ekspektasi dalam harapan hidup, keamanan, lingkungan yang baik, kesehatan,, bebas dari kejahatan, narkoba, kekerasan dan keretakan keluarga. Ketiga, kita memerlukan pemerintahan yang baik,  yang adil, transparan, efisien dan efektif serta akuntabel. Sistem demokrasi harus memberikan ruang kepada warga masyarakat mampu mempengaruhi pelaksanaan dan kerja pemerintahan. Ini konsekwensi logis dari bangsa ini menganut sistem demokrasi liberal. Namun perlu dicatat bahwa hubungan antara demokrasi dan kinerja ekonomi tidak selalu berlangsung seiring dan sejalan. Di atas uraiannya selintas sudah dikemukan. Contoh, China adalah satu negara emerging economy yang cepat berkembang ekonominya, tapi china bukan negara demokrasi.

Untuk menjawab kekhawatiran sebagaimana dituliskan sebagai judul tulisan ini, maka pembangunan ekonomi agar bisa menjawab tantangan ke depan, kita juga perlu menerapkan konsep Belt and Road ala Indonesia. Ini bukan soal copas dari china. Tapi lebih karena kita membutuhkannya baik karena pertimbangan geopolitik maupun geekonomi nasional yang bingkai besarnya adalah NKRI. Pendekatan koridor ekonomi jauh lebih baik dari pada model pembangunan atas dasar per propinsi dan kabupaten/kota,yang pasti memerlukan alokasi sumber daya ekonomi yang jauh besar, dan pasti lebih boros. Pendekatan strategis berdasarkan konsep koridor ekonomi tidak boleh bersifat ambigu antara kepentingan pusat dan daerah.

 

BERITA TERKAIT

Produk Keuangan Syariah

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah   Selain bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan dan ampunan, bulan yang suci…

Gejolak Harga Beras

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…

Risiko Fiskal dalam Pembangunan Nasional

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…

BERITA LAINNYA DI

Produk Keuangan Syariah

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah   Selain bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan dan ampunan, bulan yang suci…

Gejolak Harga Beras

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…

Risiko Fiskal dalam Pembangunan Nasional

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…