Ada 85 Prioritas - Ekonom: Kemenperin Tak Fokus Mau Majukan Industri yang Mana

NERACA

Jakarta – Saat ini Indonesia sedang mengalami perlambatan ekonomi, seperti menurunnya pertumbuhan ekonomi, defisit neraca perdagangan dan pelemahan rupiah. Pertumbuhan ekonomi nasional melorot dari 8 persen dan kini hanya 5 persen. Bahkan neraca perdagangan secara berturut -turut mengalami defisit. Desember 2017 defisit tercatat sebesar US$270 juta, berlanjut  Januari 2018 di mana defisit mencapai US$756 juta, tren serupa terjadi pada Februari 2018 yang defisit sebesar US$116 juta. 

Pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan pelemahan ekonomi yang terjadi di Indonesia, karena fundamental ekonomi yang rapuh, ekonomi Indonesia melalui tahapan yang tak lazim. Pola yang benar untuk membuat perekonomian naik terus adalah primer (pertanian) lalu menuju ke sekunder (industri) baru setelah itu adalah menuju ke jasa (tersier). Kalau normal yang terjadi di beberapa negara dari primer sekunder dan tersier. Primer itu yang diolah seperti pertanian lalu menuju ke manufaktur baru ke jasa. Enggak bisa melompat. Nah Indonesia ini dari pertanian langsung ke jasa tidak melalui tahapan industrialisasi.

“Indonesia justru memulai dari pertanian (primer) dan langsung loncat kepada sektor jasa (tersier). Sehingga sektor industri manufaktur terlupakan oleh Indonesia. Celakanya lagi, Kementerian Perindustrian tidak fokus ingin memajukan industri kita yang mana? Mereka terlihat kebingungan. 85 industri masuk jadi prioritas pengembangan. Kalau sebanyak itu sih tidak akan ada yang berkembang dan menjadi unggulan,” tegas Faisal kepada Neraca, beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut ekonom Indef ini mengatakan loncatnya sektor sekunder yakni industri juga ternyata berpengaruh terhadap ekspor. Dengan diloncatnya sektor industri, maka Indonesia hanya bergantung pada ekspor komoditi seperti batu bara hingga sawit. Ekspornya batu bara sawit yang harganya gonjang ganjing jadi ekonomi kita rentan terhadap gonjang-ganjing dunia.

“Akibatnya banyak sekali tenaga kerja yang berasal dari sektor pertanian yang menganggur. Hal itu disebabkan tidak terlalu banyak perusahaan industri yang mampu menyerapnya tenaga kerja pertanian. Tenaga kerja masih numpuk di sektor pertanian. Jadi sekitar pertanian turun terus tapi pekerjanya masih numpuk di sektor pertanian. Harusnya ujung tombaknya dari pertanian pindah ke industri eh industrinya hanya 13,48% menyerap tenaga kerjanya," paparnya.

Faisal juga mengatakan ada tiga industri yang membuat neraca perdagangan Indonesia defisit padahal sebelumnya mencetak reli surplus. Ketiga industri tersebut adalah sektor manufaktur, makanan dan minuman, dan minyak dan gas bumi. Jadi neraca perdagangan kita defisit terus. Kita tekor di food, makanan. Makanan kita defisit 2,1 miliar dolar AS. Kita defisit juga defisit di migas. Jadi wajar kan kalau rupiah melemah.

“Neraca perdagangan yang defisit tidak terlepas dari kurang fokusnya pemerintah dalam menggarap sektor industri. Padahal di negara-negara maju, sektor industri merupakan salah satu pendorong utama perekonomian. Melemahnya rupiah yang saat ini bertahan di level Rp13.700 per dolar AS disebabkan daya tahan tubuh dari ekonomi nasional lemah, sehingga ketika ekonomi global bergejolak, ekonomi Indonesia ikut goyang.

"Betul kalau semua dipicu faktor luar. Tapi kita sama-sama ada di luar sana menghadapi polusi virus tapi enggak semuanya sakit. Kalau daya tahan tubuh kita lemah, kita sakit. Jadi jangan nyalahin melulu faktor luar, faktor luar bisa kita tepis kalau daya tahan tubuh kita bagus," jelas Faisal.

Pada kesempatan sebelumnya, melalui keterangan tertulis, Kemenperin memproyeksikan, investasi sektor industri pada tahun 2018 akan mencapai Rp352,16 triliun dan menjadi Rp387,57 triliun pada 2019. “Industri menjadi penggerak utama dari target pertumbuhan ekonomi nasional,” papar Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.

Mengenai dampak positif terhadap pertumbuhan industri, total tenaga kerja yang terserap pada tahun 2017 sebanyak 17,01 juta orang, naik dibanding tahun 2016 yang mencapai 15,54 juta orang. Capaian ini mendorong pengurangan tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia yang cukup signifikan.

Selain itu, pada tahun 2017, nilai ekspor produk industri sebesar USD109,76 miliar, naik 13,14 persen dibandingkan tahun 2016 yang mencapai USD125,02 miliar. Capaian ekspor produk industri di tahun 2017 tersebut memberikan kontribusi hingga 74,10 persen terhadap total ekspor Indonesia.

Kementerian Perindustrian mencatat, pada tahun 2017, total investasi (PMA dan PMDN) di sektor industri mencapai Rp274,06 triliun atau berkontribusi sebesar 39,6 persen dari total investasi di Indonesia sebesar Rp692,8 triliun.

BERITA TERKAIT

Pertamina Patra Niaga Siap Salurkan BBM Subsidi Sesuai Kuota

NERACA Jakarta – Besaran kuota subsidi BBM dan LPG pada tahun 2024 telah ditetapkan. Didasarkan pada SK Kepala BPH Migas…

2024 Pertamina Siap Salurkan Subsidi Energi Tepat Sasaran

NERACA Jakarta – Pertamina siap menjalankan penugasan Pemerintah menyalurkan subsidi energi 2024 tepat sasaran. Melalui PT Pertamina Patra Niaga sebagai…

Pemurnian Nikel di Kalimantan Timur Terima Tambahan Pasokan Listrik - TINGKATKAN HILIRISASI

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong industri untuk meningkatkan nilai tambah melalui…

BERITA LAINNYA DI Industri

Pertamina Patra Niaga Siap Salurkan BBM Subsidi Sesuai Kuota

NERACA Jakarta – Besaran kuota subsidi BBM dan LPG pada tahun 2024 telah ditetapkan. Didasarkan pada SK Kepala BPH Migas…

2024 Pertamina Siap Salurkan Subsidi Energi Tepat Sasaran

NERACA Jakarta – Pertamina siap menjalankan penugasan Pemerintah menyalurkan subsidi energi 2024 tepat sasaran. Melalui PT Pertamina Patra Niaga sebagai…

Pemurnian Nikel di Kalimantan Timur Terima Tambahan Pasokan Listrik - TINGKATKAN HILIRISASI

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong industri untuk meningkatkan nilai tambah melalui…