Hukum Jelang Pilkada

Permintaan Menko Polhukam Wiranto atas nama pemerintah yang meminta KPK untuk menunda kasus hukum calon kepala daerah selama Pilkada. Hal ini tentu mengundang sejumlah pihak menilai sebagai langkah intervensi pemerintah secara politis.

"Bisa kemudian dianggap terlalu politis juga karena kita tahu Menkopolhukam kan dari partai politik juga. Bisa juga nanti orang malah mengira bahwa jangan-jangan Menkopolhukam dijadikan bumper-nya koruptor, misalnya. Tentu bisa disalahpahami begitu," ujar Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) UGM Oce Madril seperti dikutip detik.com, Senin (12/3).

Pernyataan Wiranto jelas sebagai bentuk intervensi dalam penegakan hukum. Hal semacam ini tidak patut dilakukan seorang pejabat eksekutif. Apalagi, KPK sebagai lembaga independen seharusnya bebas intervensi dari pihak manapun.

Pemerintah juga terkesan tidak menghargai hasil kerja keras antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang telah menemukan adanya 368 dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh sejumlah calon kepala daerah. Dari 368 laporan tersebut, KPK dan PPATK melakukan kajian lebih mendalam dan akhirnya menemukan indikasi kuat tindak pidana korupsi terhadap 34 calon kepala daerah di seluruh Indonesia. Ketua KPK Agus Rahardjo pun berjanji saat itu akan mengusut tuntas dugaan korupsi 34 calon kepala daerah tersebut.

Tidak hanya itu. Ketika Ketua KPK hadir dalam dalam Rakernis Polri di Jakarta Utara beberapa waktu lalu, Agus kembali menegaskan hasil analisis tersebut, bahkan ada kalimat menarik Ketua KPK yang mengatakan “Apakah tidak sebaiknya kita umumkan tersangkanya sebelum pemilihan? Jadi supaya masyarakat ada info supaya ini tidak usah dipilih. Nanti akan kita bicarakan.”

Nah, kata-kata Ketua KPK itu bila dikaitkan dengan kredo kepastian hukum terutama pada frasa “supaya masyarakat ada info supaya ini tidak usah dipilih”.  Menurut hemat kami, kalimat seperti itu tidak perlu diucapkan dalam proses penegakan hukum. Sebab, itu mengesankan ada pertimbangan politis dalam pengambilan keputusan KPK. Kalimat tersebut membuka peluang pembenaran syak wasangka sejumlah bahwa penangkapan para calon kepala daerah ini, sebagai tindakan politik hitam untuk menjegal mereka kembali berkuasa.

Seyogianya pertimbangan tersebut tidak ada dalam penegakan hukum. Jika merujuk pada pendapat Begawan Hukum Sudikno Mertosukarto, yang selalu harus diperhatikan dalam menegakkan hukum adalah kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan dan keadilan. Nah, kalau memasukkan pertimbangan “supaya yang ditersangkakan tidak dipilih”, maka semangat like and dislike menjadi mengemuka. Padahal, like and dislike itu jauh dari keadilan. Ini menjadi pelajaran bagi Ketua KPK agar lebih berhati-hati dalam berkomunikasi politik.

Bagaimanapun, sejauh didukung bukti yang kuat dan sahih, KPK tidak mempunyai pilihan lain kecuali meningkatkan status kasusnya dari penyelidikan ke penyidikan. Bukan ranah KPK untuk memberi bahan pertimbangan ke publik pemilih di pilkada untuk memilih atau tidak terhadap calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi.

Rakyat  berdaulat menentukan pilihannya. Apakah pengumuman KPK terhadap status hukum seorang calon kepala daerah akan melahirkan resistensi rakyat pemilih, serahkan saja ke proses di bilik suara. Kita pernah mengulas masalah ini, bahwa kalaupun ada yang perlu dipertimbangkan  KPK selama proses pilkada ini adalah lebih selektif memanggil saksi dari calon kepala daerah. Apabila hanya sekadar dimintai keterangan, sementara indikasi keterlibatannya tidak terlalu kuat, apalagi dipanggil sebagai saksi untuk kasus tersangka lain, sebaiknya memang diundur sampai setelah pilkada. Sebab, siapa pun yang datang memenuhi panggilan KPK, walau hanya sebagai saksi, memang seolah sudah langsung divonis bersalah oleh publik.

Patut disadari, bahwa tugas KPK adalah menegakkan hukum di bidang korupsi. Bahwa aturan hukum itu merupakan keputusan politik, memang demikian kenyataannya. Tetapi ketika hukum sudah dibuat dan disahkan, maka tidak ada yang dapat menghentikan. Lex dura sed tamen scripta, hukum itu kejam seperti yang tertulis di kitab hukum. Proses hukum, bila mau dihargai sebagai penjamin tegaknya keadilan, tidak boleh mempunyai fleksibilitas yang membuatnya bisa menyesuaikan diri dengan keadaan ketika hendak diberlakukan, termasuk tidak boleh ada intervensi dari pemerintah.

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…