Gonjang-Ganjing Ekonomi di Tahun Politik

 

Oleh: Dedy Abdullah, Pengamat Ekonomi

Tahun 2018 dan tahun 2019 didefinisikan oleh sebagian masyarakat Indonesia sebagai tahun politik. Dan pendefinisian ini tidaklah berlebihan, karena di tahun 2018, dilaksanakannya pilkada serentak, untuk memilih gubernur dan wakil gubernurnya, dan juga dilaksanakannya pemilihan bupati serta walikota dan wakilnya di 171 Kabupaten kota seluruh Indonesia. Sedangkan di tahun 2019, seolah menjadi puncak perhelatan perpolitikan di tanah air.Yakni pemilihan presiden dan wakil presiden untuk masa kerja periode 2019-2024.

Begitu mengkhawatirkankah selama dua tahun itu? Bukan kah kita sudah biasa menghadapi pilgub, pilbup,pilwalkot, bahkan pilpres. Bukankah negeri ini sudah memiliki kelenturan baik dari sisi politik, social, bahkan ekonomi. Bahkan bagi sebagian  masyarakat, dari sisi ekonomi ajang seperti ini merupakan kesempatan untuk mengais rezeki musiman.

Bappenas bahkan mencatat, dari perhelatan seperti ini, akan meningkatkan konsumsi nasional, terutama konsumsi di sector lembaga non profit rumah tangga (LNPRT). Sebagai ilustrasi, pada saatpilpres  2014 lalu, yang berlangsung hanya dua kuartal, pertumbuhan konsumsi LNPRT berada di atas 20 persen. Apalagi dengan dilaksanakannya pilkada serentak di 171 kabupaten/kota di 2018 dan pilpres di tahun 2019.

Konsumsi domestik mungkin benar bisa mencatatkan pertumbuhan yang bagus. Tapi dengan pertumbuhan konsumsi yang ditopang oleh kegiatan musiman,  tentu bukan sebuah refleksi dari fundamental ekonomi yang bagus.Dan nampaknya berbagai indikator yang saat ini bermunculan, seperti rupiah yang terjun bebas terhadap dollar amerika, daya beli real yang menurun,  dan berbagai indikator persepsi publik yang kurang enak didengar  seolah olah tidak mau ketinggalan untuk muncul kepermukaan, seolah olah  tidak mau kalah dengan para kandidat untuk beramai ramai muncul kepermukaan

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS misalnya. Walau banyak kalangan mencari pembenaran bahwa melemahnya rupiah terjadi karena efek dari menguatnya dollar yang didukung oleh data ekonomi amerika yang positif, pada kenyataannya rupiah mengalami pelemahan. Bahkan level 13.600 per dollar AS, merupakan pelemahan terdalam sejak Juni 2016, atau dalam rentang 20 bulan terakhir. Padahal, jika dilihat kondisi cadangan devisa kita per Januari 2018 sebesar US$  131,98 milyar,yang menurut BI aman untuk membiayai  impor sampai 8 bulan ke depan,  nampaknya kenyataan ini tidak dilirik oleh pasar. Seolah olah pasar berjalan dengan logikanya sendiri.

Bahkan Bank Indonesia seperti menyalahkan pasar, dan seperti mau menggurui pasar atas arah pasar yang berjalan saat ini,  bahwa level rupiah saat ini sangat tidak mencerminkan sisi fundamentalnya. Dan faktor global lah yang menyebabkan hal ini terjadi. Karena kebijakan Bank Sentral Amerika (Federal Reserve) yang menurunkan tingkat suku bunga yang  jadi penyebabnya.

Tetapi di pasar keuangan internasional yang sempurna, pasar menilai bahwa adahal lain yang menyebabkan pasar hengkang dari dalam negeri, dan otoritas moneter kita seperti tidak berdaya menyaksikan pelemahan ini. Bahkan setelah melakukan intervensi pun dengan menguras cadangan devisa yang ada, rupiah tetap tidak membaik. Bank Indonesia mencatat, di bulan pebruari, cadangan devisa indonesia tergerus US$ 3,92 miliar untuk intervensi.

Benarkah pasar saat ini berjalan dengan logikanya sendiri, nampaknya tidak juga. Mengutip dari analisa Bloomberg, selasa (6/3/2018) yang menyatakan bahwa rupiah adalah salah satu mata uang asia yang sangat terpengaruh pada kepemilikan asing pada pasar obligasi. Sehingga ketika ada sentimen eksternal, maka rupiah adalah salah satu mata uang di kawasan yang langsung dilepas oleh investor asing. Dengan melorotnya rupiah sebesar 1,6% dalam satu bulan terakhir, maka rupiah adalah mata uang dengan kinerja terburuk di asia dan ketiga terburuk diantara 24 mata uang negara negara berkembang (emerging market) diseluruh dunia.

Artinya, tumbangnya rupiah yang sejalan dengan aksi jual investor asing di pasar saham dan pasar obligasi, bukan hanya dipicu oleh ekspektasi kenaikan suku bunga di AS, tapi karena struktur utang negeri ini yang mengkhawatirkan.

Rilis Bank Indonesia per November 2017, utang luar negeri indonesia tercatat sebesar US$ 347,3 milyar atau setara 4.636 trilyun rupiah dengan asumsi kurs Rp 13.350. dan akan membesar jika rupiah terus melorot mendekati Rp 14.000. Jumlah ini naik 9,1% Jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Dengan rupiah  dan utang yang sudah menunjukkan sinyal yanng tidak baik, rezim Jokowi masih menganggap wajar. Tidak ada sedikitpun khawatir atas kondisi seperti ini. Salahkah rezim ini? Untuk melihat bagaimana publik menilai rezim ini, disini akan digambarkan bagaimana posisi rupiah dan utang di era Jokowi.

Rupiah vs Dolar AS dan Utang  

Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika di masa kepemimpinan presiden Jokowi (2014 – sekarang), setidaknya dalam empat tahun kebelakang, terus mengalami penurunan dalam rentang yang cukup lebar. Padahal diawal kepemimpinannya dengan ekspektasi publik dan pasar yang positif, rupiah menguat terhadap dollar amerika.

Pada 20 Oktober 2014, saat pelantikkan Presiden dan Wakil Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla yang berlangsung aman, posisi rupiah perdollar amerika  berada di kisaran Rp 12.222 , dan terus membaik menjadi Rp 12.041 di akhir tahun. Pasar dan publik masih memiliki ekspektasi yang tinggi atas pasangan pemimpin baru. Dan setelah seratus hari kerja, belum ada kinerja yang membaik. Malah ekspor di tahun 2015 ekspor kita mengalami penurunan. Dan selama tahun 2015, posisi rupiah terhadap dollar Amerika stabil di Rp 13.700. atau melemah lebih dari Rp 1.500

Untuk mengembalikan kinerja ekspor menjadi lebih baik, pemerintah merespon dengan berbagai  paket kebijakan ekonomi I. Resep ini nampaknya berhasil mengembalikan persepsi investor menjadi positif. Dari Rp 13.700 di bulan Januari, rupiah membaik. Pada 8 Februari dollar AS ditutup di posisi Rp 13.490, dan kondisi ini relatif stabil sampai akhir tahun 2016. Dimana Dollar AS ditutup di Rp 13.473 pada akhir desember 2016, dan terus stabil di tahun 2017, yang berada di kisaran rentang  Rp 13.300 – Rp 13.400.

Masuk awal tahun 2018, dibuka dengan rilis kinerja ekspor yang ternyata tidak membaik. Bahkan jika dibandingkan dengan negara negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam dan Thailand. Padahal dari sisi penduduk dan potensi komoditas eksport, indonesia jauh di atas negara tetangga tersebut. Saat membuka Rakor Kementrian Perdagangan di Istana Negara pada 31 januari 2018, Jokowi dengan nada tinggi mengatakan “ kalau terus menerus seperti begini bisa kalah dengan Kamboja dan Laos”.

Perlu diketahui, kinerja ekspor indonesia memang tidak mengalami perbaikan sejak Jokowi berkuasa. Tahun 2014, US$ 176,29 milyar, ditahun 2015 turun menjadi US$ 150,25 milyar, dan terus melorot di tahun 2016 menjadi US$ 144,43 milyar. Dan baru menunjukkan pemulihan kinerja ekspor di tahun 2017 menjadi US$ 168,73. Dan itupun lebih banyak ditunjang oleh membaiknya harga berbagai komoditas tambang di pasar internasional.

Bagaimana dengan utang negeri tercinta kita semasa rezim Jokowi? Di bulan September 2014, atau satu bulan sebelum pelantikan, posisi utang Indonesia diwariskan dari rezim sebelumnya sebesar Rp 2.601,7 trilyun. Dan setelah Jokowi berkuasa, struktur utang indonesia menjadi lebih bengkak. Di Desember 2014, ada di posisi  Rp 2,608 trilyun, September 2015 di posisi Rp Rp 3.091,1 trilyun, Desember 2015 sebesar Rp 3.165 trilyun, September 2016 sebesar Rp 3.444,8 trilyun, Desember 2016 sebesar Rp 3.515,5 trilyun, September 2017 menjadi Rp 3,866,4 trilyun.

Di tahun ini, berdasarkan data Kementrian Keuangan per Januari 2018 tercatat posisi utang indonesia Rp 3.958,66 trilyun, yang setara dengan 29,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Posisi ini sebenarnya sudah sangat mengkhawatirkan. Bahkan pemerintah sendiri menganggap bahwa batas toleransi rasio utang terhadap PDB harusnya di bawah 30%. Dan nampaknya di tahun ini rasio itu akan ditembus.

Berdasarkan APBN 2018, pemerintah berencana menambah pembiayaan dari Surat berharga Negara (SBN) sebesar Rp 727,3 trilyun. Seharusnya msyarakat berhak untuk sangsi atas keamanan keuangan negara, dan berhak untuk sangsi terhadap kinerja para pengelola negara.

Boleh jadi, sinyal dari pasar uang yang terus menghukum rupiah, sebagai sinyal dari pasar bahwa struktur hutang indonesia memang sangat mengkhawatirkan dan sangat rentan untur terkena gonjang ganjing yang disebabkan faktor eksternal. Oleh karena itu kita harus segera mengingatkan pemerintah untuk stop ngutang. Jangan jadikan alasan membaiknya rating utang kita dimata lembaga pemeringkat utang, sebagai momentum untuk menerbitkan banyak surat utang.

Kemana akademisi kita, kemana ekonom kita, kemana politisi kita yang terus membiarkan pemerintahan ini menumpuk pundi pundi utang. Apakah sudah terbius dengan statement dari Menteri Keuangan dan Menteri Kordinator Perekonomian kita. Apakah politisi kita tidak ada keinginan untuk melakukan revisi atas UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, terutama pasal 12 yang membolehkan negara berhutang dengan batas maksimal 60% dari PDB. Semoga semua tersadar, dan tidak terlambat untuk sadar.

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…