Terus Melemah, Rupiah Dibawah Nilai Fundamental

 

NERACA

 

Jakarta - Bank Indonesia (BI) menyebut nilai tukar rupiah yang dalam beberapa hari terakhir bergerak di rentang Rp13.700-Rp13.800 per dolar AS sudah berada di bawah nilai fundamentalnya (undervalued). Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara di Jakarta, Jumat (2/3), mengatakan fluktuasi nilai rupiah dalam beberapa hari terakhir sudah berlebihan. Bank Sentral siap untuk melakukan stabilisasi di dua pasar, yakni pasar valas dan pasar surat berharga negara (SBN).

"Kalau menurut BI, rupiah sebelum fluktuasi sekarang ini sudah 'undervalued'. Kalau ada fluktuasi dalam beberapa hari terakhir, ya memang rupiahnya 'undervalued'," kata Mirza. Mirza menekankan Bank Sentral terus berada di pasar untuk bersiap melakukan stabilisasi. Mirza juga membantah BI sengaja membuat rupiah "undervalued" untuk mendorong nilai ekspor.

"Kalau sudah 'undervalued' buat apa BI membuatnya 'undervalued' lagi. BI selalu ada di pasar untuk lakukan stabilisasi," ujarnya. Ia menegaskan pelemahan rupiah terhadap "greenback" hanya bersifat sementara. Terlebih, mata uang Garuda bukan menjadi satu-satunya mata uang yang melemah terhadap dolar AS. "Ini bukan fenomena Indonesia saja. Krona Swedia itu dari awal Februari sampai akhir Februari 2018 melemah 4,9 persen, Dolar Kanada 3,8 persen, Australian Dolar 3,6 persen. Kalau kita lihat negara berkembang, pada waktu awal Februari sampai akhir Februari, Rupiah melemah 2,6 persen," ujar Mirza.

Mirza menyebutkan bahwa nilai tukar rupiah pada kisaran Rp13.200-Rp13.300 per dolar AS merupakan rentang yang cocok dengan kondisi fundamental perekonomian negeri ini. "Sebenarnya waktu kemarin 'trading' (perdagangan) pada level Rp13.200-Rp13.300 itu masih di level yang cocok ya. Jadi kalau sekarang ini ya menurut kami sudah terlalu berlebih," kata Mirza. Ia menegaskan pelemahan rupiah terhadap "greenback" hanya bersifat sementara karena tekanan eksternal. Terlebih, mata uang Garuda bukan menjadi satu-satunya mata uang yang melemah terhadap dolar AS.

Sementara itu, Ketua DPR Bambang Soesatyo meminta Bank Indonesia mengantisipasi pelemahan nilai tukar rupiah agar tidak melewati batas fundamental karena dapat mebebani kondisi fiskal negara. Menurut Bambang, selain beban fiskal, pelemahan rupiah akhir-akhir ini di rentang Rp13.700-Rp13.800 per dolar AS juga dapat membebani kinerja korporasi karena membuat cicilan utang semakin besar dan dapat menurunkan daya saing produk karena impor semakin mahal.

"Pelemahan ini berpotensi menurunkan daya saing, menaikkan beban terhadap pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri pemerintah, serta penyesuaian harga bahan bakar minyak," kata Bambang. Parlemen juga meminta pemerintah untuk mengantisipasi tekanan ekonomi global yang semakin deras terutama dari Amerika Serikat agar tidak mengganggu stabilitas sistem keuangan domestik. "Komisi XI DPR harus juga mendorong pemerintah untuk terus melakukan pengawasan jangka menengah dan jangka panjang terhadap dampak dari dinamika ekonomi global, seperti nilai tukar rupiah yang terus tertekan dan harga minyak dunia, secara konsisten," ujarnya.

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara memperkirakan nilai tukar rupiah bisa terdepresiasi hingga level Rp14.000 terhadap dolar. "Rupiah diprediksi akan terus melemah hingga Maret mendatang. Titik terendah pelemahan rupiah bisa mencapai Rp14.000 per dolar tahun ini," ujar Bhima.

Melemahnya nilai tukar rupiah, menurut Bhima, tentu berdampak terhadap, pertama, aliran modal asing yang keluar dapat semakin tinggi. Saat ini, mencapai Rp 8,6 triliun (year to date/ytd) sejak awal 2018. "Itu dampak dari yield treasury atau surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun loncat ke 2,9 persen tertinggi dalam 4 tahun terakhir. Otomatis yield spread dengan SBN (Surat Berharga Negara) Indonesia makin sempit. Investor akhirnya mencatat penjualan bersih dan memburu surat utang AS," ungkapnya.

Kedua, daya saing produk Indonesia baik domestik maupun ekspor, menjadi melemah. Lantaran, beberapa sektor industri bergantung oleh impor bahan baku dan barang modal. "Kalau dolarnya mahal, biaya produksi pasti naik ujungnya harga barang jadi lebih mahal. Sementara konsumsi domestiknya masih stagnan, maka pengaruh ke profit ke pengusaha juga dapat semakin rendah," terangnya.

Risiko berikutnya adalah beban pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri pemerintah maupun korporasi makin besar. Risiko gagal bayar apalagi utang swasta yang belum dilindung nilai (hedging) akan naik. Terakhir, Indonesia sebagai negara net importir minyak mentah sangat sensitif terhadap pergerakan dolar. Tercatat impor minyak Indonesia sebanyak 350-500 ribu barel per hari, karena produksi dalam negeri tak mencukupi konsumsi BBM. "Jika dolar menguat terhadap rupiah, harga BBM akan tertekan baik yang subsidi maupun non-subsidi. Efeknya penyesuaian harga BBM berbagai jenis diprediksi akan terus dilakukan," ucap Bhima

 

BERITA TERKAIT

Ramadan 1445 H, BSI Maslahat Menebar Kebaikan Total Rp11,24 Miliar

Ramadan 1445 H, BSI Maslahat Menebar Kebaikan Total Rp11,24 Miliar NERACA Jakarta - BSI Maslahat yang merupakan strategic partner PT…

CIMB Niaga Permudah Donasi Lewat Octo Mobile

CIMB Niaga Permudah Donasi Lewat Octo Mobile  NERACA Jakarta - PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) menjalin kerja sama…

Bank Muamalat Jadi Bank Penyalur Gaji untuk RS Haji Jakarta

Bank Muamalat Jadi Bank Penyalur Gaji untuk RS Haji Jakarta  NERACA Jakarta - PT Bank Muamalat Indonesia Tbk ditunjuk sebagai…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

Ramadan 1445 H, BSI Maslahat Menebar Kebaikan Total Rp11,24 Miliar

Ramadan 1445 H, BSI Maslahat Menebar Kebaikan Total Rp11,24 Miliar NERACA Jakarta - BSI Maslahat yang merupakan strategic partner PT…

CIMB Niaga Permudah Donasi Lewat Octo Mobile

CIMB Niaga Permudah Donasi Lewat Octo Mobile  NERACA Jakarta - PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) menjalin kerja sama…

Bank Muamalat Jadi Bank Penyalur Gaji untuk RS Haji Jakarta

Bank Muamalat Jadi Bank Penyalur Gaji untuk RS Haji Jakarta  NERACA Jakarta - PT Bank Muamalat Indonesia Tbk ditunjuk sebagai…