Politik Anggaran vs IMF

Meski Menkeu Sri Mulyani menegaskan kedatangan pejabat IMF ke Jakarta tidak terkait dengan masalah pinjaman, total utang pemerintah sekarang sudah hampir mendekati Rp 4.000 triliun. Namun kedatangan pejabat IMF tersebut untuk membahas rencana pertemuan internasional IMF-Bank Dunia di Bali tahun ini. Sementara Presiden Jokowi yang mengajak eksekutif IMF dan Bank Dunia berkeliling pasar Tanah Abang, Jakarta, hanya sekedar untuk memperlihatkan potret kehidupan UMKM di negeri ini.

Momen kedatangan pejabat IMF ke Indonesia memang dapat menimbulkan persepsi bermacam-macam dari pihak lain. Pasalnya, ancaman krisis keuangan negara menghadapi utang luar negeri yang jatuh tempo utang 2018 – 2019 mencapai Rp 810 triliun, kondisi kredit macet perbankan yang mendekati 4%, defisit APBN 2017 yang mencapai Rp 320 triliun, ancaman kenaikan inflasi tahun ini, yang tentunya berpotensi serius bagi keuangan negara.

Di saat bersamaan, mulai April 2018 hingga April 2019 situasi politik negara memanas terkait berlangsungnya tahun politik (Pilkada serentak 27 Juni 2018, Pileg dan Pilpres 17 April 2019 secara serentak). Potensi destabilisasi politik saat ini memasuki tahap rawan, perlu kesiapan ekstra dari Pemerintah, khususnya aparat keamanan (TNI-Polri). Lebih-lebih, calon presiden dan wakil presiden 2019 nanti mungkin ada yang berasal dari kedua institusi tersebut, seperti halnya yang terjadi pada Pilkada 2017.

Menurut UUD 1945 Pasal 23 ayat 1, APBN bersifat terbuka untuk kesejahteraan seluas-luasnya bagi kemakmuran negara Indonesia. Namun, sistem APBN menurut yang menganut paham ‘neolib’ terkesan menggunakan pola anggaran defisit, sehingga pembangunan tergantung dari utang luar negeri. Kemudian melakukan privatisasi (go public) aset BUMN sebagai sumber pendanaan. Beban pajak domestik terus ditingkatkan, sementara anggaran subsidi dikurangi (energi, sembako, dan pertanian/pangan). Padahal subsidi adalah satu strategi bagi mewujudkan welfare state (negara sejahtera).

Tidak salah jika dunia kini tidak lagi percaya dengan IMF dan Bank Dunia, karena dianggap gagal, malah dia yang menjebak negara berkembang dengan utang luar negeri dengan jaminan aset. Bahkan negara-negara Amerika Latin menganggap IMF dan Bank Dunia adalah “Jurassic Park”.

Yang patut dipertanyakan sekarang, apakah Menkeu Sri Mulyani Indrawati dan pemerintahan Indonesia masih menganggap IMF dan Bank Dunia sebagai mitra untuk mengatasi krisis finansial? Karena, kita perlu mengkritisi pengalaman LoI IMF-Bank Dunia tahun 1998 (20 tahun lalu) yang sampai sekarang, ekonomi Indonesia belum terlihat signifikan pulih.

Mengurangi utang dengan cara mengurangi beban utang negara dalam APBN; batasi utang baru dengan meningkatkan penerimaan pajak, cukai, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), migas, dan non migas; diupayakan dapat mengimbangi pola utang dengan penerimaan; restrukturisasi utang: re-scheduled, reprofiling, dan buy-back; renegosiasi dengan IMF, Bank Dunia, ADB.

Patut disadari, bahwa IMF dan Bank Dunia adalah rezim utang yang dijadikan wahana bagi elite keuangan global melalui negara yang ditujukan untuk negara berkembang, khususnya untuk yang kaya sumber daya alam seperti Indonesia. Kedisiplinan Indonesia dalam membayar utang sehingga diberi cap “good boy”, padahal negara lain telah berulang kali melakukan restrukturisasi utang dan pembayarannya.

Kekeliruan pemerintahan dalam hal APBN dan anggaran infrastruktur yaitu ketika ruang fiskal terbuka karena penghapusan subsidi BBM dan energi, seolah signifikan bisa digunakan mencapai Rp 400 triliun (tahun 2018). Terkesan, analisa APBN-nya berlebihan, menganggap sebagai sumber pembiayaan baru sehingga tidak melihat tingkat kesehatan keuangan APBN dalam menanggung beban pembangunan (mandatorial). Over valued terkait kebijakan Tax Amnesty (Pengampunan Pajak) juga merupakan hal lainnya, dan faktanya dia tidak dapat berbuat apa-apa selain melakukan efisiensi dan berutang.

Pembangunan infrastruktur itu baik, tapi karena tidak mengetahui kapasitas APBN, kita akhirnya menilai pemerintah tidak mempunyai kapasitas yang cukup di bidang keuangan. Ironisnya, dalam situasi seperti ini Indonesia sekarang tetap dihadapkan kepada pilihan berutang lagi ke China, atau duet IMF-Bank Dunia untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang membutuhkan dana sekitar Rp 5.500 triliun. Pemerintah perlu mewaspadai hal ini jangan sampai masuk ke perangkat utang di kemudian hari, yang tentunya berdampak pada penguasaan aset BUMN oleh pihak asing semakin terbuka.

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…