Dilema Ketimpangan Ekonomi

Dua lembaga internasional, Bank Dunia dan INFID (International NGO Forum on Indonesian Development), menyoroti tingkat ketimpangan ekonomi Indonesia kini semakin memprihatinkan. Pasalnya, “kue” pertumbuhan ekonomi yang seharusnya dapat dinikmati oleh semua kalangan, membantu mengurangi kemiskinan, dan memunculkan kelompok kelas menengah. Ternyata, menurut data Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi dalam satu dekade terakhir hanya menguntungkan 20% orang paling kaya di Indonesia. Artinya, masih ada sebagian besar orang Indonesia tidak menikmati hasil pertumbuhan ekonomi yang sering dijadikan indikator keberhasilan pemerintah.

Tidak hanya itu. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rasio gini pada September 2017 berada di angka 0,391. Besaran koefisien ini berkurang dibandingkan bulan Maret 2017 yang mencapai 0,393. Hal ini diakui Menko Perekonomian Darmin Nasution, bahwa pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan naik setiap tahunnya belum bisa diikuti dengan pemerataan di sektor ekonomi.

Bank Dunia dalam laporannya bertajuk Indonesia’s Rising Divide mengungkapkan, ada empat hal yang mendorong ketimpangan di Indonesia yang berpotensi mempengaruhi kehidupan bangsanya termasuk generasi penerus masa depan.

Pertama, adanya ketimpangan kesempatan yang memperkecil peluang sukses anak-anak dari keluarga miskin. Dengan terbatasnya sumber daya, mereka berpotensi mengalami stunting atau kekurangan gizi. Di Indonesia, sebanyak 37% bayi lahir dan tumbuh sampai umur dua tahun dalam keadaan kekurangan gizi. Hal ini berdampak pada pertumbuhan organ vital seperti otak sehingga perkembangan kemampuan kognitif lambat.     

Belum lagi akibatnya dalam pendidikan. Anak-anak dari keluarga miskin tidak mengenyam pendidikan sampai level tinggi. Umumnya mereka bersekolah dari bangku SD sampai SMP. Kualitas pendidikan yang diperoleh pun berbeda-beda, tergantung wilayah. Pada akhirnya, anak-anak dari keluarga miskin tak mampu mengakses hal-hal yang memungkinkannya punya kecakapan (skill) yang dibutuhkan pasar dan kehilangan kesempatan mendapat pekerjaan bergaji bagus.

Kedua, maslah ketimpangan upah dalam dunia kerja. Pasar kerja kini dipenuhi oleh tenaga kerja, baik terampil atau tidak. Mereka yang punya kecakapan tinggi akan digaji besar sekali. Sebaliknya, yang kurang cakap dan belum punya kesempatan untuk mengembangkan diri akan terjebak dalam pekerjaan informal, bergaji kecil, dan kurang produktif.

Ada kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan pekerja pun. Namun, harapan itu susah diwujudkan karena kebanyakan perusahaan di Indonesia bersifat kecil dan menengah sehingga tidak mampu mengadakan pelatihan bagi karyawannya.

Ketiga, adanya pemusatan kekayaan yang tinggi. Sebanyak 10% orang kaya memiliki 77% seluruh kekayaan negara. Pundi-pundi uang yang didapat dari aset finansial dan fisik mengalir hanya ke kantong para orang kaya sehingga penghasilan yang didapat lebih besar. Korupsi menjadi salah satu alasan di balik munculnya fenomena pemusatan harta kekayaan ini.

Keempat, guncangan ekonomi akibat PHK dan bencana alam. Apabila hal itu terjadi, orang kaya tidak akan kesulitan mengatasi masalah. Sebaliknya, rumah tangga yang tergolong miskin dan rentan miskin, akan rentan ambruk pula jika terjadi goncangan ekonomi, kesehatan, sosial, politik, dan bencana alam. Masyarakat miskin juga tak punya asuransi, sehingga jaring pengaman sosialnya adalah teman dan keluarga besar. Di Indonesia, ada 11,3% atau 28 juta orang miskin. Selain itu, ada pula 26,9% atau 68 juta orang rentan miskin yang bisa jatuh miskin karena shock tersebut.

Masalah kian parahnya ketimpangan ekonomi juga dipaparkan hasil riset International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). Menurut NGO ini, indeks ketimpangan sosial tahun 2017 meningkat dibandingkan tahun 2016. Pada 2017, indeks kesenjangan sosial adalah 5,6 yang berarti setiap warga menilai ada lima sampai enam ranah yang timpang di Indonesia. Dari 2.250 orang, sebanyak 84% responden beranggapan ada ketimpangan setidaknya pada satu ranah. Dibandingkan wilayah lain, ketimpangan yang tinggi terjadi di Indonesia bagian timur.

Karena itu, program bantuan tunai melalui padat karya dan jaminan social maupun upaya memperbaiki kemiskinan lewat Program Keluarga Harapan (PKH) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), masih perlu terus ditingkatkan.

Selain itu, pemerintah harus terus gencar mengenai kepemilikan aset. Perlu ada program property owning system, yang berarti setiap warga punya aset. Atau bisa juga menyediakan subsidi perumahan besar-besaran di samping mengupayakan program beasiswa untuk vokasi, magang, dan bisnis. Semoga!

 

BERITA TERKAIT

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…