Konstruksi Indonesia, Antara Percepatan dan Pertaruhan

Oleh: Edy Sujatmiko

"Enggak trauma, saya enggak kenapa-kenapa kok. Cuma lecet di sini (lengan bagian kanan)," ujar Agus kepada awak media daring terbitan Jakarta, di ruang rawat inap RS UKI Cawang, Kramat Jati, Jakarta Timur.

Agus (17), adalah salah satu dari tujuh korban runtuhnya "bekisting pierhead" proyek tol Bekasi Cawang Kampung Melayu (Becakayu) milik BUMN Karya PT Waskita Karya Tbk, Selasa (20/2) sekitar pukul 03.00 WIB.

Secara polos Agus mengaku memang tidak trauma dengan kejadian itu dan setelah dinyatakan sehat, dia siap bekerja kembali dengan satu pernyataan: "Ya kemana lagi harus bekerja, kalau bukan ini (proyek Tol Becakayu)," katanya.

Artinya, Agus pun dan bahkan mungkin puluhan korban luka ringan, berat dan tewas akibat kecelakaan konstruksi di Indonesia yang hingga saat ini sedikitnya terdapat 14 kejadian di Indonesia, memang tidak ada pilihan lain untuk menyambung hidup. Intinya, ada sesuatu yang dipertaruhkan di antara kebutuhan yang mendesak dengan kondisi di hadapan mata.

Agus dan ribuan pekerja konstruksi ini, khususnya di bidang infrastruktur harus menjadi saksi dan sekaligus pelaku pekerja konstruksi dengan sistem tiga shif atau 24 jam secara bergantian mereka harus bekerja dengan durasi per shif delapan jam.

Mengapa harus tiga shif? Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono pada berbagai kesempatan menegaskan bahwa dirinya ditugaskan oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur nasional dibanding dengan tetangga, bahkan negara maju lainnya.

Basuki mengaku target percepatan pengerjaan proyek infrastruktur di Indonesia saat ini, masih belum bisa dibandingkan dengan kecepatan pengerjaan di negara lain, seperti Malaysia, Filipina, atau Tiongkok.

Pengerjaan proyek infrastruktur di Tiongkok dalam satu tahun, bisa mencapai 4.000 kilometer (km), sedangkan di Indonesia baru 1.000 km. "Kecepatan pekerjaan kita masih belum apa-apa. Kalau dibandingkan dengan kecepatan di Malaysia, Filipina, apalagi Tiongkok ini kita belum apa-apa," kata dia.

Percepatan pembangunan infrastruktur ini dalam tiga tahun terakhir memang sudah berbuah karena daya saing Indonesia di tingkat internasional pada bidang investasi infrastruktur meningkat signifikan, yakni jika pada 2015 masih di urutan ke-60, maka pada tahun ini indeks kemudahan bisnis dan investasi Indonesia berada di posisi 52.

Tiga tahun terakhir, pemerintah telah melaksanakan pembangunan infrastruktur cukup signifikan, yakni 2.263 km untuk jalan, 851 km jalan tol baru, 39 bendungan, 859 ha jaringan irigasi dan pembangunan 2,4 juta rumah dalam program sejuta rumah.

Sopir Angkot

Namun, harus disadari bahwa target percepatan pembangunan infrastruktur ini harusnya juga disertai dengan target maksimal berupa pembangunan infrastruktur pada sektor konstruksinya nol kecelakaan atau kegagalan.

Sebab, jika percepatan tidak dilakukan dengan perencanaan maksimal dan matang bahkan terkesan cepat, tetapi mengandung potensi risiko luar biasa berupa kecelakaan, maka sama saja, menimbulkan penilaian cepat tapi tidak selamat.

Karena itu, wajar jika Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bersuara keras memprotes pembangunan infrastruktur di Indonesia yang dinilainya dikerjakan seperti sopir angkot (angkutan kota). "Ya, seperti sopir angkot mengejar setoran. Yang penting pekerjaan selesai, tanpa mengutamakan keselamatan, keamanan dan kenyamanan penumpangnya," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi.

Itu adalah reaksi spontan dari seorang perwakilan konsumen beberapa jam setelah robohnya "bekisting pierhead" Tol Becakayu itu. Menurut Tulus, kecelakaan konstruksi terhadap proyek infrastruktur yang terjadi secara beruntun, dengan puluhan korban melayang, membuktikan hal itu.

Kecelakaan konstruksi terjadi terbukti karena kegagalan konstruksi (construction failure). Ini membuktikan proyek konstruksi tersebut tidak direncanakan dengan matang dan atau pengawasan yang ketat dan konsisten, katanya.

Oleh karena itu, pihaknya menyampaikan kritik keras dan mendesak pemerintah untuk membentuk tim investigasi independen dengan tugas utama melakukan forensik "engineering".

Kerasnya tudingan ala "sopir angkot" ini dengan niat dan maksud agar ke depan jangan sampai proyek infrastruktur tersebut mengalami kegagalan konstruksi berulang saat digunakan konsumen. "Kita bisa bayangkan, korban massal akan terjadi jika kecelakaan konstruksi tersebut terjadi saat digunakan konsumen," kata Tulus.

Evaluasi Menyeluruh

Setelah aneka kejadian beruntun, mulai dari insiden kecil hingga kecelakaan konstruksi sejak 2017, akhirnya pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri PUPR No. 66/KPTS/M/2018 tentang Komite Keselamatan Konstruksi (KKK).

Niat utama pemerintah melalui KKK adalah untuk melakukan evaluasi menyeluruh sektor konstruksi, khususnya pada isu kesehatan dan keselamatan kerja (K3) agar kejadian dan kecelakaan sektor ini tak terjadi lagi di tengah upaya percepatan pembangunan infrastruktur.

Ketua KKK dipimpin oleh seorang direktorat jenderal, tepatnya Dirjen Bina Konstruksi, eselon satu di Kementerian PUPR dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri PUPR.

Hanya saja, dalam penilaian pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen, Agus Pambagio pada sebuah kesempatan menilai KKK tidak cukup luas cakupannya dan ternyata hanya untuk mengawasi proyek-proyek infrastruktur yang diangarkan dan dibangun oleh Kementerian PUPR.

Itu terlihat dari dibentuknya beberapa subkomite, seperti Sub-Komite Jalan dan Jembatan, Sub-Komite Sumber Daya Air, dan Sub-Komite Bangunan Gedung. Semua pimpinan subkomite dan tupoksinya ada di Kementerian PUPR.

Keputusan Menteri tersebut terlihat bahwa Komite Keselamatan Konstruksi tidak mengurus pembangunan infrastruktur transportasi, seperti MRT, LRT, kereta bandara dan proyek-proyek lain yang di bawah kendali Kementerian Perhubungan.

Artinya kasus kecelakaan kerja sektor konstruksi rel dwiganda (double double track/DDT) di kawasan Matraman dan ambruknya dinding "underpass" di perimeter Bandara Soekarno Hatta tidak diatur oleh KM No. 66 Tahun 2018.

Namun, faktanya setelah adanya beberapa kejadian dan kegagalan dalam proses konstruksi beberapa proyek infrakstruktur, Presiden Jokowi menginstruksikan perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap proses konstruksi sebuah proyek infrastruktur dan puncaknya instruksi pada Selasa (20/2), beberapa jam setelah kejadian Tol Becakayu, ditindaklanjuti oleh Menteri PUPR Basuki dengan penghentian sementara proyek infrastruktur konstruksi berat yang melayang (elevated).

Sasaran perintah penghentian sementara itu mencakup seluruh pekerjaan di proyek pembangunan jalan tol, jembatan, kereta api ringan (Light Rail Transit/LRT) dan "Mass Rapid Transit" (MRT) di Jabotabek serta Palembang.

Berdasarkan data KKK, total 32 proyek tol di seluruh Indonesia yang dihentikan sementara untuk pekerjaan berat elevatednya, dan ditambah tiga proyek LRT (dua Jabotabek dan satu Palembang) serta satu proyek pembangunan DDT Manggarai - Jatinegara.

Dirjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR Syarief Burhanuddin, selaku Ketua KKK memperkirakan penghentian sementara pekerjaan konstruksi beresiko tinggi, terutama pekerjaan konstruksi layang dan beban berat seluruh proyek pembangunan infrastruktur di Indonesia ini hanya akan berlangsung selama dua pekan terhitung sejak Selasa (20/2). "Maksimal dua pekan, jika memungkinkan lebih cepat lebih baik dan itu tak mempengaruhi target pembangunan infrastruktur," katanya.

Proses verifikasi dan klarifikasi terhadap dokumen sejumlah proyek akan dilakukan setiap hari, termasuk pada hari libur Sabtu dan Minggu. Terhadap proyek yang sudah memenuhi syarat, langsung dapat disetujui untuk diteruskan pembangunannya, seperti proyek Jembatan Holtekam di Papua yang sehari setelah dihentikan, keesokan harinya sudah bisa diteruskan.

Penghentian sementara ini akan dilanjutkan dengan evaluasi oleh KKK, mulai dari desain, prosedur operasi standar (SOP), metode kerja, sumber daya manusia, peralatan, termasuk memperketat pengawasan.

Dengan demikian, untuk pekerjaan konstruksi bukan layang, seperti pengaspalan, "rigid pavement", pembersihan lapangan dan pembangunan infrastruktur lainnya dapat terus dilakukan.

Sedikitnya terdapat delapan kriteria pekerjaan konstruksi layang yang dihentikan sementara, yakni pekerjaan menggunakan balok/gelagar-I beton langsing, menggunakan sistem "hanging scaffolding", "balance cantilever precast"/in situ, "launcher beam/frame", pekerjaan dengan tonase besar, pekerjaan yang mempunyai rasio kapasitas angkat terhadap beban kurang dari lima, pekerjaan dengan faktor keamanan sistem bekisting kurang dari empat dan pekerjaan menggunakan sistem kabel.

Dengan demikian, kepada para pemilik proyek yang dihentikan itu, diminta untuk aktif melaporkan apa saja yang sudah mereka lakukan untuk memenuhi kriteria dan selanjutnya akan dilakukan pengecekan ke lapangan.

Sebanyak 70 orang anggota KKK yang bertugas melakukan pengecekan ke lapangan dan evaluasi tidak dilakukan bersamaan tergantung pemilik proyek yang sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan akan dilanjutkan dengan pemeriksaan dan keluarnya rekomendasi, termasuk sanksi di dalamnya.

Pertaruhan Evaluasi

Pemerintah melalui penghentian sementara ini agaknya juga berakibat pada konsekuensi berupa pertaruhan. Pertaruhan karena pada satu sisi ada target besar pemerintah di bidang infratruktur, sebut saja misalnya, pada akhir tahun ini Tol Trans Jawa secara konstruksi sudah harus tuntas dan di awal 2019 sudah beroperasi, kemudian di sisi lain ada hal yang harus dipenuhi, seperti kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan dukungan sarana prasarana untuk memenuhi semua itu.

Jika faktor pendanaan proyek barangkali dengan aneka jurus yang dimiliki pemerintah, sepertinya tidak bermasalah, tetapi untuk kesiapan SDM, ini yang menjadi pertanyaan sekaligus pekerjaan rumah tersendiri.

Fakta yang ada ternyata, kata Wakil Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Heru Dewanto, dari 7.000 insinyur dengan sertifikat kompetensi profesional bidang teknik sipil, keahlian khusus yang terkait pekerjaan pengangkatan dan pemasangan benda berat masih sangat kurang.

"Insinyur yang ahli dalam bidang heavy lifting and erection (pengangkatan dan pemasangan) memang masih sangat kurang dan bahkan kompetensi tersebut nyaris belum terdaftar di PII," katanya.

Menurut Heru, pihaknya selain mendukung penuh keputusan penghentian sementara itu karena memang sudah mendesak untuk dilakukan evaluasi dan "assesment" secara menyeluruh terhadap pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur untuk menjamin seluruh proses pengerjaan proyek memang layak, aman dan memberi hasil yang terbaik.

Dalam pandangan dia, beberapa kasus kecelakaan proyek diakibatkan oleh kegagalan struktur (structural failure), namun terutamanya diakibatkan oleh kegagalan dalam proses pelaksanaan, khususnya terkait dengan pekerjaan pengangkatan (heavy lifting works) dan pemasangan (erection work).

"Heavy lifting and erection works" inilah merupakan bagian dari kegiatan konstruksi yang mengandung resiko sangat tinggi terkait dengan aspek keselamatan. Agaknya inilah antara lain pertaruhan itu, agar tujuan dari penghentian sementara ini tak semata hanya untuk menghindari kerugian negara ke depan karena untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur, tetapi lebih jauh dari itu agar bangsa ini tidak menyesal ke depan.

Simpelnya, kata Direktur Eksekutif "Institute for Development of Economics and Finance (Indef)" Enny Sri Hartati, penghentian sementara atau moratorium pekerjaan pembangunan infrastruktur layang harus diikuti dengan perbaikan.

Moratorium harus jelas, jangan hanya sekedar dihentikan seperti halnya moratorium tenaga kerja ke Arab Saudi, tetapi pemerintah tidak melakukan perbaikan apa-apa, kata Enny.

Berat memang, tetapi inilah yang harus dihadapi dan ditempuh negara ini dan pihak terkait agar stigma dan pendapat dari pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen Agus Pambagio bahwa pembangunan infrastruktur kita adalah "kerja cepat, tetapi cepat ambruk", tidak terjadi. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…

BERITA LAINNYA DI Opini

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…