Jaksa Agung: Stagnannya Penegakan Hukum di Indonesia Jadi Alarm

Jaksa Agung: Stagnannya Penegakan Hukum di Indonesia Jadi Alarm

NERACA

Jakarta - Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan fenomena penegakan hukum di Indonesia yang masih stagnan haruslah dijadikan sebagai alarm dan pesan peringatan kuat yang harus disikapi, direspons dan diperhatikan.

"Penegakan hukum yang kita laksanakan selama ini ternyata masih berjalan di tempat dan belum menunjukkan kemajuan yang berarti," kata dia saat memberikan kuliah umum dalam rangkaian Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ke-61 di Semarang, Jawa Tengah, Rabu (21/2).

Hal itu mengacu kepada pandangan dunia luar yang berdasarkan Rule of Law Index sepanjang tahun 2014-2018 oleh World Justice Project, ternyata diketahui bahwa penegakan hukum di Indonesia stagnan pada angka 0,52.

Ia menambahkan menjadi sebuah ironi yang mengundang tanda tanya tentang mengapa negara hukum seperti Indonesia dalam praktik dan kenyataannya belum mampu memajukan penegakan hukum secara proporsional, ideal dan nyata.

Kondisi seperti itu tentunya tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, karena rendahnya kesadaran, ketaatan dan kepatuhan terhadap hukum yang berlanjut dan ditambah dengan lemahnya penegakan hukum akan berpotensi menjadi beban dan hambatan bagi pelaksanaan pembangunan nasional yang sedang digalakkan.

"Kita semua memang patut memahami, untuk menciptakan situasi dan kondisi penegakan hukum yang baik dan benar tidaklah semudah membalikkan telapak tangan karena demikian beragamnya variabel yang memengaruhinya, baik bersifat yuridis maupun non yuridis sehingga perlu terlebih dahulu dilakukan identifikasi dan pemetaan permasalahan hukum yang dihadapi oleh bangsa saat ini," ujar dia.

“Dengan cara itu akan dapat diformulasikan langkah dan kebijakan strategis apa yang harus diterapkan untuk mengatasi berbagai kendala dalam proses penegakkan hukum yang akan dilaksanakan,” papar dia.

Dengan adanya persoalan dan fenomena, kata dia, terutama berkenaan dinamika yang berkembang dan memengaruhi, membuat proses penegakan hukum di Tanah Air dewasa ini tidak menjadi semakin mudah dan sederhana lagi, tetapi sebaliknya menjadi semakin kompleks, sulit dan pelik.

Berdasar pengalaman empiris, ujar dia, setidaknya terdapat beberapa tantangan, kendala dan hambatan yang harus disikapi dalam proses penegakan hukum, pertama, peraturan perundang-undangan atau regulasi yang belum bersesuaian dan belum tersistematisasi secara baik dan benar. Permasalahan tersebut dapat dilihat dari masih adanya perbedaan dan benturan antara norma hukum yang satu dengan yang lain, kekaburan bahkan kevakuman hukum.

Belum beraturannya regulasi yang tidak sejalan dengan asas lex scripta, lex certa, dan lex stricta tersebut pada gilirannya telah memicu timbulnya inflasi hukum, dimana terdapat begitu banyak peraturan perundang-undangan yang diterbitkan, namun pada hakikatnya nilai dan kualitasnya dianggap terus mengalami penurunan dalam kehidupan bermasyarakat.

“Indikasi dari kebenaran asumsi tersebut secara faktual dapat dilihat dari cukup banyaknya norma-norma hukum yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan atau tidak sesuai dengan Pancasila sebagai filosofi dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata dia.

Kedua, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi dewasa ini menjadikan hubungan antarbangsa seolah tidak lagi mengenal batasan teritorial negara (the borderless world).

Kondisi tersebut ternyata bagaikan pedang bermata dua karena di satu sisi memang dapat mempermudah orang memperoleh maupun menyampaikan informasi secara real time, namun di sisi lain tidak jarang dapat dimanfaatkan untuk melakukan berbagai tindakan negatif bahkan cenderung mengarah pada perilaku kriminal.

Ketiga, praktik korupsi yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan dan pejabat publik. Tingginya intensitas korupsi di Indonesia juga menjadi sorotan dalam laporan Global Competitiveness Index 2017-2018 yang disusun oleh World Economic Forum, dimana permasalahan korupsi dipandang sebagai salah satu masalah terbesar dalam kegiatan perekonomian di Indonesia (most problematic factors for doing business). Ant

 

 

 

BERITA TERKAIT

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…