MK Tegaskan UU Ketenagakerjaan Lindungi Hak Pekerja

MK Tegaskan UU Ketenagakerjaan Lindungi Hak Pekerja

NERACA

Jakarta - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa norma dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan justru memberikan perlindungan terhadap hak-hak para pekerja atau buruh.

"Tidak dapat diterima oleh nalar jika norma a quo yang hendak memberikan perlindungan atas hak-hak pekerja justru didalilkan bertentangan dengan Konstitusi," ujar Hakim Konstitusi I Dewa Palguna yang membacakan pertimbangan Mahkamah di Gedung MK Jakarta, Kamis (22/2).

Pemohon mendalilkan frasa "demi hukum" dalam Pasal 59 ayat (7), frasa "moral dan kesusilaan" dalam Pasal 86 ayat (1) huruf b, dan frasa "perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama" dalam Pasal 86 ayat (1) huruf c UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945.

Menurut Pemohon, pasal-pasal yang diujikan tersebut tidak memberi kepastian hukum sehingga berdampak terhadap kelangsungan pekerjaan Pemohon."Dengan mendalilkan norma yang termuat dalam Pasal 86 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945, berarti Pemohon tidak menghendaki adanya perlindungan atas hak-hak dimaksud," ujar Palguna.

Menurut Mahkamah hak-hak tersebut, khususnya hak atas perlindungan moral dan kesusilaan serta hak atas perlakuan yang sesuai harkat dan martabat manusia maupun nilai agama, justru merupakan hak-hak mendasar yang harus dilindungi, bukan hanya dalam konteks hubungan kerja tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari.

Selain itu Mahkamah menilai adanya peristiwa konkret berupa dugaan pelecehan seksual yang dialami Pemohon, jika benar terjadi adalah bukti pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, namun bukan bukti inkonstitusionalnya norma undang-undang a quo.

"Tidak adanya sanksi terhadap pelaku pelecehan seksual adalah persoalan penerapan norma undang-undang yang sepenuhnya merupakan kewenangan aparat penegak hukum karena telah menyangkut persoalan pidana," jelas Palguna.

Terkait pendapat Pemohon yang menyebutkan norma a quo tidak efektif karena tidak ada sanksi, menurut Mahkamah hal itu merupakan kewenangan penuh pembentuk undang-undang untuk menilainya sehingga Mahkamah tidak berwenang merumuskan atau menambahkan sanksi tertentu terhadap norma tersebut.

Berdasarkan pertimbangan Mahkamah, Mahkamah kemudian menilai tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam norma UU Nomor 13 Tahun 2003 yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo."Sehingga Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum," pungkas Palguna.

Amar putusan Mahkamah kemudian menyatakan menolak permohonan uji materi untuk seluruhnya. Ant

 

BERITA TERKAIT

Perangi Korupsi - RUU Perampasan Aset Harus Segera Disahkan

Komitmen pemerintah dan DPR terhadap agenda pemberantasan korupsi kembali dipertanyakan publik seiring dengan sikap kedua institusi negara itu yang masih…

Jokowi Harap Keanggotaan Penuh RI di FATF Perkuat Pencegahan TPPU

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo berharap keanggotaan penuh Indonesia di Financial Action Task Force on Money Laundering and Terrrorism…

KPK Akan Evaluasi Pengelolaan Rutan dengan Dirjen PAS

NERACA Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham)…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Perangi Korupsi - RUU Perampasan Aset Harus Segera Disahkan

Komitmen pemerintah dan DPR terhadap agenda pemberantasan korupsi kembali dipertanyakan publik seiring dengan sikap kedua institusi negara itu yang masih…

Jokowi Harap Keanggotaan Penuh RI di FATF Perkuat Pencegahan TPPU

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo berharap keanggotaan penuh Indonesia di Financial Action Task Force on Money Laundering and Terrrorism…

KPK Akan Evaluasi Pengelolaan Rutan dengan Dirjen PAS

NERACA Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham)…