Mengurai Kasus Korupsi Kepala Daerah

Oleh: Sri Muryono

Sejumlah kasus dugaan korupsi yang melibatkan oknum kepala daerah kini dalam penanganan Korupsi Pemberantasan Korupsi dan ada pula yang sedang bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Dugaan korupsi yang melibatkan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari adalah kasus yang sedang berproses di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Publik sedang mengikuti proses itu dan menanti akhir dari semua proses yang telah dilalui.

Yang jelas, proses persidangan itu merupakan "pertarungan" kredibilitas dan arena pembuktian paling sah. Dalam "pertarungan" ini, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyodorkan bukti-bukti atas tuduhannya kepada Rita.

Rita pun berkesempatan menyampaikan bukti-bukti dan alasan-alasan untuk menangkis tuduhan itu. Hingga pada akhirnya hakim memutuskan siapa yang paling memiliki bukti kuat atas kasus itu.

Rita selaku Bupati Kutai Kartanegara periode 2010 s.d. 2015 didakwa menerima suap Rp6 miliar dari Direktur Utama PT Sawit Golden Prima Hery Susanto Gun alias Abun sebagai imbalan atas pemberian izin lokasi perkebunan kelapa sawit di kabupaten tersebut.

Rita mengenal Abun, yang merupakan teman baik ayah Rita, Syaukani H.M. Abun sejak 2009 sebagai Dirut PT Sawit Golden Prima telah mengajukan izin lokasi untuk keperluan inti dan plasma perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kukar, Kalimantan Timur, namun ada tumpang-tindih atas permohonan izin lokasi.

Penyebabnya karena sudah pernah diterbitkan pertimbangan teknis pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kukar atas nama PT Gunung Surya dan PT Mangulai Prima Energi untuk perkebunan kelapa sawit. Sebagian lokasi yang diajukan juga telah dibebani Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT Kartika Kapuas Sari sehingga sampai Mei 2010 izin lokasi tidak terbit.

Untuk memperlancar pengurusan izin lokasi itu, Abun memerintahkan stafnya Hanny Kristianto mendekati Rita. Hanny pun mendekati Rita agar segera menandatangani izin lokasi PT Sawit Golden Prima. Atas pendekatan tersebut, terdakwa menghubungi Kepala Bagian Administrasi Pertanahan Kabupaten Kukar Ismed Ade Baramuli dan menanyakan perkembangan izin dan dijawab masih dalam proses.

Jaksa penuntut umum KPK Fitroh Rohcahyanto dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (21/2), menguraikan kasus ini dengan mengatakan bahwa terdakwa memerintahkan Ismed segera menyiapkan draf surat keputusan izin lokasi tersebut. Selanjutnya, surat keputusan izin lokasi seluas 16.000 hektare itu disiapkan berikut stempel Bupati Kukar.

Surat dibawa Abun, Ismed, dan Timotheus Mangintang ke rumah Rita. Rita lalu menandatangani surat izin tersebut, padahal belum ada paraf dari pejabat terkait. Surat itu juga bertentangan dengan aturan yang menyatakan maksimal luas lahan perkebunan satu perusahaan adalah 15.000 hektare.

Sebagai kompensasi atas izin lokasi yang telah diterbitkan, terdakwa diduga menerima uang dari Abun sebesar Rp6 miliar melalui rekening Bank Mandiri atas nama terdakwa pada tanggal 22 Juli 2010 sebesar Rp1 miliar dan pada tanggal 5 Agustus 2010 sebesar Rp5 miliar.

Rita pun didakwa melanggar Pasal 12 Huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Selain didakwa menerima suap Rp6 miliar, Rita juga didakwa menerima gratifikasi senilai Rp469,465 miliar dari para pemohon izin dan rekanan proyek pada berbagai dinas di Kabupaten Kukar selama 2010 s.d. 2017.

Namun, Rita dan Khairudin tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi) atas dakwaan itu. "Dakwaannya, ya, pokoknya kami tolak karena saya 'kan tidak pernah menerima di situ. Jadi, tanya saja kepada yang menerima itu, 'kan ada tiga orang tadi, Junaedi, Khairudin, dan Andi Sabrin. Tanya mereka pernah kasih kepada saya atau tidak pernah menitipkan ke mana," kata Rita seusai sidang.

Di Lapangan

Yang saat ini mendera Rita adalah salah satu kasus yang sedang bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta. Sejumlah kasus lainnya yang melibatkan kepala daerah, baik bupati, wali kota, gubernur, maupun anggota legislatif di daerah masih dalam penyidikan dan belum dilimpahkan ke pengadilan.

Kasus-kasus yang ada merupakan hasil penyelidikan dan penyidikan serta operasi tangkap tangan (OTT). Dari rangkaian kasus yang ada, tampaknya KPK terus bergerak di lapangan. Mereka sedang meneropong kepala daerah dan anggota legislatif. Bahkan, juga calon kepala daerah yang sedang bertarung dalam pilkada.

Itu terlihat dari adanya kepala daerah yang terjaring operasi selama Februari ini, beberapa di antaranya adalah kepala daerah yang mencalonkan lagi (incumbent). Mereka antara lain Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko yang ditangkap pada hari Sabtu (3-2-2018).1 Dia ditangkap lantaran diduga menerima sejumlah uang terkait dengan proyek di lingkungan Pemerintah Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

KPK juga mengamankan uang ratusan juta rupiah dalam OTT terhadap Bupati Subang Imas Aryumningsih, Selasa (13-2-2018). KPK mengamankan delapan orang, termasuk Imas serta kurir, pihak swasta, dan unsur pegawai setempat.

OTT dilakukan terkait dengan transaksi kewenangan perizinan. KPK menduga uang suap yang diterima Imas untuk kepentingan kampanye dalam pilkada pada tahun ini.

KPK menahan Bupati Lampung Tengah Mustafa yang telah ditetapkan tersangka tindak pidana suap kepada anggota DPRD Kabupaten Lampung Tengah terkait pinjaman daerah untuk APBD Lampung Tengah Tahun Anggaran 2018. Setelah pemeriksaan, ditingkatkan ke penyidikan, terhitung Jumat (16-2-2018), dilakukan penahanan terhadap Mustafa selama 20 hari pertama di Rutan Cabang KPK.

Mustafa-- mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah--diduga sebagai pihak pemberi secara bersama-sama dengan Kepala Dinas Bina Marga Kabupaten Lampung Tengah terkait dengan permintaan sejumlah uang dari pihak DPRD dengan kode "cheese".

Diduga ada arahan bupati agar uang diambil atau diperoleh dari kontraktor sebesar Rp900 juta dan dari dana taktis Dinas PUPR Kabupaten Lampung Tengah sebesar Rp100 juta sehingga total Rp1 miliar. Dalam kasus ini, ikut ditahan juga sejumlah orang, termasuk anggota DPRD dan pegawai pemerintah setempat.

Selanjutnya, pada hari Senin (19-2-2018) KPK resmi menahan Bupati Kebumen Muhamad Yahya Fuad yang telah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi pada tanggal 23 Januari 2018. KPK telah menetapkan Muhamad Yahya Fuad beserta dua orang lainnya, yaitu Hojin Anshori dari unsur swasta dan komisaris PT KAK Khayub Muhamad Lutfi sebagai tersangka tindak pidana korupsi terkait dengan pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Kebumen Tahun Anggaran 2016.

Setelah terpilih dan dilantik sebagai Bupati Kebumen pada tahun 2016, Muhamad Yahya Fuad diduga telah mengumpulkan sejumlah kontraktor yang merupakan rekanan Pemkab Kebumen dan membagi-bagikan proyek pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Kebumen.

Proyek yang dibagi-bagikan, antara lain, bersumber dari dana alokasi khusus infrastruktur APBN 2016 sebesar Rp100 miliar, yaitu kepada Khayub Muhamad Lutfi terkait dengan proyek pembangunan RSUD Prembun sebesar Rp16 miliar, kepada Hojin Anshori dan Grup Trada proyek senilai Rp40 miliar serta kontraktor lainnya sebesar Rp20 miliar.

Diduga "fee" yang disepakati sebesar 5 sampai 7 persen dari nilai proyek. Muhamad Yahya Fuad diduga menerima dari "fee" proyek senilai total Rp2,3 miliar. Tersangka Hojin Anshori yang merupakan rekanan Muhamad Yahya Fuad dan juga kontraktor di Pemkab Kebumen, sebelumnya adalah anggota tim sukses Bupati Kebumen dan diduga yang bertugas menerima "fee" proyek yang dikumpulkan oleh tersangka Khayub Muhamad Lutfi.

Terhadap tuduhan dan dugaan yang disampaikan KPK yang menjadi landasan dalam penetapan sebagai tersangka, mereka yang telah ditetapkan sebagai tersangka, kemudian menjadi terdakwa di pengadilan memiliki hak untuk membantahnya dengan bukti-bukti yang dapat meyakinkan majelis hakim.

Penyalahgunaan Wewenang

Yang jelas, serangkaian penangkapan dan penetapan kepala daerah sebagai tersangka oleh penegak hukum itu menambah deret hitung pada data mengenai penegakan hukum di Indonesia pada tahun 2018. Indonesia Corruption Watch (ICW), misalnya, mencatat sepanjang 2017, terdapat 30 kepala daerah yang terdiri atas satu gubernur, 24 bupati/wakil bupati, dan lima wali kota/wakil wali kota telah menjadi tersangka kasus korupsi.

Kasusnya ditangani aparat penegak hukum, baik KPK, kejaksaan, maupun kepolisian. Mereka terlibat dalam 29 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp231 miliar dan nilai suap Rp41 miliar.

Kasus korupsi kepala daerah ini, terutama terkait dengan penyalahgunaan APBD, perizinan, infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, promosi dan mutasi pejabat daerah, pengelolaan aset daerah, dan lainnya. Sebanyak 11 kasus di antaranya ditangani oleh KPK, sembilan kasus oleh kejaksaan dan delapan kasus oleh kepolisian.

Sepanjang tahun 2017, terdapat 576 kasus korupsi yang ditangani dengan kerugian negara mencapai Rp6,5 triliun dan suap Rp211 miliar. Jumlah tersangka mencapai 1.298 orang. Dibanding dengan tahun 2016, penanganan kasus korupsi pada tahun 2017 mengalami peningkatan signifikan, terutama dalam aspek kerugian negara. Pada tahun 2016, kerugian negara dalam 482 kasus korupsi mencapai Rp1,5 triliun dan naik menjadi Rp6,5 triliun pada tahun 2017.

Hal ini disebabkan karena adanya kasus dengan kerugian negara yang besar yang ditangani oleh KPK, yakni kasus KTP elektronik dan untuk kepolisian pada kasus TPPI.

ICW menduga maraknya modus suap yang dilakukan oleh kepala daerah dilakukan untuk biaya kampanye yang menghabiskan dana sangat besar. Selain itu, kurangnya transparansi anggaran dan lemahnya partisipasi masyarakat menjadikan dana-dana strategis dengan mudah dialihkan untuk kepentingan pemenangan salah satu pasangan calon.

Untuk itu, ICW merekomendasikan perlu adanya transparansi dan pelibatan masyarakat dalam memantau APBD. Hal ini penting untuk meminimalkan potensi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh kepala daerah, terutama pada tahun politik. Selain itu, kepala daerah yang akan mencalonkan kembali perlu untuk menekan biaya kampanye agar meminimalkan konflik kepentingan dengan menerima uang dari beberapa pihak yang memiliki kepentingan.

Dari kasus-kasus yang terungkap di persidangan, terutama keterkaitan kepala daerah dengan tersangka lainnya tergambar fakta adanya kebutuhan dana yang besar untuk membiayai kampanye politiknya. Akibatnya, setelah terpilih kemudian terbebani untuk membalas budi pihak-pihak yang telah membantu dana kampanye.

Kepala daerah juga terbebani dengan balas budi kepada tim suksesnya yang ikut berperan dengan tenaga sekalipun. Belum lagi kalau berbicara soal gaya hidup bahwa sebagai kepala daerah harus "tampil beda" di hadapan publik yang semua itu adalah pengeluaran. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…