Revitalisasi Ide Poros Maritim

 

Oleh: Prof. Yudhie Haryono, Direktur Nusantara Centre

Pelan tetapi pasti ide poros maritim ditelan program harian lain dalam bernegara. Ia, sebagai cita-cita besar masih berkutat di tumpukan kertas kerja dan ruang-ruang akademik.

Padahal, sejak semula ide ini merupakan dentuman besar yang diharap merubah nasib bangsa ini dari negara daratan menjadi negara maritim yang disegani dunia. Tentu ini bukan mimpi di siang bolong sebab nenek moyang kita secara geneologis adalah bangsa pelaut dan pernah menguasai dunia lewat dua kerajaan maritim yaitu Sriwijaya dan Majapahit.

Lalu, kita mau apa dengan ide yang mulai dilupakan? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita tengok dulu tesis John Gray yg menyebut bahwa, "those who control oil and water will control the world (John Gray, 29 March 2008). And, history may not repeat itself, but, it can sometimes rhyme."

Ini tentu tesis zaman tengah; zaman peralihan; zaman tekhnologi semi modern. Sebab, tesis yang mula dan purba tentu kalimat "siapa kontrol rempah, kontrol dunia. Maka ditemukanlah istilah spice road." Setelah itu muncul "siapa menguasai emas, menguasai dunia. Maka muncullah istilah silk road." Setelah itu baru tesis John Gray seperti di atas yang melahirkan "jalur neoliberal." Lalu yang terbaru, "siapa mengkreasi iptek, ialah pemilik masa depan."

Kita dan semua warga republik Indonesia mungkin harus bersiap pada sejarah yang makin tidak tak terprediksi. Sebab, jalur maritim kita tidak tak terrealisasikan. So, it would be wise to plan for some more of history's rhymes.

Mengapa sulit direalisasikan? Padahal, secara ekonomi, potensi keekonomian laut Indonesia sebesar USS 2,5 T per tahun. Hal ini karena kita masih memiliki potensi ekonomi kelautan yang dapat dikembangkan seperti perikanan tangkap, budidaya, industri bioteknologi kelautan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, transportasi laut, industri dan jasa maritim, beberapa pulau kecil, dan sumber daya konvensional.

Potensi ekonomi kelautan ini apabila dimanfaatkan secara optimal akan menjadi produser komoditas perikanan terbesar di dunia. Ia juga akan menjadi sumber pendapatan terbesar di APBN kita. Dus, problem minus APBN akan teratasi jika program ini dikerjakan sungguh-sungguh.

Menurut catatan ahli kelautan Bonar Simangunsong (Tim Ahli Dewan Maritim Nasional), kita memiliki lahan tambak udang sekitar 1,2 juta hektar dan baru diusahakan 350,000 hektar dengan produktifitas rata-rata 0,6 ton hektar per tahun. Jika saja potensi ini di targetkan 500,000 hektar dengan proksi rata-rata 2 ton hektar per tahun maka menghasilkan kira-kira 1 juta ton udang per tahun yang dapat menyumbang devisa negara mencapai kira-kira USS 6 miliar per tahun.

Bisnis ini sekaligus menyerap tenaga kerja serta memajukan kemandirian ekonomi dan dapat terhindar dari kesenjangan sosial, terutama untuk nelayan kita yang belum sejahtera.

Menurut Presiden Jokowi (15/06/2016), kontribusi sektor kelautan terhadap perekonomian Indonesia masih di bawah 30% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau di bawah Rp 3,4 triliun per tahun.

Padahal menurutnya, potensi sektor tersebut seharusnya US$ 1,2 triliun per tahun atau setara dengan Rp 15.600 triliun (kurs Rp 13.000). Dengan potensi ekonomi sebesar US$ 1,2 triliun per tahun, mestinya kita mampu menyerap tenaga kerja 40 juta orang. Tentu saja potensi tersebut, lebih besar dibandingkan dengan realisasi sektor kelautan di berbagai negara. Terutama Jepang dan Thailand.

Contoh potensi lainnya adalah dari total sumber daya ikan (SDI), potensi kita sekitar 57,7 ton ikan per tahun atau 7% dari total potensi lestari SDI laut di dunia, namun yang dimanfaatkan baru 1,6 juta ton (0,3%).

Kita menghadapi lima persoalan yang harus segera dipecahkan: 1)Ketiadaan kurikulum kelautan yang komprehensif di semua sekolah; 2)Ketiadaan peta ketimpangan dan tantangan kelautan; 3)Ketiadaan usaha menyelesaikan pencurian potensi laut; 4)Ketiadaan progran dahsyat atasi ketimpangan infrastruktur; 5)Ketiadaan ingatan dan kesadaran bangsa maritim yang panjang bergelombang.

Padahal, riset Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar 7,87 juta jiwa atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional menggantungkan hidupnya dari laut. Mereka tersebar di 10.666 desa pesisir yang berada di 300 dari total 524 kabupaten dan kota se-Indonesia. Jadi, bila kita ingin menjadi poros maritim dunia maka tak ada pilihan lain kecuali menyelesaikan lima problem tersebut. 

BERITA TERKAIT

Pembangunan IKN Terus Berlanjut Pasca Pemilu 2024

  Oleh: Nana Gunawan, Pengamat Ekonomi   Pemungutan suara Pemilu baru saja dilakukan dan masyarakat Indonesia kini sedang menunggu hasil…

Ramadhan Momentum Rekonsiliasi Pasca Pemilu

Oleh : Davina G, Pegiat Forum Literasi Batavia   Merayakan bulan suci Ramadhan  di tahun politik bisa menjadi momentum yang…

Percepatan Pembangunan Efektif Wujudkan Transformasi Ekonomi Papua

  Oleh : Yowar Matulessy, Mahasiswa PTS di Bogor   Pemerintah terus menggencarkan pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah Papua. Dengan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan IKN Terus Berlanjut Pasca Pemilu 2024

  Oleh: Nana Gunawan, Pengamat Ekonomi   Pemungutan suara Pemilu baru saja dilakukan dan masyarakat Indonesia kini sedang menunggu hasil…

Ramadhan Momentum Rekonsiliasi Pasca Pemilu

Oleh : Davina G, Pegiat Forum Literasi Batavia   Merayakan bulan suci Ramadhan  di tahun politik bisa menjadi momentum yang…

Percepatan Pembangunan Efektif Wujudkan Transformasi Ekonomi Papua

  Oleh : Yowar Matulessy, Mahasiswa PTS di Bogor   Pemerintah terus menggencarkan pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah Papua. Dengan…