UU MD3 Bertentangan dengan UUD 1945

NERACA

Jakarta-Revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD (UU MD3) dinilai bertentangan dengan prinsip keterwakilan rakyat dalam UUD 1945, terutama Pasal 122 huruf k yang menyebutkan, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dapat melaporkan orang-perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR ke kepolisian. 

Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) resmi mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Pasal yang menyangkut ketika DPR bisa melakukan langkah hukum kepada warga negara. Ini yang kemudian kita gugat karena bertentangan dengan prinsip keterwakilan rakyat dalam UUD,” ujar kuasa hukum FKHK Irman Putra Sidin dalam diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (17/2). 

Selain Pasal 122 huruf k, FKHK juga menggugat Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c serta Pasal 245 ayat (1). Pasal 73 itu menyebutkan bahwa Polri wajib mengikuti perintah DPR untuk memanggil paksa seseorang yang mangkir dari panggilan DPR, bahkan polisi disebutkan berhak melakukan penahanan. 

“Kenapa warga negara harus dipanggil paksa? Kecuali dalam konteks tertentu. Kalau memanggil warga negara kan itu tugas DPR dalam mendengar aspirasi rakyatnya,” ujar pakar hukum tata negara itu. Irman juga menilai, UU MD3 telah merendahkan hak rakyat. 

Sebab wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat dapat dipidanakan dengan alasan merendahkan kehormatan Dewan. Padahal rakyat merupakan konstitusi tertinggi dalam demokrasi. “Kami tidak membayangkan memilih mereka kemudian punya kewenangan memanggil paksa. Kita pilih wakil rakyat agar aspirasi rakyat diserap. 

Selain itu UU MD3 tidak sesuai dengan semangat reformasi agar DPR lebih terbuka terhadap publik,” ujarnya. Kritik revisi UU MD3 juga datang dari peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus. Dia menilai, DPR sangat tertutup dalam pembahasan revisi UU MD3. 

Buktinya DPR tidak melibatkan publik saat proses pembahasan revisi UU tersebut sehingga muncul pasal-pasal kontroversial. “Kritik awal pertama kami, proses dan penilaian kinerja. Apa yang jadi bahan kritik kami, partisipasi publik atas pembahasan revisi UU MD3 ini tidak kelihatan. Bahkan pembahasan UU itu hanya fokus terhadap pembagian kursi pimpinan,” ujarnya.  

Menurut dia, UU MD3 yang sudah disahkan juga memiliki semangat antidemokrasi. Di antaranya pemberian otoritas ke MKD untuk mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang dianggap merendahkan kehormatan dan anggota DPR. Selanjutnya pemanggilan dan pemeriksaan anggota DPR dalam penyidikan pidana yang harus mendapat persetujuan Presiden setelah mendapat pertimbangan dari MKD. 

Secara terpisah, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi meminta agar publik tidak mengkhawatirkan pasal terkait penghinaan terhadap parlemen (contempt of parliament) di UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Karena, pasal penghinaan parlemen yang tertuang dalam Pasal 122 huruf k itu tidak memiliki delik pidana.

"Enggak ada sanksinya. Itu bukan delik pidana. Ini tafsirnya terlalu jauh ditafsirkan publik," ujar Supratman dalam diskusi di Gedung DPR, Jakarta, akhir pekan lalu. Menurut dia, tidak perlu ada yang ditakuti dalam pasal tersebut. Sebab, tanpa pasal itu pun anggota dewan dapat melaporkan secara pribadi.

Hanya saja, jika setiap anggota dewan yang berjumlah 560 orang melaporkan sendiri kasusnya, akan terlalu banyak. Maka, kata Supratman UU MD3 memberi kewenangan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk melaporkan.

Tugas MKD itu pun hanya sebatas mewakili DPR untuk mengambil langkah hukum jika merasa ada kehormatan yang dilanggar. Dia mencontohkan, hal ini sama seperti saat anggota Komisi III DPR mewakili parlemen dalam sidang gugatan di Mahkamah Konstitusi.

Dalam UU MD3 yang baru disahkan hasil revisi, DPR memberi tambahan tugas kepada MKD sebagaimana tertuang dalam Pasal 122 huruf k. Pasal itu menyatakan, dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 121A, MKD bertugas mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Anggota Baleg lainnya, Arsul Sani, mengungkapkan dinamika yang terjadi dalam pembahasan revisi UU MD3 terkait Pasal 73. Menurut dia, ada keinginan pemerintah agar pihak yang diwajibkan hadir di DPR bukan hanya pejabat saja, melainkan setiap orang.

"Isi yang diusulkan DPR sebelum berubah awalnya tiap pejabat yang dipanggil DPR tak mau datang bisa dipanggil paksa. Tapi pemerintah yang ingin jangan diskriminasi pejabat saja, maka diganti tiap orang," ujar Arsul.

Beleid Pasal 73 ayat 1 menyebutkan DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memanggil setiap orang secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR. Selanjutnya, dalam ayat 2 disebutkan setiap orang wajib memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud ayat 1.

Arsul mengklaim, DPR pada awalnya memiliki keinginan agar pasal ini dibuat limitatif. Dalam arti lain, tidak perlu penyanderaan setelah dipanggil paksa. Soal ini tercantum dalam ayat 5, yakni dalam menjalankan panggilan paksa Polri dapat menyandera setiap orang paling lama 30 hari.

"Itu pasal lebay. Saya lebih sreg jangan disandera. Sebab menegakan prinsip warga negara punya kewajiban memberi keterangan atau kesaksian harus ditegakkan di pengadilan," kata Arsul yang juga mewakili partainya menolak pengesahan UU MD3 di rapat paripurna lalu.

FJHK juga mengkritisi hak imunitas anggota DPR yang bertentangan dengan prinsip negara hukum. "Jelas merugikan hak konstitusional para pemohon warga negara untuk diperlakukan sama di dalam hukum, hak untuk mendapatkan kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan," ujar Irman. mohar

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…