Harapan Ekonomi 2018 Tertuju pada Investasi

Oleh: Satyagraha

Badan Pusat Statistik telah merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 sebesar 5,07 persen (yoy) atau merupakan yang tertinggi sejak 2014. Pencapaian ini sedikit di bawah dari proyeksi pemerintah sebesar 5,2 persen, namun lebih baik dari periode 2014 sebesar 5,01 persen, periode 2015 sebesar 4,88 persen dan periode 2016 sebesar 5,03 persen.

Pertumbuhan ekonomi ini didukung oleh membaiknya kinerja komponen pengeluaran, yaitu ekspor yang tumbuh positif sebesar 9,09 persen, pembentukan modal tetap bruto atau investasi sebesar 6,15 persen dan konsumsi rumah tangga sebesar 4,95 persen.

Kinerja ekspor sepanjang 2017 memperlihatkan tanda-tanda pemulihan ekspor barang nonmigas seiring dengan meningkatnya perekonomian di negara tujuan ekspor, bandingkan pencapaian ini dengan ekspor pada 2016 yang tumbuh negatif.

Investasi juga memperlihatkan pencapaian yang serupa, bahkan pada triwulan III-2017 dan IV-2017 masing-masing bisa tumbuh 7,08 persen dan 7,27 persen, seiring dengan peningkatan investasi bangunan maupun mesin serta realisasi pembangunan infrastruktur.

Meski tidak tumbuh setinggi ekspor dan investasi, konsumsi rumah tangga ikut tumbuh signifikan, terutama konsumsi bagi sektor kesehatan dan pendidikan, makanan dan minuman serta restoran dan hotel.

Pencapaian ekonomi ini dilihat oleh lembaga multilateral, seperti IMF, sebagai kinerja yang bagus, apalagi laju inflasi juga relatif terjaga pada kisaran 3,61 persen untuk keseluruhan tahun 2017.

Terkait pencapaian pertumbuhan ekonomi 2017, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan angka tersebut tidak terlalu meleset dari proyeksi 5,2 persen dan merupakan terbaik ketiga di antara negara G20.

Menurut dia, angka 5,1 persen ini cukup membahagiakan dan kita cukup 'comfortable', kalau dibandingkan secara internasional sudah cukup tinggi. Kita nomor tiga sesudah China dan India. Untuk itu, Suahasil mengharapkan sektor investasi maupun ekspor dan impor dapat berkinerja lebih optimal dan meneruskan pencapaian positif untuk tumbuh pada 2018.

Menurut dia, kinerja investasi yang tumbuh sebesar 6,15 persen dan ekspor yang tumbuh sebesar 9,09 persen pada 2017 bisa menjadi pondasi untuk memicu pertumbuhan ekonomi pada 2018. Kalau investasi tumbuh pesat, ekspor dan impor juga tumbuh pesat, artinya kegiatan ekonomi mulai bergulir, katanya.

Ia menambahkan sektor investasi dan ekspor yang tumbuh positif itu bisa memberikan dampak kepada peningkatan kinerja konsumsi rumah tangga yang sepanjang 2017 hanya tumbuh pada kisaran 4,95 persen.

Kalau kegiatan ekonomi mulai berjalan, kata dia, pasti ada sebagian dari proses investasi maupun ekspor impor menjadi pendapatan pekerja, yang berimbas kepada naiknya konsumsi rumah tangga. Oleh karena itu, ia optimistis konsumsi rumah tangga di 2018 bisa meningkat di atas lima persen, seiring dengan potensi meningkatnya kegiatan ekonomi karena membaiknya daya beli masyarakat.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menyakini konsumsi rumah tangga bisa menunjukkan kinerja positif pada 2018 dan kembali tumbuh dalam kisaran lima persen. Menurut dia, pola konsumsi masyarakat akan berubah di 2018, yaitu lebih banyak dimanfaatkan untuk hiburan rekreasi atau "leisure" yang terlihat dengan tumbuhnya komponen transportasi dan komunikasi serta restoran dan hotel.

Tanda-tanda berubahnya pola konsumsi masyarakat terlihat pada triwulan IV-2017, karena penyumbang tumbuhnya konsumsi rumah tangga pada periode ini adalah tingkat hunian kamar hotel, penjualan makanan, minuman dan tembakau serta klaim bruto BPJS kesehatan.

Deregulasi Jadi Kunci

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyakini kinerja ekspor dan investasi yang positif bisa menjadi pondasi bagi pertumbuhan ekonomi 2018 yang diproyeksikan sebesar 5,4 persen. Selain itu, konsumsi rumah tangga maupun LNPRT bisa didukung oleh penyelenggaraan pilkada secara serentak maupun kegiatan akbar Asian Games yang berlangsung pada pertengahan tahun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengungkapkan momentum pertumbuhan sebesar 5,07 persen pada 2017 harus terus dikawal, terutama investasi yang menjadi andalan pemerintah.

Untuk itu, kata Sri Mulyani, penguatan sektor investasi melalui deregulasi perizinan maupun berbagai kemudahan lainnya harus diupayakan agar investasi dapat tumbuh lebih optimal.

Kalau dilihat dari semua angka-angka ini, kata dia, telah sesuai dengan arahan Presiden untuk memperkuat investasi dengan memperbaiki izin usaha dan mempermudah 'policy', yang kita harap meningkatkan momentum dari sektor industri.

Presiden Joko Widodo bahkan secara khusus telah meminta Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mengawal percepatan ekspor maupun investasi yang telah menjadi pendukung utama pertumbuhan ekonomi.

Salah satu permintaan Presiden adalah menghilangkan hambatan di tataran kementerian terkait penerbitan perizinan dengan menyamakan persepsi agar pertumbuhan investasi tidak terhambat.

Penyederhanaan regulasi yang saling tumpang tindih ini harus dilakukan karena meski peringkat kemudahan berusaha Indonesia sudah meningkat masih banyak pembenahan yang harus dilakukan. Setiap hari saya bertemu menteri, selalu itu yang saya sampaikan, deregulasi. Saya kira menyederhanakan itu merupakan kunci, kata Jokowi.

Menanggapi arahan Presiden, Wakil Presiden Jusuf Kalla kemudian mengumpulkan perwakilan pengusaha besar asing, para duta besar serta perwakilan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) guna menganalisa persoalan yang dialami. "Itu sudah dikemukakan masalah-masalahnya, itu yang kita perbaiki. Disamping itu kita bandingkan dengan apa yang dibuat oleh negara-negara sekitar, supaya kita berada di level yang sama," katanya.

Menurut dia, menyamakan persepsi terkait kemudahan investasi dengan negara-negara lain di kawasan perlu dilakukan supaya dapat menjadi tolok ukur dalam penyederhanaan regulasi ini.

Tantangan Dorong Investasi

Kepala Ekonom Bank Danamon Anton Hendranata mengatakan perbaikan kinerja investasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi dari lima persen, bahkan berada di enam atau tujuh persen. Namun, ia memastikan perbaikan itu harus didukung oleh pembenahan struktur ekonomi, mulai dari regulasi hingga infrastruktur agar pertumbuhan ekonomi dapat lebih optimal.

Struktur ekonomi ini, katanya, harus diubah, infrastruktur harus dibangun secara konsisten, regulasi dan kepastian hukum seperti apa. Kalau itu tidak meningkat, 'potensial output' Indonesia bisa-bisa hanya di lima atau 5,5 persen.

Kendati proyek infrastruktur dampaknya baru terasa dalam jangka menengah panjang, Anton juga mengingatkan pemerintah untuk juga tetap memikirkan program-program jangka pendek, terutama terkait daya beli masyarakat di 2018.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati justru mengkhawatirkan mengenai nasib investasi di Indonesia pada tahun politik 2018. Enny mengatakan bahwa tahun politik mengandung kendala yang krusial bagi investasi, yaitu sikap investor yang cenderung menunggu kepastian terlebih dahulu.

Menurut dia, realisasi investasi merupakan prasyarat pertumbuhan ekonomi berkualitas yang dapat dinikmati oleh semua pelaku. Makna pertumbuhan ekonomi berkualitas, tambah dia, tergambar dari realisasi investasi yang menyerap tenaga kerja lebih banyak.

Enny menilai faktor yang perlu diperbaiki untuk mengatasi persoalan investasi adalah penyelesaian masalah korupsi, efisiensi birokrasi institusi pemerintah dan peningkatan akses keuangan.

Di sisi lain, Enny memandang peristiwa besar di 2018, seperti misalnya Asian Games, pilkada serentak, dan pertemuan tahunan Bank Dunia-IMF hanya menggerakkan sektor konsumsi rumah tangga. Padahal, katanya, untuk bisa mengakselerasi ekonomi yang dibutuhkan adalah investasi.

Peringatan tersebut bisa menjadi perhatian bagi pemerintah untuk lebih serius dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, agar pencapaian yang bagus tidak berakhir sia-sia. Meski pembenahan struktural dalam jangka pendek telah dilakukan, belum tentu hasilnya optimal, mengingat kerja pemerintah secara efektif tinggal setahun lagi.

Dengan demikian, menjaga optimisme pelaku usaha menjelang Pemilihan Umum 2019 menjadi sangat krusial, agar proyeksi pertumbuhan ekonomi tidak lagi meleset dari target seperti sebelumnya. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…