Putusan MK Bukan Justifikasi Pembenaran Hak Angket

Putusan MK Bukan Justifikasi Pembenaran Hak Angket

NERACA

Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Udayana Jimny Usfunan menjelaskan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat dijadikan pembenaran terhadap rekomendasi hak angket kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Hal ini bukan berarti DPR bisa menggunakan putusan itu sebagai justifikasi pembenar untuk melakukan hak angket dengan sembarangan,"ujar Jimny ketika dihubungi di Jakarta, Sabtu (10/2).

Menurut dia, putusan MK sudah memberikan pemahaman dan menekankan persoalan KPK masuk ke dalam ranah eksekutif, tapi bukan berarti semua persoalan yang ditangani KPK masuk ke dalam ranah eksekutif. KPK sebagai badan dikatakan Jimny, meskipun ditempatkan dalam badan eksekutif, namun lembaga anti rasuah itu tetap menjalankan fungsi legislatif, yudisial, dan administrasi.

"Karena logika DPR bisa jadi ke arah sana, di mana KPK masuk ke ranah eksekutif berarti semua kebijakan KPK bisa diangketkan, itu tentu sangat keliru," ujar dia.

Lebih lanjut Jimny mengatakan bahwa penyelidikan, penyidikan, dan penggugatan memang merupakan tugas dan fungsi eksekutif namun sudah masuk ke dalam lingkup yudisial di peradilan sehingga tidak bisa diangketkan."Maka bila DPR mau meributkan persoalan bagaimana pengangkatan PNS di KPK itu silahkan karena itu ranah eksekutif, tetapi kalau sudah masuk di wilayah persoalan peradilan itu sudah tidak boleh," tegas Jimny.

Sebelumnya, Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta Zainal Arifin Mochtar menilai aneh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi UU MD3 terkait dengan hak angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Menurut saya, ini adalah putusan yang aneh, karena putusan ini kontradiktif," kata Zainal ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (9/2).

Dalam putusan tersebut disebutkan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang mirip dengan Kejaksaan dan Kepolisian karena memiliki fungsi-fungsi eksekutif.”Tapi di sisi lain dikatakan KPK tidak boleh mendapatkan angket untuk penyidikan, penuntutan, dan penyelidikan, sehingga hal ini tentu menjadi sangat kontradiktif,” jelas Zainal.

"Padahal 'pintu masuknya' karena permasalahan itu, tapi pada saat yang sama itulah tidak boleh diangket," tambah Zainal.

Selain itu Zainal menilai putusan Mahkamah atas ketentuan hak angket tersebut seolah-olah membatalkan beberapa putusan Mahkamah sebelumnya.

Terdapat empat putusan Mahkamah yang sebelumnya menyatakan bahwa KPK adalah lembaga independen yang memiliki kekuasaan yudikatif. Keempat putusan Mahkamah tersebut bernomor; 19/PUU-IV/2006 tertanggal 19 Desember 2006, 19/PUU-V/2007 tertanggal 13 November 2007, 37-39/PUU-VIII/2010 tertanggal 15 Oktober 2010, dan 5/PUUIX/2011 tertanggal 20 Juni 2011.

"Tapi kemudian putusan ini dia bilang KPK adalah eksekutif, lantas apa dasar perubahan itu, ini seperti MK kemarin bilang KPK itu tahu kok hari ini KPK tempe," kata Zainal.

Pada Kamis (8/2) lima hakim konstitusi sepakat untuk menolak permohonan uji materi UU MD3 terkait dengan hak angket DPR kepada KPK.

Dalam pertimbangan kelima hakim konstitusi tersebut, dijelaskan bahwa KPK merupakan bagian dari ranah eksekutif mengingat tugas dan fungsi KPK yang berada dalam domain eksekutif. Lima hakim konstitusi tersebut berpendapat bahwa dasar pembentukan KPK ialah karena belum optimalnya lembaga negara, dalam hal ini adalah Kepolisian dan Kejaksaan yang mengalami krisis kepercayaan publik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Sementara itu Kepolisian dan Kejaksaan dalam undang undang masuk ke dalam ranah eksekutif.

Dengan demikian putusan Mahkamah menyatakan bahwa DPR mempunyai hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada KPK sama seperti KPK yang memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab kepada publik. Namun terdapat empat hakim konstitusi lainnya yaitu; Maria Farida Indrati, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo, memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Ant

BERITA TERKAIT

Kanwil Kemenkumham Sumsel Sosialisasikan Pendaftaran Merek Kolektif

NERACA Palembang - Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Sumatera Selatan menyosialisasikan pendaftaran merek kolektif yang merupakan…

Jokowi Apresiasi PPATK Atas Pengakuan Efektivitas APU PPT

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo mengapresiasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak…

KPK Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi di Pemprov Lampung

NERACA Bandarlampung - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung. "Kehadiran…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Kanwil Kemenkumham Sumsel Sosialisasikan Pendaftaran Merek Kolektif

NERACA Palembang - Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Sumatera Selatan menyosialisasikan pendaftaran merek kolektif yang merupakan…

Jokowi Apresiasi PPATK Atas Pengakuan Efektivitas APU PPT

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo mengapresiasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak…

KPK Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi di Pemprov Lampung

NERACA Bandarlampung - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung. "Kehadiran…