Indeks Ketimpangan Sosial Indonesia Meningkat

 

 

 

NERACA

 

Jakarta - Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Bagus Takwin mengatakan hasil penelitian yang dilakukan bersama International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menunjukkan indeks ketimpangan sosial Indonesia pada 2017 berada pada angka 5,6. "Itu artinya, warga mempersepsikan ada lima hingga enam ketimpangan dari 10 ranah sumber ketimpangan yang diajukan dalam survei," kata Bagus dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (8/2).

Bagus mengatakan indeks ketimpangan sosial tersebut lebih tinggi daripada persepsi masyarakat pada tahun sebelumnya. Pada 2016, indeks ketimpangan sosial Indonesia berada pada angka 4,4. Persepsi itu diperoleh melalui metode survei menggunakan kuesioner di 34 provinsi terhadap 2.250 partisipan yang dilakukan selama dua bulan. "Yang dimaksud dengan ketimpangan sosial adalah ketidakmerataan distribusi sumber daya yang menggambarkan perbedaan rata-rata sumber daya yang diperoleh," tuturnya.

Terdapat 10 ranah sumber ketimpangan yang diajukan dalam kuesioner yaitu penghasilan, pekerjaan, rumah atau tempat tinggal, harta benda dan kesejahteraan keluarga, pendidikan, lingkungan tempat tinggal, terlibat dalam politik, hukum dan kesehatan. "Indeks ketimpangan sosial ini mengindikasikan berapa banyak ranah dari 10 ranah sumber ketimpangan yang dinilai timpang oleh seluruh responden. Indeks berada rentang nol, yaitu tidak ada ranah yang timpang, hingga 10, yaitu ada ketimpangan di 10 ranah," jelasnya.

Dari hasil survei tersebut, ditemukan tujuh ranah yang responden persepsikan terdapat ketimpangan, yaitu penghasilan (71,1 persen), pekerjaan (62,6 persen), rumah atau tempat tinggal (61,2 peren), harta benda (59,4 persen), kesejahteraan keluarga (56,6 persen), pendidikan (54 persen) dan lingkungan tempat tinggal (52 persen). "Sebanyak 54,2 persen responden menilai penghasilan yang dimiliki tidak dan kurang layak, sedangkan 41,2 persen menilai layak," kata Bagus. Selain penghasilan, responden juga mempersepsikan ada ketimpangan berbasis gender, yaitu 45,5 persen menilai terdapat ketimpangan antara laki-laki dan perempuan.

Hal itu diakui oleh Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri. Ia mengakui pihaknya masih menghadapi tantangan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan pengangguran, sepanjang 2018. Selain tantangan hubungan industrial terkait digitalisasi yang memengaruhi sejumlah sektor & profesi. Tenaga kerja berpendidikan sekolah dasar (SD) dan menengah (SMP), katanya, menjadi alasan tantangan yang serupa tahun sebelumnya.

“Kita harus antisipasi hal itu secara baik, dengan upaya meningkatkan kompetensi dan sertifikasi profesi serta mengoptimalkan informasi pasar kerja kita baik yang ada di dalam maupun di luar negeri,” ujarnya, seperti dikutip Poskota. Caranya, ia menjelaskan, memprioritaskan peningkatan sumber daya manusia (SDM) dan perbaikan kualifikasi tenaga kerja Indonesia agar menjadi tenaga yang terlatih dan terampil sehingga mampu terserap semuanya oleh industri.

Terkait masalah hubungan industrial, Menteri Hanif mengarahkan agar dilakukan percepatan baik pada pembuatan peraturan perusahaan PP maupun Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang saling menguntungkan pekerja dan pengusaha dan menjaga iklim investasi yang sehat.

Mantan Menteri Marwan Djafar menyebutkan bahwa bahwa antara desa dan kota mengalami pertumbuhan timpang yang cukup tinggi, dengan kontribusi kota besar dan metropolitan terhadap pertumbuhan mencapai 32%. Sementara kontribusi kota menengah dan kecil hanya berkisar 7% terhadap pertumbuhan. “Menurut Bank Dunia, ada empat hal yang membuat ketimpangan sosial ekonomi, yaitu ketidaksetaraan kesempatan akses pendidikan, shock dalam perekonomian dan kurangnya daya beli, kesenjangan upah, dan keuntungan dari penguasaan aset-aset finansial yang hanya dinikmati segelintir orang,” ujar Marwan.

Indonesia saat ini menempati urutan ke-4 negara paling timpang di dunia. 1% orang terkaya menguasai 49,3% kekayaan nasional. 10% orang terkaya menguasai 77% dari total kekayaan nasional. Kendati jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan menurun dari 40% menjadi 8% sejak tahun 2000, manfaat dari pertumbuhan ekonomi tersebut tidak merata.

 

BERITA TERKAIT

Arus Balik Lebaran 2024, Pelita Air Capai On Time Performance 95 Persen

NERACA Jakarta – Pelita Air (kode penerbangan IP),maskapai layanan medium (medium service airline), mencapai rata-rata tingkat ketepatan waktu penerbangan atau on-time…

UMKM Indonesia Bersaing di Tingkat Dunia Lewat Marketplace

UMKM Indonesia Bersaing di Tingkat Dunia Lewat Marketplace NERACA  Jateng - Dalam rangka program Literasi Digital di Indonesia, Kementerian Komunikasi…

Moody's Pertahankan Peringkat Kredit Indonesia

Moody's Pertahankan Peringkat Kredit Indonesia  NERACA Jakarta - Lembaga pemeringkat Moody's kembali mempertahankan peringkat kredit atau Sovereign Credit Rating Republik…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Arus Balik Lebaran 2024, Pelita Air Capai On Time Performance 95 Persen

NERACA Jakarta – Pelita Air (kode penerbangan IP),maskapai layanan medium (medium service airline), mencapai rata-rata tingkat ketepatan waktu penerbangan atau on-time…

UMKM Indonesia Bersaing di Tingkat Dunia Lewat Marketplace

UMKM Indonesia Bersaing di Tingkat Dunia Lewat Marketplace NERACA  Jateng - Dalam rangka program Literasi Digital di Indonesia, Kementerian Komunikasi…

Moody's Pertahankan Peringkat Kredit Indonesia

Moody's Pertahankan Peringkat Kredit Indonesia  NERACA Jakarta - Lembaga pemeringkat Moody's kembali mempertahankan peringkat kredit atau Sovereign Credit Rating Republik…