Kredit 2018, Perbankan Tak Mampu Agresif

 

 

 

NERACA

 

Jakarta - Perbankan diperkirakan tidak akan mampu agresif dalam menyalurkan kredit pada semester I 2018 karena masih terbebani kualitas aset dan risiko kredit yang tinggi, kata Lembaga Penjamin Simpanan. “Beberapa sektor rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) masih tinggi jadi perbankan saya rasa sampai pertengahan tahun kegiatan ekspansi kredit belum akan cepat,” kata Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah di Jakarta, Kamis (8/2).

Halim mengatakan stimulus dari belanja pemerintah yang dapat menaikkan penyaluran kredit perbankan juga masih minim di awal tahun. Hal itu ditambah sikap perbankan yang masih hati-hati untuk menyalurkan intermediasi karena masih konsolidasi perbaikan aset. "Apabila pertumbuhan ekonomi di 5,3 persen atau 5,4 persen pun agak sulit saya rasa perbankan untuk kuat dalam menyalurkan kredit," ujarnya.

Indikator risiko kredit perbankan juga belum sehat. Halim menyebutkan "credit at risk" perbankan di Januari masih tinggi di sekitar 10 persen. "Kalau melihat tahun 2014-2015 'credit at risk' ini ada disekitar 6-7 persen. Untuk beberapa bank sudah berhasil menurunkan. Secara nasional angkanya harus dibawah yang sekarang," ujar dia. Risiko kredit atau "credit at risk" merupakan indikator yang mencerminkan risiko dari kredit kolektabilitas II sampai V ditambah dengan kredit yang direstrukturisasi.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan pertumbuhan kredit memang masih lemah di kuartal I 2018. Namun, hal itu karena pola tahunan di mana permintaan kredit masih lemah. "Nanti di kuartal II baru mulai, kuartal III lebih kencang dari kuartal II, kuartal IV lebih kencang lagi," ujar dia. Bank Sentral memproyeksikan pertumbuhan kredit 2018 dapat sebesar 10-12 persen (tahun ke tahun/yoy).

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso memastikan penyaluran kredit di 2018 bisa lebih baik dari 2017, setelah perbankan melakukan restrukturisasi maupun penghapusbukuan kredit bermasalah. "Proses restrukturisasi dan penghapusbukuan, didukung oleh membaiknya ekonomi di 2018, bisa membantu pertumbuhan kredit," kata Wimboh.

Wimboh mengatakan proses restrukturisasi maupun penghapusbukuan kredit bermasalah ini telah menghambat pertumbuhan kredit di 2017 yang hanya mencapai 8,24 persen, atau tidak mencapai target 11 persen. Namun, ia memastikan penyaluran kredit bisa lebih tinggi di 2018 dan tidak hanya diberikan kepada sektor infrastruktur namun juga sektor riil maupun produktif yang bermanfaat untuk menggerakan perekonomian.

"Kita mengupayakan beberapa pembiayaan kepada sektor produktif dan aktivitas baru dengan menciptakan kluster-kluster baru di daerah lain di Indonesia, termasuk kepada petani, petambak atau nelayan agar bisa berkontribusi kepada kredit di 2018," ujar Wimboh.

 

BERITA TERKAIT

HUT Ke 61, TASPEN Gelar Empat Kegiatan Sosial

HUT Ke 61, TASPEN Gelar Empat Kegiatan Sosial NERACA  Jakarta – PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Persero) (TASPEN)…

Sektor Keuangan Siap Memitigasi Dampak Konflik Timur Tengah

    NERACA Jakarta – Rapat Dewan Komisioner Mingguan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 17 April 2024 menilai stabilitas sektor…

Rupiah Melemah, OJK Diminta Perhatikan Internal Bank

      NERACA Jakarta – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan memandang bahwa…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

HUT Ke 61, TASPEN Gelar Empat Kegiatan Sosial

HUT Ke 61, TASPEN Gelar Empat Kegiatan Sosial NERACA  Jakarta – PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Persero) (TASPEN)…

Sektor Keuangan Siap Memitigasi Dampak Konflik Timur Tengah

    NERACA Jakarta – Rapat Dewan Komisioner Mingguan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 17 April 2024 menilai stabilitas sektor…

Rupiah Melemah, OJK Diminta Perhatikan Internal Bank

      NERACA Jakarta – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan memandang bahwa…