Indonesia dan India Jadi Motor Pertumbuhan Kawasan

Oleh: Azizah Fitriyanti

Hubungan Indonesia dan India kian kukuh setelah Presiden RI Joko Widodo mengunjungi negeri Taj Mahal itu pada tanggal 25 hingga 26 Januari lalu.
Lawatan Presiden Jokowi ke India, termasuk dalam kunjungan kerja ke empat negara Asia Selatan lainnya, yakni Srilanka, Pakistan, Banglades, dan Afghanistan, 24 s.d. 29 Januari 2018.

Kunjungan dengan agenda utama menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Peringatan 25 Tahun ASEAN-India itu juga memiliki arti penting yang menunjukkan Indonesia dan India sebagai negara terbesar di kawasan masing-masing perlu menunjukkan kepemimpinan di Asia Tenggara dan Asia Selatan.

Berbagai kesamaan yang dimiliki Indonesia dan India--jumlah populasi (RI 261 juta jiwa/India 1,3 miliar jiwa), demokrasi ketiga dan kedua terbesar, pertumbuhan GDP yang tinggi (RI 5,1 persen/India 7,2 persen)--dinilai menjadi modal kedua negara untuk menjadi motor penggerak pembangunan dan stabilitas kawasan.

Berdasarkan data Bank Dunia pada periode 2016/2017, Indonesia dan India masih menunjukkan pertumbuhan positif hingga 2019 dengan masing-masing produk domestik bruto (PDB) per kapita sekitar 932,2 miliar dolar AS dan 2,3 triliun dolar AS.

Bagi Indonesia angka tersebut menujukkan pertumbuhan yang stabil dibandingkan negara-negara berkembang di Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand dan Filipina. Sementara itu, bagi India merupakan yang tertinggi di kawasan Asia Selatan, jauh mengungguli negara-negara lain, seperti Banglades, Pakistan, dan Srilanka.

Mantan Konsul Jenderal RI di Mumbai Saut Siringoringo yang baru saja pulang ke Indonesia akhir 2017 mengatakan selama hampir 4 tahun menjadi wakil Indonesia di pusat bisnis dan ekonomi India, dirinya mendapati banyak potensi investasi dan perdagangan kedua negara yang perlu digarap lebih serius oleh semua pihak.

Mengubah pandangan tentang negara masing-masing menjadi upaya utama, Saut memandang perlu kedua pihak melakukannya untuk dapat meningkatkan kerja sama di bidang ekonomi dan investasi.

Imaji Kultur

Asumsi dan imaji pada perbedaan kultur dianggap menjadi penghalang utama bagi kedua pelaku ekonomi untuk menjalin kerja sama. Pasalnya, menurut Saut, orang Indonesia cenderung melihat India sebagai negeri yang jauh dan penduduknya sulit bersosialiasai sebagai mitra bisnis.

Serupa dengan pandangan itu, menurut Presiden Asosiasi Bisnis India-Indonesia (IIBA) Gopaal Ahuja, orang India juga memiliki stigma terhadap Indonesia, yakni sebuah negeri asing yang penduduknya tidak bisa berbahasa Inggris.

Untuk menjembatani kesalahpahaman yang masih jamak terjadi tersebut, Konsulat Jenderal RI di Mumbai telah dua kali menyelenggarakan pameran dagang dan investasi bertajuk "Indonesia Expo" pada tahun 2016 dan 2017 di World Trade Center Mumbai, sebuah pusat perdagangan yang prestisius di negara bagian barat India itu.

Ditegaskan Saut bahwa upaya promosi perlu terus dilakukan karena perdagangan Indonesia dan India yang maju juga akan berpengaruh pada pertumbuhan di kawasan masing-masing.

Kementerian Perdagangan RI mencatat nilai perdagangan Indonesia surplus sebesar 7 miliar dolar AS terhadap India pada tahun 2016 dengan komoditas ekspor utama minyak kelapa sawit mentah dan batu bara. Namun, saat ini dominasi kedua komoditas tersebut turun dari sekitar 89 persen menjadi sekitar 62 persen pada tahun 2017 setelah upaya diversifikasi ekspor yang terus dilakukan pemerintah Indonesia.

Diversifikasi tersebut juga ditunjukkan dengan peningkatan investasi Indonesia di India. Saat ini delapan perusahaan Indonesia telah membuka pabrik di negeri Narendra Modi itu, baik dengan mempertahankan nama dagang di Indonesia maupun dengan merek yang disesuaikan dengan investasi di India, antara lain, PT Garuda Indonesia, Japfa Comfeed India, dan Inbisco India (PT Mayora).

India, menurut Saut, juga menjadi pintu masuk Indonesia untuk mengembangkan investasi dan pasar ekspor, bukan hanya manufaktur besar, melainkan juga produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ke negara-negara Asia Selatan lainnya.

Melalui berbagai upaya untuk membuka jalan bagi masyarakat Indonesia untuk berinvestasi dan berdagang ke kawasan Asia Selatan melalui India, mulai menunjukkan hasil. Pada tahun 2017 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor nonmigas Indonesia ke India tumbuh 76,38 persen dari nilai pada tahun 2016 atau menjadi 2,39 miliar dolar AS.

Pertumbuhan ekspor ke India bahkan menggeser posisi Jepang yang biasanya menduduki peringkat ketiga, turun 2,65 persen dari 2,16 miliar dolar AS menjadi 2,1 miliar dolar AS. Angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara mitra dagang terbesar ke-5 bagi India.

Tidak hanya itu, penjajakan bisnis yang digalang melalui Indonesia Expo juga membuahkan hasil bagi UMKM Indonesia, salah satunya pengusaha mebel kayu asal Jepara, Legiman Arya, yang mendapatkan pesanan mebel kayu dengan nilai mencapai Rp500 juta di awal 2018.

Pesanan tersebut datang dari mitra bisnis yang berhasil dijalin melalui Indonesia Expo di Mumbai. Saat ini Legiman memiliki dua mitra bisnis di India, masing-masing di Goa dan Chennai yang juga terhubung dengan Sharavan Bavan, salah satu jaringan mal terbesar di India yang siap menjual furnitur buatan pengrajin kayu perusahaannya.

Menurut Legiman, India berpotensi besar menjadi pasar ekspor perabot kayu Indonesia setelah tren di pasar Eropa dan Amerika mengalami penurunan. Oleh karena itu, pemilik PT Indonesia Furniture Center dan Gajah Sungging Carving tersebut juga akan ikut pameran Indonesia Expo 2019 di Mumbai demi terus memupuk kemitraan jangka panjang dengan pebisnis India.

Akses Penerbangan

Apalagi, kini India tidak lagi tampak jauh dan sulit bagi para pengusaha Indonesia setelah dibukanya rute penerbangan langsung dari Jakarta dan Bali ke beberapa kota utama di India, antara lain, New Delhi, Mumbai, dan Chennai.

Akses penerbangan itu juga membuka peluang bagi PT Garuda Indonesia dan maskapai ekonomi, seperti Batik Air dan Malindo Air, untuk membuka rute penerbangan domestik di India, selain menyediakan rute internasional.

Kian terbukanya akses bagi kedua negara juga berdampak pada peningkatan jumlah wisatawan India ke Indonesia dengan destinasi utama Bali dan Yogyakarta.

Saat ini India merupakan negara dengan pertumbuhan jumlah wisatawan tertinggi di Indonesia, sekitar 22 persen per tahun, atau kedua tertinggi setelah Cina, dengan jumlah wisatawan India mencapai 500 ribu orang pada akhir 2017.

Pertumbuhan yang tinggi itu mendorong Kementerian Pariwisata Indonesia untuk membuka kantor perwakilan Visit Indonesia Tourism Office (VITO) di New Delhi dengan tujuan mempermudah promosi dan koordinasi dengan 800 biro perjalanan dan wisata yang terhimpun dalam Asosiasi Perjalanan India (ITA) dan tercatat menjadi mitra VITO.

Menurut Direktur Promosi Internasional untuk Kawasan Asia Pasifik Kementerian Pariwisata Vinsensius Jemadu, karakteristik wisatawan India yang menyukai tujuan wisata dalam satu paket menjadi potensi untuk mempromosikan daerah-daerah Indonesia selain Bali. Vinsensius menjelaskan bahwa pengemasan paket wisata yang menarik dan efesien akan menambah minat orang India berkunjung ke Indonesia, misalnya Bali, Lombok, Yogyakarta, dan Jakarta, yang harganya lebih murah dibandingkan wisata ke negara-negara Eropa.

Dengan karakteristik paket wisata yang digemari turis India, peningkatan jumlah wisatawan negara itu ke Indonesia juga memberikan dampak positif pada negara-negara ASEAN lainnya, terutama Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Sementara itu, di bidang pertahanan dan keamanan, Indonesia dan India terikat dengan Samudra Hindia yang menjadi salah satu jalur transportasi laut tersibuk di dunia. Oleh karena itu, peran kedua negara untuk menjaga stabilitas di kawasan tersebut sangat penting.

Melalui Organisasi Poros Samudra Hindia (IORA), Indonesia yang menjabat sebagai ketua pada periode 2015 s.d. 2017 telah menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi IORA yang pertama setelah 20 tahun organisasi tersebut berdiri. Adapun tujuan utamanya adalah menekankan kembali pentingnya kerja sama negara-negara lingkar Samudra Hindia dan merevisi tujuan-tujuan IORA.

IORA di bawah keketuaan Indonesia juga ingin menjawab tantangan-tantangan nontradisional di kawasan Samudra Hindia, antara lain, terorisme, perdagangan manusia, dan penangkapan ikan ilegal tidak berdokumen dan tidak dilaporkan (IUU Fishing).

Visi IORA yang dimotori keketuaan Indonesia tersebut juga berjalan beriringan dengan visi Presiden RI Jokowi untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, yang dibarengi dengan pembangunan pelabuhan laut dalam dan pusat-pusat industri perikanan.

Dalam kancah regional, Indonesia senantiasa mendorong persatuan ASEAN dalam menghadapi berbagai masalah di kawasan, sebaliknya India perlu mempersatukan negara-negara di kawasan Asia Selatan. Tentu hal tersebut tidak mudah. Bahkan, ASEAN yang telah terbukti maju sebagai organisasi regional, juga memiliki keterbatasan, antara lain, sikap nonintervensi ASEAN yang dinilai telah menghalangi asosiasi bangsa-bangsa Asia Tenggara itu untuk mengatasi persoalan dengan lebih cepat dan efektif.

Di sisi lain, India memiliki tantangan yang relatif lebih kompleks terkait dengan terorisme, radikalisme, dan konflik bara dalam sekam dengan beberapa negara tetangga terkait dengan perbatasan. Namun, diharapkan kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Modi tersebut dapat menyatukan atau setidaknya menyamakan visi Asosiasi Kerja Sama Regional Asia Selatan (SAARC) yang juga beranggotakan Afghanistan, Banglades, Bhutan, Maladewa, Nepal, Pakistan, dan Srilanka.

Kepemimpinan Indonesia di kawasan juga kian menguat dengan pencalonan diri sebagai anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019 s.d. 2020. Jika terpilih nanti, negara-negara dari kawasan Asia dapat menjadikan Indonesia sebagai wadah untuk menyampaikan suara di PBB.

Terkait dengan pencalonan itu, Duta Besar India untuk Indonesia Pradeep Kumar Rawat (tanpa menyebut langsung dukungan negaranya kepada Indonesia) mengatakan bahwa Indonesia dapat makin menunjukkan perannya dalam menciptakan dan menjaga perdamaian dunia jika terpilih sebagai anggota Tidak Tetap DK PBB, dan India siap bekerja sama dengan Indonesia untuk mewujudkannya. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…