Arti Strategis Keamanan Pangan

 

Oleh: Purwiyatno Hariyadi, Guru Besar Teknologi Pangan IPB

 

Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.

(UU No 18, 2012, Bab I, Ps 1, Ayat 5)

 

Arti strategis keamanan pangan yang pertama dan utama adalah bahwa keamanan merupakan prasyarat dasar produk pangan; sebagai hak bagi setiap individu.  Secara politis, hal ini telah sejak lama pula disadari, khususnya oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agricultural Organization / FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization / WHO) Persatuan Bangsa-Bangsa. Pada tahun 1992, suatu deklarasi yang dikeluarkan bersama FAO/WHO menekankan hal ini; bahwa setiap indvidu mempunyai hak atas pangan yang cukup dari nilai gizi dan aman.  Sayang bahwa deklarasi yang dihasilkan oleh konferensi internasional tentang gizi yang pertama (the first The International Conference on Nutrition) tahun 1992 yang lalu itu masih belum banyak mendapatkan respon baik dari pemerintahan di dunia. 

Di Indonesia, hal keamanan pangan ini diakui secara politis, sejak tahun 1996 (sebagaimana diamanatkan oleh UU No 7/1996 tentang Pangan) yang kemudian diperbaharui lagi dengan UU No 18/2012 tentang Pangan.  Dalam UU Pangan no 28 (2012), dipersyaratkan bahwa produk pangan harus (a) tidak “mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia” dan (b) tidak “bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat “ untuk menjadi aman dikonsumsi.  Karena itu, keamanan pangan ada dua faktor utama yang tidak terpisahkan; yaitu (i) keamanan psikologis atau rohani  dan (ii) keamanan fisiologis atau jasmani.

 

Keamanan pangan secara rohani (atau psikologis) ini adalah rasa aman yang secara psikologis diterima oleh masyarakat konsumen karena produk pangan yang dikonsumsinya sesuai dengan latar belakang budaya, sosial, kepercayaan, agama; atau pun gaya hidup yang lain. Untuk sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama Islam, maka faktor kehalalan menjadi suatu prasyarat yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.  Hal ini juga diperkuat dengan diterbitkannya Undang-Undang RI No 33 (2014) tentang Jaminan Produk Halal; dan sejak Oktober 2017 telah pula diresmikan terbentuknya satuan kerja baru di Kementerian Agama RI, yaitu: Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Bagi masyarakat muslim, maka produk pangan yang mengandung komponen haram (tidak halal) tentu akan menjadikan produk pangan tersebut tidak bernilai.  Demikian juga bagi konsumen dari kelompok masyarakat lainnya; yang karena kepercayaan atau gaya hidup yang dipilihnya tidak mengonsumsi bahan hewani (kelompok vegetarian) -misalnya-, maka adanya komponen hewani pada produk pangan akan menyebabkan produk tersebut menjadi tidak sesuai untuk dikonsumsi; yang artinya menjadi tidak bernilai. Faktor keamanan secara psikologis/jasmani ini sifatnya mutlak; cocok atau tidak cocok.

Faktor keamanan kedua adalah keamanan secara jasmani atau fisiologis; yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang “mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia”.  Dalam hal ini; keamanan secara fisiologis adalah rasa aman yang diperoleh konsumen karena produk pangan yang dikonsumsinya tidak tercemar oleh bahan-bahan yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Bahan-bahan berbahaya itu adalah cemaran kimia seperti toksin, allergen, residu (pestisida, herbisida, insektisida, antibiotik & hormon pertumbuhan), sisa pupuk, logam berat, dioksin, dll, cemaran fisik (potongan gelas, kayu, batu/kerikil, logam (potongan paku, bijih stepler), bagian serangga, tulang, plastik, dll), maupun cemaran mikrobiologi (virus, bakteri, protozoa, parasit, prion).  Beberapa contoh bahan-bahan berbahaya misalnya mikroba patogen yang menyebabkan orang sakit atau keracunan, cemaran kimia yang dapat menimbulkan penyakit akut maupun kronis, serta bahan-bahan asing yang secara fisik dapat mencelakai konsumennya.  Cemaran-cemaran kimia, fisik dan mikrobiologi ini biasanya diatur dalam bentuk standar keamanan pangan yang disusun berdasarkan pada prinsip analisis risiko.

 

Sesuai dengan Undang-Undang tersebut, pemerintah Republik Indonesia diamanatkan untuk menjamin bahwa pangan yang tersedia harus cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.  Jadi, sebagai prasyarat dasar produk pangan, maka penjaminan keamanan pagan harus melekat pada upaya pemenuhan kebutuhan pangan.

Perlu dipahami bahwa masalah keamanan pangan akan berimplikasi pada kualitas sumber daya manusia dan daya saing bangsa.  Kondisi keamanan pangan yang lebih baik akan memberikan kesehatan jasamani dan rohani yang lebih baik.  Keamanan rohani akan meberikan ketenangan dan kemantapan bathin dalam berproduksi dan berprestasi; sedangkan keamanan jasmine penting akan mengurangi frekuensi sakit (lebih sehat), mengurangi biaya medis dan biaya sosial; sehingga meningkatkan status kesehatan, yang dalam jangka panjang akan meningkatkan kapasitas dan produktivitas kerja SDM, baik kinerja fisik, kinerja akademik intelektual, maupun kinerja kreaktif/inovasinya. 

 

Berkurangnya beban ekonomi, meningkatnya status kesehatan, meningkatnya kinerja SDM akan bermuara pada meningkatnya tingkat partisipasi pembangunan.  Kesemua itu; akan bermuara pada daya saing nasional yang lebih baik. Dengan menggunakan kerangka kerja sebagaimana disajikan pada Gambar 1, maka diharapkan akan muncul suatu semangat membangun pada semua pemangku kepentingan keamanan pangan di Indonesia; baik industri, konsumen (masyarakat) dan pemerintah; khususnya diantara berbagai instansi pemerintah yang menangani keamanan pangan, untuk peningkatan daya saing bangsa.

Untuk membangun sistem keamanan pangan nasional dan sekaligus mendorong daya saing SDM nasional; maka secara jangka panjang, penanganan isu strategis keamanan pangan dan keamanan gizi ini perlu dilakukan dengan kebijakan terpadu secara nasional, sehingga operasionalisasinya sebaiknya tetap sentralisasi, dan tidak di”desentraslisasi”.  Untuk itu perlu kebijakan satu pintu; dengan prinsip hulu-hilir atau from farm to table.  

Dalam hal ini, sesuai dengan amanat UU Pangan (UU No 18, 2012), yaotu pada BAB XII (KELEMBAGAAN PANGAN) Pasal 126 perlu segera dibentuk “lembaga Pemerintah yang menangani bidang Pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden”.  Lembaga ini bias disebut sebagai Badan/Lembaga Otoritas Pangan (Badan Pangan Nasional), dimana didalamnya Lembaga Otoritas Keamanan Pangan (Indonesian Food Safety Authority) sebagai bagian dari Badan Pangan Nasional.

Lembaga inilah (Lembaga Otoritas Keamanan Pangan di dalam Badan Pangan Nasional) yang bertugas untuk mengkoordinasikan berbagai (multi) sector yang beratanggung-jawab tentang keamanan pangan:

  1. Keamanan pangan rohani (Utamanya Kementerian Agama; mungkin juga Kementerian Sosial, Kemneterian Pendidikan dan Kebudayaan, dll ?)
  2. Keamanan Jasmani (Utamanya Badan pengawas Obat dan Makanan /BPOM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Kelautan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, dll?).

Lembaga Otoritas Keamanan Pangan di dalam Badan Pangan Nasional perlu melakukan koordinasi dalam pengembangan kenjiakan keamanan pangan (jasmani dan rohani) dan gizi untuk dilakukan secara komprehensif, hulu-hilir, science-based + evidence based; melibatkan semua pihak; dengan prinsip Good Regulatory Practices dan memperhatikan analisis mengenai dampak regulasi (Regulatory Impact Assessment; untuk memastikan bahwa bahwa regulasi tersebut dapat efektif dan efisien.  Pengertian Kebijakan keamanan pangan ini tentunya mencakup kebijakan pengembangan Standar. Pedoman, Cara Produksi, kebijakan pembinaan, dan kebijakan pengawasannya.

BERITA TERKAIT

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…