Listrik Naik, Inflasi Bengkak Hingga 4,2%

Rencana pemerintah yang akan menyesuaikan formula tarif listrik diperkirakan membuat inflasi bengkak. Bahkan, melewati target inflasi pemerintah sebesar 3,5 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada tahun ini. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengestimasi, inflasi akan bengkak ke kisaran 4,2 persen bila ada kenaikan tarif listrik pada tahun ini."Proyeksi kami, inflasi tanpa ada penyesuaian tarif listrik di akhir tahun bisa mencapai 3,6 persen. Apalagi, ditambah listrik naik, inflasi bisa di atas 4,2 persen," kata Bhima

Menurutnya, inflasi akan terkerek tinggi lantaran dampak kenaikan tarif listrik hampir sama dengan pengaruh dari kenaikan harga pangan, yaitu memberikan andil hingga 2,5 persen sampai 3 persen pada inflasi. Dengan demikian, otomatis ketika tarif listrik dinaikkan, inflasi terkerek tinggi. Sebab, saat ini saja, andil inflasi pangan masih membayangi laju inflasi secara keseluruhan, salah satunya karena pengaruh harga beras yang sempat meroket pada awal tahun ini. Hal ini bisa berpengaruh ke kemampuan atau daya beli masyarakat."Dengan naiknya harga beras, ayam potong, dan telur ayam saja dampak ke masyarakat otomatis akan kurangi belanja," katanya.

Selain itu, dampak kenaikan tarif listrik terhadap bengkaknya infasi, bisa terlihat dari cerminan inflasi awal tahun lalu. Pada Januari 2017, inflasi berada di kisaran 0,97 persen secara bulanan (month to month/mtm) dan 3,49 persen (yoy), di mana salah satunya karena penyesuaian tarif listrik bagi pelanggan listrik berkapasitas 900 voltampere (VA).

Untuk itu, pemerintah diminta tak menaikkan tarif listrik dalam waktu dekat. Bahkan, hingga akhir tahun ini untuk benar-benar memulihkan daya beli masyarakat sekaligus menjaga inflasi lebih dulu. Menurut dia, jalan keluar yang bisa dilakukan adalah dengan menanggung selisih tarif keekonomian dan tarif yang harus dibayar masyarakat menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.

Maka itu, di satu sisi juga tidak memberatkan keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN yang justru diberi mandat untuk menalangi selisih tarif keekonomian dan yang dibayarka masyarakat."Sebagai kompensasi agar keuangan PLN tidak terganggu, maka pemerintah bisa menyuntikan anggaran lebih besar (ke PLN)," pungkasnya.

Dengan hal ini, diharapkan tarif listrik bagi masyarakat tidak naik, daya beli masyarakat terjaga, dan target inflasi pemerintah tetap bisa tercapai dalam kisaran yang diharapkan.

 

Menggerus Produktivitas

 

Di tempat berbeda, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menilai kenaikan tarif listrik berpotensi menggerus produktivitas sektor tekstil dan produk turunannya. Sebab, penggunaan listrik dalam proses produksi tekstil cukup besar, sehingga banyak produsen yang tidak akan kuat menanggung beban biaya operasional yang melonjak tinggi.

 

Ketua Umum API Ade Sudrajat mengatakan, sudah banyak industri tekstil yang tutup tahun lalu hanya gara-gara tidak kuat menanggung beban listrik yang semakin mahal. Menurut Ade, beban listrik di industri hulu tekstil berkisar antara 25 persen hingga 28 persen dari total komponen ongkos produksi. Sementara itu, beban listrik di industri pemintalan dan pertenunan masing-masing tercatat 18 hingga 25 persen dan 15 hingga 22 persen dari total biaya produksi. Hanya saja, ia tidak menyebut secara rinci jumlah perusahaan tekstil yang tutup karena masih diinventarisasi.“Kalau memang tarifnya bakal naik, ya makin banyak perusahaan yang tutup. Tahun lalu sudah banyak yang tutup gara-gara listrik, dan ini sedang kami inventarisasi,” jelas Ade.

Sejauh ini, sambung dia, asosiasi baru menginventarisasi berhentinya industri tekstil hulu terlebih dulu. Dari hasil temuannya, sebanyak 1,2 juta mata pintal telah mati suri sepanjang tahun lalu. Angka itu tercatat 10 persen dari total mata pintal di Indonesia sebesar 12 juta.“Kalau listriknya mahal, mana bisa industri dalam negeri memiliki daya saing, Kalau listrik dimain-mainkan, maka Indonesia tidak punya masa depan untuk manufacturing atau apa pun, jadi sebaliknya, listrik lharus menjadi okomotfi dan penyumbang daya saing industri,” papar dia.

Jika harga listrik terus naik, maka ini tentu bisa menjadi ganjalan bagi pertumbuhan produksi tekstil nasional yang dipatok 5 persen tahun ini. Bahkan, ini juga mempengaruhi kinerja ekspor tekstil Indonesia yang sedang tumbuh mekar, di mana angkanya mencapai US$12,4 miliar atau naik dibanding tahun sebelumnya US$11 miliar. “Kalau ini dibiarkan, tentu ini akan menjadi tekanan bagi pemerintah. Kalau industrialisasi tidak jalan, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan terjadi dan ini bisa menjadi ancaman serius di tahun politik seperti tahun ini,” tukas dia. (iwan)

 

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…