Tak Perlu "Tabu" Untuk Merevisi Harga Minyak

 

 

 

NERACA

 

Jakarta - Kepala Ekonom Bank Danamon Anton Hendranata menilai pemerintah tidak perlu merasa "tabu" untuk merevisi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam APBN 2018 mengingat harga minyak mentah dunia yang kini menembus 70 dolar AS per barel. "Kan ada kesempatan, kalau agak jauh dari asumsi ada APBN-P. Kalau memang harga minyak jauh dari asumsi APBN, kan harus realistis juga. Tidak tabu revisi itu karena kaitannya asumsi situasinya dinamis apalagi harga minyak tidak mudah diprediksi. Bukan tidak kredibel, kalau harus diubah ya diubah," ujar Anton saat diskusi dengan awak media di Jakarta, Rabu (31/1).

Dalam APBN 2018, asumsi harga minyak mentah Indonesia yaitu 48 dolar AS per barel, sama dengan asumsi dalam APBN-P 2017 walaupun realisasinya harga ICP 51,2 dolar AS per barel pada tahun lalu. Pemerintah sendiri sebelumnya menyatakan akan berupaya APBN 2018 bisa dijalankan sesuai dengan target yang telah ditetapkan sehingga tidak memerlukan revisi melalui APBN-P.

Anton memprediksi harga ICP sepanjang tahun ini akan mencapai 60-65 dolar AS per barel. Menurut dia, kenaikan harga minyak merupakan hal yang wajar mengingat perekonomian global juga mulai meningkat. "Kalau harga minyak naik, tidak ada masalah di APBN karena hitungannya akan surplus. Tapi masalahnya adalah kalau harga minyak bertengger di 60-65 dolar AS per barel, harga bensin akan naik atau tidak. Kalau bensin tidak naik, ada yang harus menanggungnya," kata Anton.

Menurut Anton, pada 2018 ini menjadi tantangan bagi pemerintah apakah akan menaikkan harga BBM atau tidak sebagai dampak dari meningkatnya harga minyak mentah dunia. Sebelumnya, pemerintah sempat 'beruntung' ketika mencabut subsidi BBM dimana saat itu harga minyak mentah dunia juga menurun. "Yang dikhawatirkan itu kan bukan harga BBM-nya naik sebenarnya, tapi 'second round effect' dari naiknya harga BBM tersebut misalnya harga transportasi dan makanan jadi ikut naik," kata Anton.

Ia menambahkan pemerintah harus bisa mengantisipasi dampak meningkatnya inflasi apabila harga BBM benar-benar dinaikkan karena inflasi sangat memengaruhi ekonomi terutama masyarakat kelas bawah. "Kalau di-'adjust' mendekati harga keekonomian misalnya Rp500, maka akan ada tambahan inflasi 0,7 persen sehingga inflasi sepanjang 2018 bisa mencapai 4,3 - 4,5 persen. Inflasi ini sangat sensitif untuk orang level bawah. Mereka akan langsung teriak dan itu sangat riskan dengan situasi politik yang ada saat ini," ujar Anton.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Rofi' Munawar mengingatkan pemerintah untuk melakukan antisipasi terhadap tren kenaikan harga minyak dunia yang menyentuh US$60 per barel dalam 3 bulan terakhir. Menurutnya, Harga International Crude Price (ICP) berpotensi mendorong pembengkakan subsidi energi nasional. Hal tersebut bisa terjadi pada 2018, dimana besaran subisdi BBM dan LPG 3 kg pada 2017 menjadi Rp47 triliun dari target APBNP Rp44,5 triliun.

"Kenaikan harga minyak dunia dipengaruhi oleh banyak faktor, utamanya dari sisi eksternal seperti situasi geopolitik dan komitmen pembatasan produksi minyak global dari negara produsen. Menyikapi kondisi tersebut perlu strategi yang cermat dan jitu dari pemerintah dalam mengelola subsidi energi," ujar Rofi. Ia meminta pemerintah segera merumuskan formula dan strategi yang tepat dari setiap kenaikan angka ICP yang berkembang. Terlebih kenaikan ICP secara faktual tidak sesuai alokasi anggaran energi yang telah dipatok pada Anggaran Peneriman Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar 46 ribu barel per hari.

Selain itu dirinya juga meminta pemerintah secara efektif meningkatkan produksi migas nasional. Dia menilai cukup banyak lapangan minyak yang pengelolaannya di tahun 2018 dalam fase terminasi dan transisi. "Kenaikan harga minyak dunia harus mampu dimanfaatkan oleh Indonesia sebagai peluang untuk mengungkit penerimaan negara. Meski dengan tentu saja secara hati-hati menjaga konsumsi BBM yang tetap proporsional, ujarnya.

Dia menambahkan, harga minyak yang lebih tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, terutama jika belanja konsumen terdampak langsung. Padahal daya beli dan konsumsi selama ini menjadi tulang punggung menggerakan ekonomi nasional. "Indonesia saat ini menghadapi penurunan cadangan energi fosil khususnya minyak bumi, ini terus terjadi dan belum diimbangi dengan penemuan cadangan baru. Disisi lain, konsumsi energi terus meningkat," lanjut Rofi.

 

BERITA TERKAIT

Defisit Fiskal Berpotensi Melebar

    NERACA Jakarta - Ekonom Josua Pardede mengatakan defisit fiskal Indonesia berpotensi melebar demi meredam guncangan imbas dari konflik Iran…

Presiden Minta Waspadai Pola Baru Pencucian Uang Lewat Kripto

  NERACA Jakarta – Presiden RI Joko Widodo meminta agar tim Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan kementerian…

Pentingnya Bermitra dengan Perusahaan Teknologi di Bidang SDM

  NERACA Jakarta – Pengamat komunikasi digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan menekankan pentingnya Indonesia memperkuat kemitraan dengan perusahaan…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Defisit Fiskal Berpotensi Melebar

    NERACA Jakarta - Ekonom Josua Pardede mengatakan defisit fiskal Indonesia berpotensi melebar demi meredam guncangan imbas dari konflik Iran…

Presiden Minta Waspadai Pola Baru Pencucian Uang Lewat Kripto

  NERACA Jakarta – Presiden RI Joko Widodo meminta agar tim Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan kementerian…

Pentingnya Bermitra dengan Perusahaan Teknologi di Bidang SDM

  NERACA Jakarta – Pengamat komunikasi digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan menekankan pentingnya Indonesia memperkuat kemitraan dengan perusahaan…