Kebijakan Perdagangan RI Muluskan Masuknya Produk Impor

NERACA

Jakarta - Lembaga swadaya masyarakat Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai kebijakan kerja sama perdagangan internasional yang dilakukan pemerintah justru meningkatkan ketergantungan terhadap produk-produk impor. "Fakta menunjukkan bahwa kebijakan liberalisasi perdagangan yang diambil oleh Indonesia tidak mendorong terjadinya 'trade diversion', tetapi semakin mengarah kepada 'trade creation' yang meningkatkan ketergantungan produk impor sebagai substitusi produk lokal yang dianggap mahal dan tidak kompetitif," kata Direktur IGJ Rachmi Hertanti saat diskusi dengan awak media di Jakarta, Selasa (30/1). 

Trade diversion adalah pengalihan perdagangan dari negara yang tidak ikut serta dalam perjanjian perdagangan tapi lebih efisien, ke negara yang ikut serta dalam perjanjian walau kurang efisien. Sementara itu, trade creation adalah penggantian produk domestik suatu negara yang melakukan integrasi ekonomi regional dengan produk impor yang lebih murah dari anggota lain.

Menurut Rachmi, tidak adanya trade diversion diindikasikan dengan masih rendahnya pemanfaatan Preferential Free Trade Agreement (FTA). Dari beberapa perdagangan bebas yang telah ditandatangani, Indonesia belum juga dapat memanfaatkannya secara maksimal. Rata-rata pemanfaatan Preferential FTA untuk mendorong kinerja ekspor masih sangat rendah yakni hanya 30-35 persen. Bahkan dalam ASEAN-India FTA, pemanfaatan Preferential FTA masih 6,05 persen. "Rendahnya pemanfaatan Preferential FTA mengindikasikan rendahnya daya saing," ujar Rachmi.

Selain itu, produk keunggulan komparatif Indonesia masih sedikit dan lebih didominasi oleh produk rendah teknologi. Hal tersebut disebabkan rendahnya nilai tambah produksi yang dimiliki sehingga membuat sebaran pasar menjadi sangat terbatas. Terkait trade creation pada liberalisasi perdagangan sendiri, lanjut Rachmi, menciptakan ketergantungan yang tinggi pada produk impor. Hal itu yang kemudian berdampak terhadap industri lokal yang semakin tidak kompetitif menghadapi gempuran produk impor. Misalnya, industri baja lokal yang akhirnya 'teriak' menghadapi gempuran produk baja impor.

Data perdagangan Indonesia 2017 menunjukkan bahwa penggunaan bahan baku impor terus menunjukkan peningkatan. Sepanjang 2017, peranan impor bahan baku penolong sebesar 75,46 persen yang dibandingkan pada 2016 terjadi peningkatan sebesar 16,56 persen. "Walaupun dalam kurun waktu lima tahun terakhir sejak 2013 nilaii impor di sektor ini terjadi penurunan, ternyata impor bahan baku penolong tetap mendominasi dan sangat jauh dibandingkan impor di sektor lainnya," ujarnya. 

Rachmi menambahkan, aturan perjanjian perdagangan bebas yang mengadopsi prinsip non-diskriminasi terhadap penggunaan produk impor dan lokal, tentunya menjadi salah satu faktornya. Namun, hal tersebut tidak memberikan insentif bagi penguatan industri dalam negeri. "Kewajiban penggunaan kandungan dalam negeri atau TKDN seharusnya mampu mendorong peningkatan peran industri dalam negeri dalam mengambil peran lebih. Namun kebijakan ini terus menghadapi tantangan dimana FTA menyebutnya sebagai aturan yang 'haram'," ujarnya. 

Hingga September 2017, tercatat sudah 10 perjanjian ekonomi internasional telah ditandatangani dari 21 perundingan yang dilakukan di Indonesia. Sejumlah perjanjian dilakukan secara bilateral dan juga dalam konteks Indonesia sebagai anggota ASEAN. Maka dari itu, Peneliti Senior IGJ Olisias Gultom menilai pemerintah perlu memperkuat Non-Tariff Measures (NTM) sebagai bagian dari strategi menyiasati perundingan-perundingan perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang sedang berjalan ataupun yang sudah ditandatangani. “Sebenarnya NTM ini jadi 'pertarungan' sesungguhnya dalam perjanjian-perjanjian perdagangan. 'Barrier' dari Eropa itu sekitar enam ribu sekian, kita hanya 200 sekian. Jadi lebih susah barang kita masuk ke sana, lebih mudah barang mereka masuk ke sini,” katanya.

Non-Tariff Measures adalah kebijakan-kebijakan selain tarif yang dapat memiliki pengaruh ekonomi pada komoditi perdagangan. Menurut Olisias, NTM merupakan model proteksi yang dilakukan oleh umumnya negara-negara maju untuk menghambat laju impor dari khususnya negara-negara berkembang. Berdasarkan data NTMs di berbagai negara, Uni Eropa menjadi yang terbanyak dengan 6.805 NTM diikuti oleh Amerika Serikat 4.780 NTM. Sementara itu Indonesia hanya 272 NTM, di bawah Malaysia 313 NTM. bari

 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…