Gizi Buruk & Kemiskinan

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

Kasus gizi buruk yang terjadi di Suku Asmat, Papua menjadi ancaman terkait komitmen ketahanan pangan dan fakta kemiskinan. Argumen yang mendasari karena kemiskinan mereduksi daya beli sehingga berpengaruh terhadap aspek ketahanan pangan keluarga yang berimbas terhadap ancaman gizi buruk. Jika dicermati, kasus gizi buruk di Suku Asmat bukanlah yang pertama karena faktor keterbatasan distribusi dan areal yang ada di pinggiran dan perbatasan sehingga ketersediaan pangan terkendala. Meski demikian, bukan berarti kemudian hal ini mengabaikan pasokan pangan secara merata sementara di sisi lain pemerintah getol merealisasikan satu harga BBM antara Jawa dan Luar Jawa.  Artinya, ancaman gizi buruk sebenarnya telah diwaspadai secara global karena dampak dari kemiskinan global dan sejumlah tema hari pangan dunia juga merujuk gizi buruk.

Peringatan Hari Pangan Sedunia ke-31 pada 16 oktober 2011 lalu bertema: “Food Prices From Crisis To Stability”, sedangkan tema nasional adalah: ‘Menjaga Stabilitas Harga dan Akses Pangan Menuju Ketahanan Pangan Nasional’ pada dasarnya menjadi warning untuk melakukan kajian kemampuan supply pangan. Paling tidak tema itu masih relevan dengan kondisi saat ini jika dikaitkan dengan kasus beras di awal Januari 2018 dan fakta kasus gizi buruk yang dialami Suku Asmat di Papua. Fakta ini menjadi penting terutama dikaitkan dengan kuantitas - kualitas kependudukan yang cenderung berkembang pesat, tidak sebanding dengan ketersediaan lahan untuk areal pertanian pangan. Jika tidak bisa diantisipasi maka impor pangan akan semakin meningkat dan imbas terhadap daya beli masyarakat menjadi semakin kecil, termasuk juga kesejahteraan petani yang berkurang. Di sisi lain, ancaman rawan pangan dan gizi buruk tidak bisa dihindari. Padahal, kondisi sebelumnya juga memicu ancaman rawan pangan dan ketahanan pangan di sejumlah daerah, terutama di perdesaan dan di daerah terpencil sehingga muncul ragam kasus gizi buruk. Jika ini tidak diantisipasi maka ancamannya adalah kualitas SDM yang berimbas terhadap kecerdasan dan modal dasar pembangunan.

Kasus gizi buruk menjadi antiklimaks dari kondisi riil di Indonesia. Bagaimanapun juga, semua mengakui Indonesia merupakan salah satu negara dengan limpahan sumber daya. Ironisnya, semua sumber daya itu seolah tidak memberi manfaat terbesar bagi rakyatnya dan hanya dinikmati segelintir orang dan penguasa. Oleh karena itu, kecenderungan atas terjadinya berbagai bencana dalam 5 tahun terakhir berimbas serius atas kesejahteraan rakyat dan fakta ini masih ditambah dengan tekanan sosial dari kebijakan yang tidak pro rakyat, misal pencabutan subsidi minyak dan semakin mahalnya sembako. Kondisi itu secara tidak langsung mengakibatkan dan meningkatkan jumlah kemiskinan yang pada gilirannya memicu kasus-kasus gizi buruk. Artinya, ancaman ketahanan pangan semakin kuat dan tekanan terhadap daya beli pangan semakin besar sehingga gizi buruk di Suku Asmat, Papua adalah dampak sistemik dari ironi ketahanan pangan dan kemiskinan.

Risiko Besar

Gizi buruk di Indonesia menempati urutan ke 108 sedunia mengacu laporan dari Global Nutrition 2016 sehingga kasus di Suku Asmat adalah warning agar ke depan gizi buruk tidak diabaikan karena implikasinya sangat kompleks, terutama aspek kecerdasan dan kualitas SDM yang kemudian berpengaruh terhadap kompetisi dalam pencarian kerja dan berbagai penyakit degeneratif lainnya. Dalam kurun waktu itu, lebih lima juta balita terkena gizi kurang. Lebih tragis lagi dari seluruh korban gizi kurang dan gizi buruk tadi, 10 persen berakhir dengan kematian. Secara umum, penyebab utama ini adalah karena faktor kemiskinan, pola asuh anak yang salah dan adanya penyakit kronis.

Dari berbagai kasus yang ada dapat disimpulkan bahwa kejadian gizi buruk tidak terjadi secara akut tetapi ditandai dengan kenaikan berat badan anak yang tidak cukup selama beberapa bulan sebelumnya yang bisa diukur dengan melakukan penimbangan berkala. Kasus gizi buruk yang akut menjadi ancaman serius bagi kualitas SDM. Padahal, SDM menjadi salah satu modal dasar pembangunan. Oleh karena itu, mata rantai dari ancaman rawan pangan dan gizi buruk adalah kualitas SDM sehingga ini harus diwaspadai serius agar kita tidak mengalami degradasi kualitas SDM.

Menurut data dari Susenas, lebih dari empat juta penderita gizi buruk adalah anak-anak di bawah usia dua tahun. Padahal menurut ahli gizi, 80 persen proses pembentukan otak berlangsung di usia 0-2 tahun. Oleh karena itu, kasus gizi buruk bisa berdampak lebih serius terhadap kelangsungan generasi muda. Ada sekitar 7,6 juta anak balita mengalami kekurangan gizi akibat kekurangan kalori protein. Bukan tidak mungkin kini jumlahnya meningkat tajam karena krisis berkepanjangan ditambah dengan masalah pangan yang sulit didapat dan lonjakan harga. Bahkan menurut Unicef kini ada sekitar 40 persen anak Indonesia di bawah usia lima tahun menderita gizi buruk. Hal ini tentunya bisa menjadi ancaman lost generation dan bertentangan dengan misi utama Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Urgensi SDGs, pemerintah menerbitkan Perpres No 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dengan 17 target misalnya mengakhiri semua bentuk kemiskinan, menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, menjamin kehidupan yang sehat dan menjamin pola produksi – konsumsi secara berkelanjutan. Intinya, gizi buruk menjadi ancaman serius bagi kesejahteraan dan karenanya imbas dari kemiskinan harus juga diperhatikan. Hal ini menegaskan bahwa daerah pinggiran dan perbatasan perlu ada perhatian serius, terutama dikaitkan dengan pemerataan distribusi pembangunan. Terkait ini maka era otda dengan alokasi dana desa diharapkan dapat memberikan pengaruh positif, bukan justru sebaliknya diwarnai oleh pemekaran daerah yang lebih berorientasi kepada aspek politik semata.

 

BERITA TERKAIT

Jaga Stabilitas Keamanan untuk Dukung Percepatan Pembangunan Papua

    Oleh: Maria Tabuni, Mahasiswa Papua tinggal di Bali   Aparat keamanan tidak pernah mengenal kata lelah untuk terus…

Konsep Megalopolitan di Jabodetabek, Layu Sebelum Berkembang

Pada saat ini, kota-kota Indonesia belum bisa memberikan tanda-tanda positif mengenai kemunculan peradaban kota yang tangguh di masa datang. Suram…

Pasca Pemilu Wujudkan Bangsa Maju Bersatu Bersama

    Oleh: Habib Munawarman,Pemerhati Sosial Budaya   Persatuan dan kesatuan antar masyarakat di Indonesia pasca pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu)…

BERITA LAINNYA DI Opini

Jaga Stabilitas Keamanan untuk Dukung Percepatan Pembangunan Papua

    Oleh: Maria Tabuni, Mahasiswa Papua tinggal di Bali   Aparat keamanan tidak pernah mengenal kata lelah untuk terus…

Konsep Megalopolitan di Jabodetabek, Layu Sebelum Berkembang

Pada saat ini, kota-kota Indonesia belum bisa memberikan tanda-tanda positif mengenai kemunculan peradaban kota yang tangguh di masa datang. Suram…

Pasca Pemilu Wujudkan Bangsa Maju Bersatu Bersama

    Oleh: Habib Munawarman,Pemerhati Sosial Budaya   Persatuan dan kesatuan antar masyarakat di Indonesia pasca pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu)…