Catatan atas Hasil Audit Laporan Keuangan Pemerintah Pusat

Oleh: Benny Gunawan Ardiansyah, PKN STAN *)

Untuk pertama kalinya dalam 12 tahun terakhir, hasil audit BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2016 menghasilkan opini Wajar Tanpa Pengecualian. Pertama kali opini diberikan tahun 2004 dan hanya mencapai level terendah, yaitu disclaimer (tidak memberikan pendapat). Kemudian mendapatkan predikat Wajar Dengan Pengecualian untuk periode 2009-2015. Pencapaian WTP tahun 2016 layak untuk diapresiasi, mengingat pemerintah pusat mulai menyusun neraca dan laporan keuangan pemerintah pusat dari berbasis kas menjadi sistem akrual sejak 12 tahun lalu.

Perubahan basis ini berarti setiap pengeluaran pemerintah akan dipertanggungjawabkan dalam bentuk penambahan aset negara. Akuntabilitas dan kredibilitas keuangan negara meningkat, setara dengan penerapan di negara maju. Akuntabilitas mengandung makna pertanggungjawaban pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan kebijakan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.

Salah satu catatan penting menyangkut kredibilitas APBN adalah tidak pernah realisasi penerimaan negara mencapai 100%, bahkan dua tahun terakhir dibawah 90%. Tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah adalah rendahnya tax ratio. Sementara itu, Menteri Keuangan menyatakan bahwa rasio pajak Indonesia berada di level 11%, termasuk rendah dibandingkan negara-negara lainnya. Kenaikan rasio pajak sebesar 1 persen saja akan meningkatkan pendapatan negara hingga lebih dari Rp100 triliun.

Kesinambungan Fiskal

Rendahnya rasio pajak bukan berarti tarif pajak di Indonesia termasuk rendah, bahkan tarif pajak efektifnya termasuk moderat, tidak rendah tetapi juga tidak terlalu tinggi. Secara keseluruhan, sistem administrasi pemungutan pajak di Indonesia terlihat cukup rumit. Misalnya melibatkan pemungutan pajak oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tingkat kesadaran masyarakat untuk membayar pajak rendah, sehingga terdapat anggapan bahwa seluruh pajak yang dipungut adalah wewenang pemerintah pusat. Secara konseptual, berbagai jenis pajak juga menjadi objek pemungutan, mulai pajak penghasilan, pajak konsumsi, pajak perdagangan, pajak kekayaan dan sebagainya. Hanya pajak atas warisan yang belum diterapkan di Indonesia.

Salah satu jenis kerancuan dalam administrasi perpajakan di Indonesia ialah siapa yang akan menjadi penanggung pajaknya. Terdapat kecenderungan seluruh beban pajak dialihkan kepada perusahaan dan bukan kepada individu pemilik sesungguhnya. Pembebanan pajak yang berlebihan kepada perusahaan memaksa pemerintah memberikan insentif untuk melonggarkan beban pajak perusahaan. Sayangnya, insentif pajak ini juga belum teradministrasikan dengan baik sehingga belum dapat diungkapkan dalam LKPP. Kebijakan pemerintah dalam bentuk insentif pajak seharusnya terdokumentasikan dengan baik karena dapat ditelusuri kapan dan siapa yang menelurkan kebijakan tersebut.

Insentif pajak akan menggerus basis perpajakan Indonesia. Target peningkatan rasio pajak sebesar 15% akan sulit dicapai di masa datang. Sementara itu, ukuran APBN masih akan terus membesar sehingga peningkatan penerimaan pajak adalah satu-satunya solusi untuk membiayai pengeluaran negara. Untuk itu, perlu dilakukan pengungkapan tax expenditure sebagai salah satu alat yang digunakan untuk mengukur kebijakan publik pemerintah. Pengungkapan dalam APBN akan membuat LKPP menjadi lebih transparan, akuntabel dan kredible serta membuat pengawasan yang lebih memadai.

Pengungkapan Tax Expenditure

Konsep tax expenditure muncul pada awal tahun 1960-an, yang mulai digunakan secara bersamaan di Jerman dan Amerika Serikat. Banyak negara seperti Argentina, Brazil, Kolombia, Jamaika, dan Meksiko telah membatasi segala macam insentif dalam reformasi pajak pada kurun waktu 1980-an karena berpotensi menggerus penerimaan pajak. Tax expenditure dipercaya telah menodai konsensus mengenai kesetaraan, efisiensi serta kesederhanaan.

Dibandingkan dengan subsidi langsung, terdapat lima kerugian tax expenditure. Pertama, pemerintah akan terjebak untuk terus menurunkan tarif pajak dan akan menemui kesulitan untuk menaikkannya. Kedua, tujuannya belum tentu tercapai karena seakan-akan pemerintah memberikan insentif untuk tidak membayar pajak. Ketiga, petugas pajak tidak memiliki pengalaman yang cukup untuk mengadministrasikan dan mengendalikan kebijakan ini. Keempat, pemilihan siapa atau sektor apa yang menerima insentif pajak bisa saja tidak tepat dan akan mendistorsi perilaku pelaku ekonomi dalam membuat keputusan. Sementara itu, sisi positif tax expenditure adalah sarana bagi sektor swasta untuk berkontribusi dalam perekonomian dan program sosial, meningkatkan minat investasi dan mengurangi pengawasan terhadap belanja langsung. (www.kemenkeu.go.id) *)Tulisan ini adalah pendapat pribadi 

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…