Kemana Dana Otsus dan Dana Desa Mengalir?

Tim Kajian Papua LIPI Cahyo Pamungkas menyebutkan, berdasarkan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) di Prov. Papua dan Papua Barat, sudah digelontorkan dana sekitar Rp68 triliun (2002 – 2017) , termasuk melalui APBN 2017 mencapai lebih Rp8 triliun. Ditambah lagi masih adanya lagi Dana Desa sebesar Rp 800-juta sampai Rp1-milyar tiap desa setiap tahun yang bisa digunakan untuk membangun fasilitas kesehatan , klinik kesehatan atau posyandu.

Selain itu, menurut catatan, Kab. Asmat pada 2018 menerima Dana Alokasi Khusus (DAK Fisik) Kesehatan Rp55,76 milyar (dari Rp1,932,52 triliun untuk Prov. Papua) dan DAK Non-fisik Kesehatan    Rp 14,196 milyar (dari Rp446,31 milyar untuk Papua).

Namun begitu, adanya tragedi ini berarti penggunaan dana Otsus belum optimal karena tidak adanya pendampingan dari pemerintah pusat sejak pemberlakukan Otsus pada 2002. “Ini bukti kegagalan pemerintah daerah dalam mengelola anggaran ini, dan tentu juga pusat yang tidak mampu memonitor anggaran itu bisa digunakan secara efektif,” katanya.

Menurut Cahyo, peluang penyelewengan dana Otsus terbuka karena buruknya tata kelola Pemda Papua, dan karena pemimpin lokal yang memposisikan sebagai kepala suku, tidak memiliki tanggungjawab untuk menyejahterakan rakyat. “Anggaran pemerintah dianggap sebagai milik pribadi, sementara akuntabilitas sulit diharapkan dari Pemda, “ ujarnya.

Misi Pelayaran Bakti Sosial 2017 yang digelar Kemenko PMK di Asmat, juga misi Ekspedisi NKRI 2017 terdiri dari ratusan anggota TNI dan unsur masyarakat lainnya di Asmat selama beberapa bulan (Oktober lalu) agaknya lebih bersifat “seremonial”, tidak menyentuh akar persoalan.

Tragedi kesehatan di Asmat, hanyalah salah satu fenomena gunung es yang bisa terjadi di wilayah-wilayah terpencil lainnya selama para pemimpin dan politisi  pusat mau pun lokal lebih memikirkan nasib mereka ketimbang rakyatnya.

Sedangkan, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) mendesak Presiden Joko Widodo harus segera mengatasi Kejadian Luar Biasa (KLB) Campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua. Dampak tragedi kemanusiaan tersebut telah merenggut nyawa sedikitnya 61 orang di wilayah Provinsi Papua itu. “Kami minta pak Jokowi segera mengatasi KLB di Asmat. Presiden harus memerintahkan jajarannya terjun ke lapangan,” tegas Anggota DPD RI dari Provinsi Papua Barat, Mervin Sadipun Komber.

Menurut Mervin, Menteri Sosial yang baru Idrus Marham harus segera bertindak bersama kementerian lainnya untuk mengatasi persoalan sosial dan kesehatan di Asmat, Papua.

Mervin yang juga Ketua Badan Kehormatan DPD RI ini mempertanyakan keberadaan Kartu Indonesia Sehat (KIS) untuk warga di Papua. “Apakah KIS (Kartu Indonesia Sehat) sudah menyentuh orang Papua?” tanya Mervin.

Mervin menyesalkan tindakan Presiden yang lebih memprioritaskan pada pembangunan infrasrtuktur ketimbang pembangunan dari sisi kemanusiaan. “Langkah Presiden menggalakkan pembangunan infrastruktur sebenarnya cukup baik tapi jangan sampai lupa pada program yang menyentuh sisi humanisnya,” katanya.

Sementara itu, , Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek, mengatakan penyebab gizi buruk yang melanda Suku Asmat karena faktor kurangnya kesadaran soal kebersihan. "Intinya kekurangan gizi dan penyakit campak kemudian turun campak ke diare. Nah sekarang kekurangan gizi artinya kebersihan, cara buang air gimana," ujarnya.

Adapun Terkait kasus campak dan gizi buruk yang terjadi di Kabupaten Asmat, Papua,  Nila menyebu pihaknya telah mengirimkan bantuan sejumlah alat kesehatan dan logistik.  Kemenkes sudah membahas penangan tragedi tersebut dengan berbagai pihak. "Suku Asmat sudah tentu kami sudah mengirim, tentu kami sudah mengirim bantuan ini yang urgen. Bantuan kerja sama dengan Kapolri dan Panglima TNI, Kapolda di sana kerja sama dan Kemenkes," ucap Nila.

"Kita bawa alat kesehatan, logistik, dan juga kemarin Eselon I mereka sudah bicara kepada KSP sudah dibicarakan dan terintegrasi dengan daerah tersebut sudah rawan," sambungnya.

 

Sementara Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Andi Muttaqien yang mengatakan, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organizatin/WHO) mendefinisikan hak atas kesehatan sebagai keadaan fisik, mental dan sosial yang lengkap, dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan.

"Pemenuhan hak kesehatan mensyaratkan adanya akses terhadap fasilitas dan layanan perawatan kesehatan yang memadai, serta tindakan negara yang tepat terkait dengan faktor penentu kesehatan seperti faktor sosial, ekonomi, makanan, air dan sanitasi, kondisi kerja, perumahan, dan kemiski­nan. Kalau sudah terjadi bencana seperti ini berarti itu semua belum terpenuhi. Ada kegagalan pemerintah baik daerah maupun pusat dalam hal ini," katanya.

Selain itu, terdapat persinggungan antara hak atas kesehatan dengan dimensi hak asasi manusia lainnya, termasuk hak atas makanan, air, perumahan, pekerjaan, pendidikan, kehidupan, non-diskriminasi, privasi, akses terhadap informasi, larangan terhadap penyiksaan atau perlakuan yang kejam.

Dimana, komite untuk hak-hak ekonomi, Sosial dan Budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan standar mengenai kewajiban penikmatan hak atas kesehatan, yang meliputi elemen ketersediaan, keteraksesan, dan kualitas. Ketiga elemen ini mensyarat­kan keberadaan tenaga medis dan paramedis yang profesional dan terlatih dengan jumlah yang memadai.

Untuk itu, pemerintah juga harus menjamin ketersediaan obat-obatan yang esensial, termasuk vaksin campuk. Elemen penting lainnya yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah berupa keteraksesan fasilitas kesehatan yang dapat terjangkau oleh semua orang. "Lagi-lagi peristiwa gizi buruk di Asmat, Papua, yang dibarengi wabah campak menunjukkan kegagalan pemer­intah pusat maupun pemerintah daerah dalam menjamin penikmatan hak kesehatan secara bertahap maju (realisasi pro­gresif)," sambung dia.

 

Tindakan reaktif yang diambil oleh pemerintah tentu belum mencukup untuk mengatasi tragedi kesehatan yang terus berulang terjadi di Papua.  Di samping itu, peristiwa di Asmat juga menunjukkan kega­galan pemerintah untuk menjamin hak atas pangan yang paling mendasar agar setiap warga negara bebas dari kelaparan dan

Sementara itu, pemerintah juga terikat komitmennya untuk melaksanakan Agenda Tujuan Pembangunan Keberlanjutan (Sustainable Development Goals). "Namun, peristiwa di Asmat justru menunjukkan sebaliknya, karena pemerintah terancam gagal mewujudkan yang diniatkan dalam SDG untuk mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan memperbaiki gizi," paparnya. (iwan)

 

 

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…