Mahar Politik Ganggu Demokrasi

Ramainya pemberitaan isu mahar politik dan dugaan praktik korupsi yang dilakukan kandidat legislatif maupun kepala daerah, pada intinya berpotensi timbulnya kasus korupsi anggaran negara, atau suap dari pihak ketiga. Kondisi ini jelas bertentangan dengan suasana demokrasi di negara kita, meski di sisi lain masih ada aturan perundang-undangan yang belum sempurna.

Meski saat ini upaya pencegahan praktik mahar terkait pencalonan kepala daerah telah diatur pemerintah melalui UU No. 8 Tahun 2015, partai pada prinsipnya tidak boleh menerima imbalan dari bakal calon gubernur, walikota, atau bupati. Begitu juga sebaliknya, bakal calon tidak boleh praktik suap kepada partai untuk memberikan rekomendasi pencalonan.

Namun, Kementerian Dalam Negeri pernah menyebutkan, calon bupati atau wali kota setidaknya butuh dana Rp20 miliar-Rp100 miliar untuk memenangi pilkada. Contohnya, pada Pilkada DKI Jakarta 2012, pasangan Fauzi Bowo dan Nara mengeluarkan dana kampanye hingga Rp62,6 miliar. Sementara, pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Poernama mengeluarkan dana Rp16,1 miliar.

Kemudian kebutuhan dana terus meningkat secara siginifikan pada Pilkada DKI 2017. Baik pasangan Anies-Sandiaga maupun Basuki-Djarot, masing-masing menghabiskan dana di kisaran Rp 90 miliar. Nah, pada Pilkada serentak 2018 dimana jumlahnya kian berlipat, konon kabarnya untuk maju dalam kontestasi lokal, calon kepala daerah perlu menyiapkan dana sekitar Rp300 miliar.

Melihat kondisi demikian, tentu kita tidak heran jika ada persepsi untuk mengejar balik modal, para calon kepala daerah terpilih harus mencari uang dengan berbagai cara termasuk korupsi. Karena sangat mustahil bila mengandalkan uang gaji sebagai kepala daerah. Jumlahnya tak sampai ratusan miliar. Lantas dari mana dana-dana tersebut dikumpulkan, kalau bukan dari hasil korupsi atau suap?

Jurubicara KPK Febri Diansyah pernah mengatakan, mahar politik dan politik uang itu akan berdampak buruk bagi pemberantasan korupsi di masa depan. Data KPK mengungkapkan, sampai sekarang sudah ada 78 kepala daerah yang diproses hukum dari 92 kasus korupsi.

Tidak hanya itu, pemerintah melalui Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) beberapa kali membuat peraturan yang memperketat penggunaan maksimal dana kampanye. KPUD pun memberikan dana yang sama rata kepada seluruh calon, umumnya untuk pembiayaan kampanye. KPUD ingin menciptakan kesetaraan dalam modal pendanaan kampanye seseorang. Sehingga ada kesan, negara telah memiliki posisi yang seolah sudah sempurna dalam membiayai pendanaan partai politik.

Jadi, terlepas dari ada atau tidaknya mahar itu, partai politik sepatutnya transparan dalam pengelolaan keuangan. Di saat bersamaan, pihak pemerintah dan elemen civil society harus mengawasi secara ketat lalu lintas sponsor atau donatur terhadap partai. Karena hampir tidak mungkin, parpol bisa membiayai sendiri lewat uang dalam pembiayaan politik elektoral yang amat mahal. Sementara sistem yang ada, memberi peluang parpol untuk mencari uang “haram”, termasuk mahar politik.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah pun mengakui bahwa mekanisme “mahar” atau pemberian uang dalam jumlah tertentu oleh seorang kandidat politik ke partai politik, adalah hal yang berlangsung terjadi di semua parpol di negeri ini. “Mahar sebetulnya adalah satu hak yang tidak mungkin dihindari dalam sistem politik. Kalau ada parpol yang mengatakan mereka tidak ada (mahar), itu bohong,” ujar Fahri di acara Indonesia “Lawyers Club (ILC)” TvOne, belum lama ini.

Memang kita harus mengakui, di satu sisi bantuan pendanaan partai dari pemerintah jauh dari mencukupi, utamanya untuk membiayai operasional pilkada. Contohnya bila satu partai membutuhkan dua saksi per TPS, dengan upah maksimal Rp 500.000 per orang. Maka, untuk Pilkada Jabar misalnya, dengan 74.966 TPS (data 2014) pembiayaan saksi setidaknya membutuhkan dana hingga hampir Rp 75 miliar!

Itu baru sebatas biaya untuk saksi TPS. Belum lagi, ada alat peraga yang berjumlah banyak dan memakan biaya produksi yang mahal, seperti baliho, pamflet, iklan media massa, dan acara-acara kampanye, berapa besar biaya yang harus dikeluarkan partai?

Kita menduga Pilkada serentak 2018 akan menjadi “panen raya” bagi parpol mencari dana untuk persiapan Pemilu 2019. Sehingga, pilkada hanya menjadi ajang transaksional antara Parpol dan sumber dana. Sempitnya rentang waktu antara Pilkada dengan Pilpres dan Pileg turut menjadi pemicu tingginya kasus mahar politik. Untuk itu, waspadalah praktik korupsi politik mulai berawal dari titik ini. 

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…