Demokrasi: Padat Karya & Padat Modal

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi

Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

 

Demokrasi sejatinya adalah proses untuk membuat tatanan kehidupan bernegara menjadi lebih baik sehingga operasional pembangunan yang bertujuan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai dengan keterlibatan semua rakyat. Selain itu, demokrasi juga menjadi sarana untuk melakukan regenerasi, baik kepemimpinan atau keterwakilan di parlemen. Sayangnya, praktek demokrasi justru tercoreng dengan realita industrialisasi demokrasi.

Paling tidak, hal ini terungkap dari maraknya mahar politik di tahun politik. Tidak tanggung-tanggung nominalnya mencapai miliaran rupiah dan fakta ini diyakini ada di semua parpol, baik yang berlabel agama atau nasionalis. Ironisnya yang mengemuka dengan mahar politik adalah kader yang tidak lolos dari restu parpol yang otomatis tidak bisa bertarung di pesta demokrasi kali ini, sementara yang menang berdalih tidak ada mahar politik alias nol rupiah ketika mendapat restu parpol. Jika faktanya demikian, maka demokrasi sejatinya adalah tahapan mengubur dirinya sendiri atau satu tahapan kematian demokrasi di republik ini tinggal menunggu waktu. Oleh karena itu, jangan mencari kambing hitam dibalik tahapan matinya demokrasi dan juga salahkan rakyat yang semakin apatis dengan pesta demokrasi.

Argumen terkait kematian demokrasi bisa terlihat dari apatisme masyarakat ketika ada pesta demokrasi. Fakta menunjukan ketertarikan publik terhadap pesta demokrasi kini kian menurun dan secara tidak langsung tingkat apatisme atau golput cenderung kian meningkat. Jika ditelusur sebenarnya ada banyak faktor yang mempengaruhi apatisme demokrasi tersebut misalnya jarak waktu 5 tahunan terlalu pendek. Betapa tidak, pada tahun 2017 kemarin ada pilkada serentak dan di tahun ini juga ada pilkada serentak lalu tahun 2019 ada pilpres. Seolah jenuh melihat hiruk pikuk saling hujat dan saling kritik, termasuk yang berbalut isu SARA dan ujaran kebencian. Itu semua dilakukan sekedar demi menang untuk kekuasaan 5 tahunan. Bahkan para petahana juga sibuk membangun dinasti politik dari kakek - neneknya, ayah - ibunya, anak-anaknya sampai cucu-cucunya agar terus berkuasa di daerah, entah di kekuasaan legislatif, eksekutif atau yudikatif.

Kerakusan untuk membangun dan mempertahankan kekuasaan melalui dinasti politik pada akhirnya terjadi transaksi politik berbalut demokrasi. Bentuknya bisa beruba mahar politik atau apalah namanya. Bahkan, segala cara dihalalkan untuk mendapat restu dari parpol agar bisa lolos bertarung di pesta demokrasi. Akibatnya saling sikut, saling caci dan saling tebar ujaran kebencian, termasuk juga dengan pembunuhan karakter sebagai upaya meloloskan jalan menuju tampuk kekuasaan. Terkait hal ini, maka beralasan jika mahar politik menjadi kewajiban, meski tidak tertulis dan hanya yang bermodalah yang bisa ikut bertarung di pesta demokrasi, sementara yang kere hanya bisa gigit jari untuk menunggu serangan fajar berdalih politik uang, entah warna biru atau merah.

Logis jika di pesta demokrasi bertebaran politik uang untuk menarik simpati semu simpatisan dan karenanya juga beralasan jika yang ditebar adalah uang palsu karena simpatisanya juga palsu karena yang dibutuhkan yaitu simpatisan palsu padat karya sesuai jatah kursi yang ada di parlemen dan pemerintahan. Fakta ini membenarkan bahwa demokrasi di republik ini identik dengan demokrasi padat modal dan padat karya. Padat modal karena identik dengan mahar politik dan politik dagang sapi lainnya sementara padat karya karena jelas membutuhkan banyak simpatisan semu untuk menang demi kekuasaan dan dinasti politik.

BERITA TERKAIT

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…

Investasi Emas Pasca Lebaran

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Usai lebaran Idul Fitri 1445 H masyarakat Indonesia mulai menjalankan aktifitas kembali seperti biasanya…

Tantangan APBN Paska Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

BERITA LAINNYA DI

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…

Investasi Emas Pasca Lebaran

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Usai lebaran Idul Fitri 1445 H masyarakat Indonesia mulai menjalankan aktifitas kembali seperti biasanya…

Tantangan APBN Paska Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…