Ancaman Overhang Utang

 

 

Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara

Peneliti INDEF

 

 

Dalam tahap membahayakan, utang bukan menjadi penyelamat ekonomi melainkan berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi. Teori itu yang melatarbelakangi Carmen Reinhart dan Kenneth Rogoff akhirnya mengeluarkan karya berjudul Debt Overhangs atau Overhang Utang. Ketika porsi utang sudah mencapai 60% dari PDB, negara maju cenderung memasuki fase penurunan pertumbuhan ekonomi. Utang menjadi kurang produktif karena beban bunga terlalu mahal, sehingga ruang untuk menstimulus ekonomi melalui anggaran Negara berkurang.

            Di sisi yang lain lonjakan utang yang tak terkendali berakibat fatal yakni terjadinya crowding out effect, investor alih-alih menanamkan uangnya untuk berinvestasi di sektor riil justru berlomba-lomba membeli surat utang pemerintah. Kondisi yang terjadi di Yunani, Portugal, AS, dan Negara lainnya mengajarkan betapa utang tidak selalu dibutuhkan sebagai leverages atau pengungkit perekonomian tapi malapetaka.

             Dalam konteks Indonesia, memang rasio utang masih berada dibawah 30% tapi fakta-fakta terjadinya gejala overhang utang sudah mulai dirasakan. Dalam 3 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi mulai stagnan, sulit tumbuh lebih dari 5%. Bahkan untuk tahun 2017, pertumbuhan ekonomi nampaknya berada dibawah 5,1%. Berulang kali Pemerintah merevisi target pertumbuhan.

            Gejala overhang utang juga dirasakan pada sektor investasi, ada abnormalitas dimana ekonomi tumbuh stagnan tapi pasar saham mencatatkan rekor IHSG sebesar 6.300. Bukan hanya di pasar saham, tapi di pasar surat utang kepemilikan asing mencatatkan rekor dengan porsi diatas 40% terhadap total surat utang Pemerintah. Tentu ini anomali yang berbahaya. Artinya, investor melihat secara fundamental ekonomi Indonesia sebenarnya bagaikan orang tua yang sulit berlari tapi imbal hasil surat utang terlalu menarik untuk dilewatkan.

            Bunga utang Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia, meskipun sudah mendapat ganjaran investment grade dan rating BBB dari lembaga rating global tetap saja bunga utang masih diatas 6,2% untuk tenor 10 tahun. Malaysia dan Thailand masing-masing hanya 3,9% dan 2,2%. Jika bunga utang terlalu mahal maka investor lebih tertarik untuk membeli surat utang dibandingkan berinvestasi ke sektor riil.

Imbas dari beralihnya uang di sektor riil ke utang Pemerintah adalah pertumbuhan industri manufaktur semakin tertekan, berada dibawah pertumbuhan ekonomi. Sementara utang Pemerintah digunakan untuk tambal defisit dan bayar cicilan pokok dan bunga rutin. Perlu dicatat tahun 2018-2019 beban utang jatuh tempo yang harus dilunasi adalah Rp810 triliun. Jadi agresifitas utang yang tidak dibarengi dengan investasi di sektor riil sama saja kontra produktif. Oleh karena itu banjirnya uang asing yang masuk ke surat utang dan euforia oversubscribed penerbitan utang baru sekali lagi bukan pertanda bahwa ekonomi kuat, tapi harus jadi kekhawatiran bersama ada yang salah dengan kebijakan fiskal Indonesia.

            

BERITA TERKAIT

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…

BERITA LAINNYA DI

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…