MENGANCAM STABILITAS - BI Siapkan Sanksi Keras Transaksi Pakai Bitcoin

NERACA

Jakarta – Besarnya minat masyarakat berinvestasi di Bitcoin membuat reaksi keras bagi Bank Indonesia dengan mengancam akan memberikan sanksi keras bagi setiap penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) termasuk perbankan yang melayani transaksi menggunakan Bitcoin dan mata uang digital lain.”Kami tegaskan kami akan panggil dan kami kenakan sanksi keras. Sudah ada empat peraturan di Indonesia yang melarang mata uang digital," kata Direktur Eksekutif Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI, Eni V. Panggabean di Jakarta, Senin (15/1).

Sikap otoritas sistem pembayaran tersebut muncul setelah transaksi mata uang digital (cryptocurrency) semakin berkembang di Indonesia, seperti nilai Bitcoin yang sudah melonjak 164 kali menjadi Rp214,4 juta sejak April 2013 hingga Januari 2018. Bank Sentral juga mengingatkan transaksi dan Bitcoin tidak bisa dicairkan melalui perusahaan jasa sistem pembayaran.

Eni mengklaim larangan transaksi Bitcoin dan mata uang digital lain yang dikeluarkan sejak 2014 berlaku cukup efektif. Hingga saat ini, menurut dia, BI belum menemukan perusahaan jasa sistem pembayaran yang melayani transaksi mata uang digital. Namun dengan perkembangan mata uang digital yang pesat di seluruh dunia, Eni mengatakan masyarakat perlu lebih berhati-hati dan tidak tergiur dengan iming-iming melonjaknya nilai mata uang digital.”Karakteristik mata uang digital tidak ada regulator, pseudonim, nama penggunanya juga tersamarkan sehingga rentan digunakan sebagai tindak kejahatan. Selain itu tidak ada otoritas sentral yang mengatur," ujar dia.

Mata uang digital dengan pangsa pasar terbesar adalah Bitcoin dengan kontribusi sebesar 33% atau jika dikapitalisasikan sebesar US$ 246 miliar. Secara total, menurut Coinmarketcap, terdapat 1.400 mata uang digital saat ini di dunia, dengan yang terbesar adalah Bitcoin dan Etherum. Transaksi mata uang digital dengan nilai permintaan yang berlebihan dapat menciptakan gelembung harga (bubble) yang berbahaya bagi stabilitas sistem keuangan.

Selain berbahaya bagi stabilitas, transaksi mata uang digital juga berbahaya bagi perlindungan konsumen, stabilitas sistem pembayaran dan rawan digunakan sebagai modus tindakan kejahatan seperti penampungan dana terorisme dan pencucian uang. Kepala Pusat Program Transformasi BI, Onny Widjanarko mengatakan, BI akan berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bappebti dan juga instansi lainnya untuk mengeluarkan sikap bersama terkait penggunaan mata uang digital di Indonesia.

Penggunaan mata uang digital di Indonesia terdapat di tiga konsep yakni sistem pembayaran (payment), dompet atau pengiriman dan penerimaan (wallet), pertukaran (exchange) dan "mining". BI mengatur di sistem pembayaran, mencegah dampak penggunaannya terhadap stabilitas sistem keuangan dan juga perlindungan konsumen.”BI di sistem pembayaran. Kami terus koordinasi dengan instansi terkait, seperti OJK, untuk perdagangannya dengan Bappebti. Apakah ada sanksi jika mata uang digital digunakan sebagai komoditas, itu bukan di BI, tapi kami koordinasi. Mungkin di BI di bagian komoditas tidak ada kewenangan tapi memperingatkan agar tidak diperjualbelikan karena risikonya tadi untuk stabilitas sistem keuangan dan masyarakat," ujar Onny.

Sebelumnya, OJK menegaskan bahwa investasi mata uang digital, seperti bitcoin, altcoin belum berizin secara resmi di Indonesia. OJK akan mengatur tentang transaksi atau investasi bitcoin sehingga mencegah kasus penipuan investasi bodong. “Investasi bitcoin belum ada izinnya. Investasi ini kan belum kita atur, karena belum dilakukan secara terbuka," kata Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Hoesen.

Dia mengaku, OJK akan mengatur mengenai investasi bitcoin di Indonesia. Namun sayangnya, Hoesen tidak menyebutkan secara spesifik apakah akan dilarang atau diberikan izin resmi di Tanah Air. OJK mengimbau kepada masyarakat atau pemilik modal untuk mengecek lebih dulu dasar hukum dan segala hal sebelum berinvestasi mata uang virtual seperti bitcoin.”Kita mau ingatkan ke masyarakat cek dulu ada dasar hukumnya atau tidak, kan kita punya website dan call center yang bisa dihubungi kalau ragu," jelas Hoesen.  

Menurut dia, penggunaan mata uang virtual atau bitcoin yang secara tegas disebutkan bukan merupakan alat pembayaran yang sah, termasuk sebagai produk investasi, tentunya akan ada risiko bagi para pemegangnya.”Risiko pasti ada. Mata uang virtual bitcoin ini kan masih tertutup, masih satu komunitas tersendiri. Kalau uang kan jadi alat tukar, jika dia mau mengeluarkan dari sistem, harus pindah lagi atau mencairkan dulu," tegas Hoesen. bani

 

 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…