APBN vs Utang Negara

Di tengah gencarnya pemerintah menerbitkan surat berharga negara (SBN) sebagai upaya untuk menutupi kelangkaan likuiditas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah juga menghadapi jumlah utang negara yang akan jatuh tempo pada 2018 dan 2019 masing-masing sebesar Rp390 triliun dan Rp420 triliun, atau total beban pokok dan bunga utang menjadi Rp810 triliun.

Kita juga menyadari pemerintah terpaksa menerbitkan SBN akibat dana investasi langsung (foreign direct investment) yang masuk belum sesuai harapan, dan upaya meningkatkan penerimaan dalam negeri dari sektor pajak masih belum sesuai target yang ditetapkan.

Tidak hanya itu. Pada saat yang sama pinjaman dari China yang dijanjikan sebesar US$50 miliar, ternyata yang sudah cair tidak lebih dari US$5 miliar. Sementara beban besar yang siap menguras APBN  dalam tahun ini adalah kegiatan Annual Meeting IMF-Bank Dunia di Bali pada Oktober 2018. Sehingga praktis, pemerintah benar-benar terus mengandakan SBN dalam menutupi biaya pembangunan infrastruktur, biaya kesehatan dan pendidikan, untuk Dana Alokasi Khusus (DAK), dana desa, dan dana perlindungan social, serta dana untuk biaya rutin dan melunasi sebagian pokok utang dan bunga.

Mantan Menkeu Fuad Bawazier menilai rencana penerbitan SBN sepanjang 2018 sebesar Rp414,7 triliun terlalu kecil. Pasalnya, realisasinya mungkin bisa menembus level Rp545 triliun atau rerata per hari menerbitkan SBN sebesar Rp1,5 triliun. Ini karena pada 2018 kecenderungan penerimaan negara, khususnya dari pajak terlihat belum mencapai target. Sementara persoalan inefisiensi anggaran belum sungguh-sungguh diatasi melalui perencanaan anggaran, bukan melalui pemangkasan mendadak seperti yang pernah dilakukan Menkeu Sri Mulyani Indrawati.

Di sisi lain, beban utang yang ada sekarang ini cepat atau lambat akan melampaui daya dukung APBN untuk memenuhi kewajibannya. Meski rasio utang negara terhadap produk domestik bruto (PDB) baru mencapai 29%, kemampuan tax ratio kita hanya 10,3% dari PDB (2016), bahkan pada 2017 turun lagi di kisaran 8,6%, sebuah pencapaian terburuk sepanjang sejarah tax ratio.

Jika dibandingkan beberapa negara tetangga, tax ratio Indonesia memang terlalu rendah. Tax ratio  Finlandia mencapai 43,6%, Denmark 49%, Swedia 45,8%, Selandia Baru 34.5%, Australia 30,8%, Norwegia 43.6%, Kanada 32.2%, Jerman 40,6%, Belanda 39,8%, Perancis 44,6%, Inggris 39% dan Amerika Serikat 26,9%.

Hal yang sama juga capaian tax ratio di beberapa negara Asia juga masih jauh di atas Indonesia, seperti Malaysia 15,5%, Thailand 17%, Jepang 28,3%, Filipina 14,4%, Vietnam 13,8%. Indonesia sedikit di atas Kamboja 8% dan Birma sebesar 4,9%.

Kita melihat utang merupakan ancaman terhadap kemampuan APBN dalam pembayarannya baik bunga maupun cicilan pokok utang. Namun sayangnya, kondisi utang negara kita tidak bisa dikaitkan dengan tax ratio, mengingat komponen tax ratio di Indonesia berbeda dengan tax ratio di negara-negara lain. Pemerintah tetap bersikukuh untuk tetap menggunakan panduan rasio utangnya terhadap PDB.

Nah, seharusnya argumentasi yang sama juga digunakan dalam hal PDB dimana komponen PDB di tiap negara berbeda-beda.Tetapi dengan menggunakan panduan tax ratio yang ada sekarang ini ataupun tax ratio yang akan disempurnakan sekurang-kurangnya lebih relevan dengan kemampuan APBN dalam memenuhi kewajiban pembayaran terhadap utang daripada terhadap PDB, mengingat pendapatan perpajakan sudah mencapai 86% dari total pendapatan negara.

Menyimak data Kemenkeu dalam RUU APBN 2018 total pembayaran kewajiban utang negara Januari sampai dengan Juli 2017 adalah Rp347,6 triliun atau 67,56% dari pagu yang dialokasikan dalam APBN sebesar Rp514,57 triliun.

Adapun target penerimaan perpajakan 2017 sebesar Rp1.428,6 triliun diturunkan menjadi Rp1.283,6 triliun. Dengan demikian 35% dari pendapatan perpajakan pada 2017 digunakan untuk memenuhi kewajiban pembayaran tahunan terhadap utang, dan prosentase ini cenderung akan terus meningkat mengingat penerimaan perpajakan yang cenderung melemah.

Karena itu, dalam penyusunan APBN ke depan, pemerintah perlu mempertimbangkan kriteria baru terutama dalam kaitannya dengan utang yaitu dengan memasukkan rasio maksimum pembayaran kewajiban utang terhadap penerimaan sektor pajak.  Artinya, tidak selalu menggunakan panduan rasio utang terhadap PDB yang saat ini masih di bawah 30%. Semoga!

BERITA TERKAIT

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

Kedewasaan Berdemokrasi

Masyarakat dan segenap elemen bangsa Indonesia saatnya harus menunjukkan sikap kedewasaan dalam menjunjung tinggi asas serta nilai dalam berdemokrasi di…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kredibilitas RI

Pemilu Presiden 2024 telah berlangsung secara damai, dan menjadi tonggak penting yang tidak boleh diabaikan. Meski ada suara kecurangan dalam…

Pangan Strategis

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak…

Kedewasaan Berdemokrasi

Masyarakat dan segenap elemen bangsa Indonesia saatnya harus menunjukkan sikap kedewasaan dalam menjunjung tinggi asas serta nilai dalam berdemokrasi di…