Pengamat: Nilai Profesi Advokat Ada Yang Hilang

Pengamat: Nilai Profesi Advokat Ada Yang Hilang

NERACA

Jakarta - Pengajar hukum pidana Universitas Bung Karno Azmi Syahpura menilai fenomena advokat saat ini ada nilai-nilai yang hilang terkait fungsinya untuk menjaga kehormatan dan kewibaan hukum serta martabat profesi.

"Profesi advokat juga berfungsi sebagai pendidik hukum. Pendidikan hukum adalah pendidikan kemanusiaan," kata dia guna menanggapi pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebutkan 22 advokat sejak 2005 sampai sekarang terjerat UU Tindak Pidana Korupsi, di Jakarta, sebagaimana dikutip Antara, kemarin.

Seharusnya advokat itu, kata Azmi Syahputra, meluruskan persoalan hukum kliennya agar kembali pada makna tercapainya tujuan hukum dan nilai-nilai kemanusiaan."Ini yang hilang dan bablas dalam menjalankan profesi advokat kebanyakan malah kini jadi keliru bahkan melakukan hal yang bertentangan dengan etika dan nilai nilai keluhuran profesi sampai merekayasa, kesaksian palsu bahkan menggelapkan fakta," ujar dia.

Ia menambahkan di sinilah, makna etika seharusnya menjadi samudera hukum dengan memiliki keseimbangan kepentingan."Jadi hak imunitas dalam Pasal 16 UU Advokat tidak bisa menjadi tameng pembenar," kata dia.

“Kedepankan kepentingan bangsa Hak imunitas itu, kata dia, berlaku sepanjang advokat mempertahankan kepentingan klien dengan itikad baik, proses yang jujur, yang tidak tidak bertentangan dengan undang-undang, nilai- nilai prinsip moral serta mengedepankan kepentingan bangsa yang lebih besar,” tambah dia.

Indonesia Corruption Wach mencatat sejak 2005 sampai sekarang sebanyak 22 advokat terjerat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi diantaranya Frederich Yunadi, pengacara Setya Novanto."Dalam catatan ICW sedikitnya sudah ada 22 advokat dijerat dengan UU Tipikor," kata anggota Divisi Judicial Monitoring ICW, Emerson F Yuntho di Jakarta, Minggu (14/1).

Emerson Yuntho menyebutkan ke-22 advokat itu, terdiri atas 16 advokat terlibat dalam kasus penyuapan, empat advokat dalam kasus merintangi penyidikan dan dua advokat memberikan keterangan yang tidak benar.

Dari data ICW, kasus yang melibatkan 22 advokat itu, mayoritas ditangani oleh KPK sebanyak 16 orang, sisanya ditangani kejaksaan sebanyak lima orang dan kepolisian sebanyak satu orang."Hukuman paling tinggi untuk advokat yang terbukti bersalah adalah Haposan Hutagalung divonis 12 tahun penjara," kata dia.

Haposan Hutagalung terlibat dalam mafia kasus Gayus Halomoan Tambunan dengan memberikan keterangan tidak benar asal usul harta Gayus, menyuap penyidik Polri Arafat Enanie dan Komisaris Jenderal Susno Duadji sewaktu menjabat sebagai Kepala Bareskrim Polri.

Kemudian OC Kaligis dalam perkara suap kepada hakim dan panitera PTUN Medan, Sumatera Utara pada 2015, di tingkat Peninjauan Kembali hukumannya menjadi tujuh tahun penjara. Sedangkan Frederich Yunadi ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan menghalangi dan merintangi penyidikan kasus e-KTP dengan tersangka Setya Novanto pada 10 Januari 2018 dan saat ini sudah ditahan di KPK. 

Jangan Diskreditkan Advokat 

Sementara itu, anggota Komisi Pengawas Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Kaspudin Noor, mengharapkan momentum penetapan tersangka Frederich Yunadi saat ini, janganlah untuk mendiskreditkan advokat.

Mantan komisioner Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) itu menambahkan hitungan 22 advokat itu, masih kalah jauh dengan para politisi yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.“Ini bukan membela pengacara, profesi pengacara itu penegak hukum yang paling tidak mempunyai 'power', karena dia membela kliennya dalam posisi sebagai pesakitan hingga membutuhkan harapan-harapan melalui bantuan hukum. Hingga bisa dikatakan advokat itu tidak punya palu, penjara, surat penangkapan dan penahanan,” papar dia.

Ia menambahkan terjadinya advokat terlibat korupsi itu tidak berdiri sendiri, tentunya karena ada pihak-pihak yang sama-sama dalam perbuatan itu,sehingga pekerjaan advokat tidak terlepas dari aparat penegak hukum lainnya.

"Ini kan bukan kemauannya, tapi akibat 'keadaan terpaksa' hingga mencari jalan seperti itu. Ingat advokat itu tidak digaji oleh negara hingga mencari kebutuhan sehari-harinya baik untuk keluarga maupun pribadinya dengan menjalankan tugas advokat. Kadang-kadang klien ini mencari juga orang yang bisa atau advokat yang berkolusi," kata dia.

“Sebenarnya mencari advokat yang baik itu, sangat banyak sekali, karena itu janganlah membuat patah semangat advokat,” tambah dia. Ant

 

BERITA TERKAIT

Dua Pengendali Pungli Rutan KPK Sampaikan Permintaan Maaf Terbuka

NERACA Jakarta - Dua orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berstatus tersangka atas perannya sebagai pengendali dalam perkara pungutan…

Ahli Sebut Penuntasan Kasus Timah Jadi Pioner Perbaikan Sektor Tambang

NERACA Jakarta - Tenaga Ahli Jaksa Agung Barita Simanjuntak mengatakan penuntasan kasus megakorupsi timah dapat menjadi pioner dalam upaya perbaikan…

Akademisi UI: Korupsi Suatu Kecacatan dari Segi Moral dan Etika

NERACA Depok - Dosen Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Meutia Irina Mukhlis mengatakan dalam…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Dua Pengendali Pungli Rutan KPK Sampaikan Permintaan Maaf Terbuka

NERACA Jakarta - Dua orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berstatus tersangka atas perannya sebagai pengendali dalam perkara pungutan…

Ahli Sebut Penuntasan Kasus Timah Jadi Pioner Perbaikan Sektor Tambang

NERACA Jakarta - Tenaga Ahli Jaksa Agung Barita Simanjuntak mengatakan penuntasan kasus megakorupsi timah dapat menjadi pioner dalam upaya perbaikan…

Akademisi UI: Korupsi Suatu Kecacatan dari Segi Moral dan Etika

NERACA Depok - Dosen Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Meutia Irina Mukhlis mengatakan dalam…