Ketimpangan adalah (bukan) Pilihan

 

Oleh: Rusli Abdulah

Peneliti INDEF

 

Tidak bisa dipungkiri, ketimpangan adalah sebuah pilihan kebijakan yang terkadang secara sadar diambil oleh otoritas. Meski ketimpangan adalah sebuah keniscayaan, namun menekan ketimpangan ke level paling rendah adalah sebuah keharusan.  Dalam konteks Indonesia, pilihan kebijakan tersebut setidaknya pernah terjadi di era kolonial. Ketika itu Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membagi 3 kelas pada masyarakat Indonesia. Kelas pertama orang Eropa (kulit putih), kedua Asia Timur dan Arab, ketiga pribumi/melayu.

Pembagian kelas yang dilakukan secara sadar tersebut menjadikan munculnya jurang ketimpangan. Pembagian kelas masyarakat berimplikasi pada perbedaan akses terhadap sumber daya modal, Pendidikan dan kesempatan antar kelas. Munculnya perbedaan akses kesempatan ini pada akhirnya akan bermuara pada ketimpangan.

Kelompok dengan akses kesempatan lebih baik terhadap modal, Pendidikan dan kesempatan akan cenderung lebih sejahtera dibandingkan dengan kelompok yang tidak memiliki akses kesempatan terhadap ketiga hal tersebut di atas. Pola ini di sisi lain akan menimbulkan lingkaran setan kemiskinan. Orang miskin akan tetap miskin selama akses terhadap modal, Pendidikan dan kesempatan tidak diberikan. 

Pada akhirnya Pemerintah kolonial memberlakukan politik etis pada 1900. Politik etis ini memberikan kesempatan kepada penduduk pribumi untuk mengenyam Pendidikan hingga ke negeri Belanda. Pemberlakuan politik etis ini belakangan menjadi pemicu tuntutan kemerdekaan Indonesia.

Pasca kemerdekaan, secara de jure bangsa Indonesia memiliki cita-cita Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang tercantum dalam sila Kelima Pancasila. Cita-cita ini merupakan pilihan sadar untuk menjadi bangsa yang berkeadilan, lepas dari bayang-bayang sebagai bangsa yang terjajah. Jelas memori penjajahan adalah memori yang hendak dinegasikan di alam kemerdekaan.

Namun cita-cita perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hingga saat ini masih jauh panggang dari api. Ketimpangan masih menjangkiti Indonesia. Orde lama, orde baru dan orde reformasi tidak bisa dipisahkan dari ketimpangan. Bahkan posisi angka ketimpangan saat ini (per September 2017) berada pada posisi 0,39 (Indeks Gini).

Kenapa ketimpangan masih eksis dan cenderung tinggi di era Indonesia merdeka? Salah satu jawabannya adalah kebijakan perekonomian perekonomian yang terlalu bertumpu pada kehendak mengejar pertumbuhan tinggi. Jika demikian maka ada satu hal yang akan dikorbankan yakni pemerataan. Benar bahwa kemiskinan menurun dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun, pertumbuhan ekonomi yang tidak dibarengi dengan pemerataan pada titik tertentu akan menjadikan pertumbuhan ekonomi tersebut tidak ada gunanya.

Ketimpangan melahirkan kerawanan sosial yang berujung pada instabilitas politik. Hasil akhirnya? Ekonomi terganggu. Tunisia pada 2010 adalah contohnya. Pertumbuhan ekonomi yang sempat hampir menyentuh 5% pada 2010 dibarengi dengan ketimpangan tinggi (indeks gini 0,35). Alhasil kerawanan sosial ketidakpuasan masyarakat terhadap Pemerintah tinggi. Tunisia pada 2011 menjadi awal mulainya Arab Spring yang menggemparkan dunia Arab dan Internasional tersebut. Diawali oleh protes bakar diri pedagang sayur yang merasa dirinya tidak diberikan kesempatan yang sama dalam berusaha.  Semoga RI baik-baik saja, meski indeks gini kita sudah mencapai 0,39.

 

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…