Pilkada: Harta, Tahta & Wanita

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi  

Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

Tahun politik dalam pilkada serentak 2018 dan pilpres 2019 nampaknya akan menguras energi, belum lagi mewaspadai ancaman konflik horisontal yang muncul. Bahkan, asa agar tidak menebar isu SARA nampaknya tidak akan efektif meredam ancaman konflik horisontal. Paling tidak, tahapan awal pilkada serentak telah diwarnai dengan kampanye hitam atas sejumlah calon yang maju pada pilkada serentak. Setidaknya, sudah ada satu calon yang mengundurkan diri dari peta pertarungan pilkada serentak. Ironisnya, hal ini justru dilakukan di saat-saat terakhir pengumuman calon oleh ketua parpol. Artinya di minggu awal Januari 2018 merupakan hari yang super sibuk bagi parpol untuk membuat peta sejumlah calon yang bisa diusung dalam pilkada serentak.

Ironi sebuah foto secara tidak langsung telah memudarkan niatan bertarung di pilkada. Argumen yang mendasari karena beredarnya foto tersebut bisa dianalogikan sebagai suatu bentuk pembunuhan karakter melalui kampanye hitam untuk menjatuhkan rival di pilkada serentak. Hal ini secara tidak langsung menegaskan bahwa masih ada cara-cara ilegal yang dilakukan oknum untuk menebar kebencian demi mencapai kemenangan di pesta demokrasi. Jika demikian maka sejatinya tidak ada filosofis menang kalau di pesta  demokrasi, baik pilkada atau pilpres karena sejatinya semua berharap siap menang dan tidak ada yang siap kalah. Logika yang mendukung yaitu realitas besarnya biaya pesta demokrasi di republik ini, mulai dari restu parpol, kampanye, serangan fajar, pembagian paket sembako, dan pasca pemenangan.

Rangkaian yang memicu mahalnya biaya pesta demokrasi itu menjadi pembenar adanya bisnis Saracen dan tingginya peredaran uang palsu selama musim pesta demokrasi. Oleh karena itu beralasan jika money politics identik dengan uang palsu, baik dalam arti uang palsu beneran atau uang palsu dalam arti menipu untuk bisa merebut suara rakyat. Lalu untuk apa itu semua dilakukan? Tidak lain adalah untuk mengejar kursi kekuasaan, baik di daerah sebagai kepala daerah atau di pusat sebagai Presiden. Bahkan, di era kekinian juga semakin nampak nafsu untuk membangun dan mempertahankan dinasti kekuasaan. 

Bahkan di era Otda makin banyak dinasti kekuasaan dibangun. Ironisnya, meski banyak kasus OTT di era otda yang sarat dinasti kekuasaan, ternyata partisipasi pemilih masih saja ada, sementara file setahun terakhir OTT oleh KPK di media seolah tidak memicu sentimen negatif terhadap pesta demokrasi untuk cermat memilih pemimpin bersih. Jadi politik uang (yang memakai uang palsu?) dalam lembaran merah atau biru efektif untuk mendulang suara demi kekuasaan (tahta) 5 tahunan. Tahta pada 5 tahunan sangat efektif untuk meraup kekayaan (harta), termasuk dengan dalih korupsi berjamaah seperti pada kasus E-KTP dan ironisnya semua rangkaian itu bisa habis sekejap ketika terjerat kasus yang melibatkan wanita, baik sebelum, selama atau setelah menjabat.

Jika demikian maka benar adanya jika tiga serangkai yaitu harta, tahta dan wanita telah menjadi bagian dari lingkaran pesta demokrasi dan di ritme kehidupan manusia. Tinggal bagaimana masing-masing siap menghadapi itu semua karena jika tidak kuat iman maka akan hancur dan justru merenungi sisa hidup di balik jeruji penjara sampai akhir hayat. Selamat bertarung di pilkada serentak dan pilihnya calon pemimpin yang bersih.

 

BERITA TERKAIT

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…

Investasi Emas Pasca Lebaran

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Usai lebaran Idul Fitri 1445 H masyarakat Indonesia mulai menjalankan aktifitas kembali seperti biasanya…

BERITA LAINNYA DI

Iklim dan Reformasi Kebijakan

Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…

Cawe-cawe APBN dalam Lebaran 1445 H

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…

Investasi Emas Pasca Lebaran

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Usai lebaran Idul Fitri 1445 H masyarakat Indonesia mulai menjalankan aktifitas kembali seperti biasanya…