Digitization dan Pergeseran Peran "Middle-Men"

Oleh: Yeremia L Kusumanto, Staf Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan, Setjen Kemenkeu *) 

Indonesia menjadi saksi betapa pesatnya pertumbuhan teknologi dalam sepuluh tahun terakhir. Saat ini, para pelaku ekonomi melihat fitur digital memberi peluang lebih tinggi untuk menjangkau pasar dan mengurangi biaya operasional. Pertanyaan yang muncul ialah kenapa fitur digital ini menjadi faktor pengurang biaya produksi dan faktor efektivitas untuk menjangkau pasar. Jika dilihat dari sisi supply chain, kehadiran fitur digital ini memangkas jarak hubungan pemilik usaha dan konsumen. Fitur digital ini secara kasat mata menggantikan posisi pekerja yang dalam susunan struktur organisasi sebagai perantara atau middle-men. Bagaimana memandang hal ini?

Di sisi positif, kehadiran fitur digital dapat memperkuat beberapa hal, diantaranya 1) turunnya harga karena pengusaha dapat meminimalisir operasional costs, 2) memperluas jangkauan pemasaran, 3) hilangnya barrier to entry bagi usaha-usaha rintisan. Operational costs adalah biaya setelah proses produksi selesai, misalnya biaya sewa gedung, biaya perawatan, biaya gaji karyawan dan biaya lain guna mendukung proses distribusi. Sebagai contoh, bila seorang pengusaha memilih menjalankan usaha secara digital, maka ia dapat menekan operational cost dengan menyimpan barang dagangan di rumah tanpa mengeluarkan kebutuhan membayar gaji karyawan atau biaya lainnya.

Terlepas dari operasional costs tersebut, fitur digital memudahkan pengusaha menjangkau pasar yang lebih luas. Karateristik borderless dari sistem internet membuka peluang pengusaha untuk memasarkan barangnya melalui media sosial maupun aplikasi perdagangan lainnya. Pada pola ekonomi sebelumnya, pemasaran membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga membuat pengusaha kecil-menengah mengalami kesulitan menjangkau pasar yang lebih luas yang berimbas dalam besaran skala usaha mereka.

Fitur digital dan akses internet ini juga menjadi insentif bagi pengusaha perintis yang dahulu kesulitan memulai usahanya karena besarnya biaya establishment. Selain itu, biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha untuk melakukan penetrasi ke pasar atau barrier to entry menjadi minimal. Saat ini, pengusaha kecil tidak perlu khawatir akan kebutuhan modal besar karena costs mulai dari pendirian fisik tempat usaha, pemasaran dan operasional terpangkas oleh fitur digital. Bila kita tengok pengusaha makanan, sekarang mereka tidak perlu mempunyai restoran yang besar dan nyaman untuk menarik pelanggan. Mereka cukup memikirkan unsur pembedanya lalu memasarkannya secara digital.

Di sisi negatif, hal yang paling mencolok ialah munculnya usaha baru tidak sejalan dengan penciptaan lapangan kerja. Kemampuan fitur digital untuk memangkas jarak pemilik usaha dan konsumen membuat pekerjaan ­middle-men seperti karyawan dan tenaga pendukung lainnya menjadi berkurang atau bahkan hilang. Para pengusaha, baru atau lama, tidak membutuhkan banyak pekerja untuk menjalankan bisnisnya. Kemampuan otomasi dari sistem digital menggantikan tugas yang dulu digarap oleh karyawan. Sebut saja pekerjaan mengambilkan barang yang diinginkan konsumen di toko konvensional. Pada toko digitalbarang akan disusun secara otomatis dan konsumen hanya perlu melakukan pencarian melalui keyword tertentu.

Disamping itu, sifat borderless dari fitur digital ini membuat skala dari aktifitas ekonomi ini tidak dapat tertangkap oleh metode-metode penghitungan pertumbuhan. Pada metode yang saat ini digunakan, penghitungan dapat diambil dari catatan arus keluar masuk barang dengan mekanisme perpajakan dan bea masuk/keluar. Ini dapat dilakukan karena pengusaha memiliki aset fisik usaha yang tercatat dengan baik dan menjadi subjek pajak. Dengan masuknya sistem digital, jejak fisik tersebut tersebut hilang. Bahkan batas kedaulatan negara yang juga menjadi acuan perdagangan menjadi hilang. Sebagai contoh, arus transaksi dari amazon akan sulit dilacak karena kantor perusahaan, gudang penyimpanan dan shipping serta konsumennya bisa berasal dari negara yang berbeda-beda. Dengan demikin, pemerintah akan sulit menentukan objek pajak dari aktifitas perdagangan ini. Hal ini karena 1) sulitnya pelacakan aktifitas fisik, 2) sulitnya penerapan sistem perpajakan terkait sovereignity atau kedaulatan bangsa jika supply chain office-nya berada di negara berbeda dan 3) belum terintegrasinya sistem informasi perbankan global.

Pergeseran Peran

It is about raising the pace of growth and enlarging the size of the economy, while levelling the playing field for investment and increasing productive employment opportunities.

-World Bank-

World Bank menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang inklusif tidak hanya laju pertumbuhan itu sendiri yang menjadi perhatian, namun memperbesar ukuran ekonomi juga menjadi perhatian. Besarnya ukuran ekonomi memberikan arti bahwa ruang dari kesempatan kerja dan kesejahteraan harus mampu mencakup sebanyak mungkin dari populasi. Dengan demikian, kesenjangan pendapatan menjadi menipis. Hal ini tampaknya sangat bertolak belakang dengan tren yang terjadi saat ini dengan berkembangnya fitur digital memangkas kerja karyawan atau middle-men. Namun apakah demikian?

Jika dilihat lebih dalam, perkembangan ekonomi digital tidak benar-benar menghilangkan lapangan kerja ataupun tidak menciptakan lapangan kerja. Aktifitas ekonomi berbasis digital sebenarnya hanya mengubah struktur tenaga kerja. Peran middle-men tidak hilang, hanya saja berbeda dalam hal siapa yang memberi pekerjaan, bagaimana pola kontrak kerja dan bagaimana pertanggung-jawabannya. Pada pola perekonomian konvensional, ketiga komponen diatas sepenuhnya dipegang oleh pengusaha. Karyawan bekerja, bertanggung jawab dan terikat kontrak kepada pemilik usaha. Quality control, standar kerja dan upah dikendalikan oleh sang pengusaha.

Beda halnya dengan pola digital. Middle-men tidak langsung bekerja dan terikat dengan pengusaha tetapi lebih terikat kepada konsumen. Menganut pola Loose Contractmiddle-men tetap sebagai kepanjangan tangan pengusaha namun pola quality control dipegang oleh konsumen. Fitur pemberian rating dalam dunia digital membuat reputasi para middle-men dipegang oleh konsumen. Hal ini karena para middle-men bekerja secara independen dan tidak terikat kontrak hubungan kerja yang mengikat kepada satu perusahaan sehingga kehadiran mereka sulit untuk dicatat dalam angka tenaga kerja. Belum kuatnya institusi pemerintah untuk menangkap aktifitas digital inilah yang menyebabkan penurunan angka penciptaan lapangan pekerjaan dan naiknya angka pengangguran.

Perkembangan industri berbasis digital memang harus dapat di-capture dengan baik oleh pemerintah. Dengan memotret pertumbuhan ekonomi digital dengan baik dan secara detail, maka pemerintah dapat membuat kebijakan yang tepat, baik dari segi pencatatan, perkembangan dan manfaat bagi masyarakat. Sebagai sebuah institusi, pemerintah memegang kendali pada cepat lambatnya masyarakat Indonesia untuk beradaptasi. Selain itu, sesuai dengan semangat Nawacita yang diusung oleh Presiden Jokowi, mutlak bagi pemerintah mencari cara agar perkembangan digital didorong untuk medukung aktifitas perekonomian yang inklusif.

Kementerian Keuangan, sesuai yang dimandatkan oleh Undang-undang, sudah mengalokasikan 20% dari APBN untuk anggaran pendidikan dan 5% untuk anggaran kesehatan.  Melansir data dari BPS, komposisi tenaga kerja di Indonesia masih didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar sebanyak 50,98 juta jiwa atau 42,13% dari total tenaga kerja. Hal ini memang sangat tertinggal dari negara-negara lain apalagi jika komposisi ini dikaji dalam kerangka kesiapan dalam menghadapi era digital. World Bank dalam risetnya mengatakan untuk merealisasikan education promise ada empat komponen yang harus dipenuhi yaitu 1) pre-kondisi dari siswa, 2) kualitas pengajar, 3) manajemen sekolah dan 4) governance. Kementerian Keuangan dengan 5% alokasi anggaran untuk kesehatan sudah mulai mencoba mempengaruhi komponen pre-kondisi dari siswa. Sementara alokasi anggaran pendidikian sebesar 20% digunakan untuk mempengaruhi/memperbaiki kondisi 2-4. Namun demikian, 20% alokasi anggaran saja tidak cukup.

Koordinasi antar Kementerian/Lembaga mutlak untuk ditingkatkan untuk menjamin kualitas dari pemanfaatan alokasi anggaran 20% tersebut. Kualitas kurikulum pendidikan, kualitas pengajar, dan pola remunerasi berbasis prestasi sangat perlu untuk ditingkatkan. Memang disadari kebijakan ini adalah kebijakan yang inklusif dan membutuhkan waktu yang lebih banyak. Akan tetapi, jika sinergi antar institusi dapat berjalan dengan solid, maka perkembangan digital menjadi peluang yang sangat terbuka bagi pertumbuhan perekonomian di Indonesia. (www.kemenkeu.go.id) *) Tulisan ini adalah pendapat pribadi

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…