Bonus Demografi, Apakah Benar-Benar Memberi Bonus?

Oleh: Yeremia Kusumanto, Staf Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan, Setjen Kemenkeu *)

Sejumlah report dari lembaga internasional menyebutkan bahwa saat ini Indonesia akan diuntungkan dengan apa yang disebut demographic dividend yakni keuntungan memiliki usia produktif sebesar 60% dari total populasi pada tahun 2020-2030 mendatang. Tingginya usia produktif ini juga memberi indikasi bahwa dependency ratio pada periode itu rendah. Hal ini dikarenakan proporsi usia tidak produktif secara proporsi menjadi rendah jika dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja. Lalu, apakah ini benar-benar menguntungkan?

Angka Partisipasi Sekolah

Dari data survey pendidikan tahun 2010, besaran Angka Partisipasi Sekolah (APS) berbeda disetiap kelompok umur. Untuk kelompok umur 7-12 tahun (SD/sederajat), APS mencapai angka yang sangat tinggi yaitu sebesar 94,89% dari sekitar 27 juta jiwa. Pada usia 13-15 tahun (SMP/sederajat), APS menurun menjadi 84,24% dari total penduduk diusia tersebut yaitu sebanyak kurang lebih 13 juta jiwa. Persentasi semakin menurun pada kelompok usia 16-18 (SMU/sederajat) tahun dan 19-24 tahun (Perguruan tinggi/Sederajat) yaitu masing-masing dengan 82,78% dari 12 juta jiwa dan 15,09% dari sekitar 24 juta jiwa. Berdasarkan angka-angka diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dari satu jenjang ke jenjang pendidikan lanjutan yang lebih tinggi, jumlah anak yang berpartisipasi dalam pendidikan terus mengalami penurunan. Tingginya tingkat angka partisipasi pada dua kelompok usia awal terbantu oleh wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan oleh pemerintah.

Melihat besarnya persentase APS pada kelompok umur 7-12 tahun yaitu sebesar 94,89% dari total 27 juta jiwa, prospectus demographic dividend yang akan dinikmati oleh Indonesia memang menjanjikan. Ditambah lagi, total populasi dari angkatan usia tersebut merupakan kelompok terbesar dibandingkan keempat kelompok usia diatas. Hal ini tentu saja memberikan harapan terjaminnya kualitas minimum tenaga kerja karena hampir semua pekerja di masa mendatang sudah memiliki bekal pendidikan cukup.

Namun, jika dilihat tren APS tahun 2011-2017, rata-rata terjadi penurunan angka partisipasi dari satu tingkat pendidikan ke pendidikan yang lebih tinggi. Sebagai contoh, pada tahun 2011 terdapat penurunan partisipasi sekolah sebesar 10% dari SD/sederajat ke SMP sederajat. Dari SMP/sederajat ke SMU/sederajat juga mengalami penurunan angka pastisipasi sebanyak 35%. Selanjutnya angka partisipasi menurun drastis pada lompatan pendidikan dari SMU/sederajat ke Perguruan tinggi yaitu 75%. Tren tersebut berulang setiap tahun hingga tahun 2017. Namun demikian, ada hal yang cukup memberi secercah harapan bagi negeri ini yaitu persentase APS di setiap kelompok umur/pendidikan ini mengalami tren peningkatan setiap tahunnya. Hal ini berarti kecepatan pertumbuhan partisipasi sekolah dengan pertumbuhan populasi di setiap kelompok umur terus meningkat meskipun gap penurunan partisipasi antar jenjang masih lebar.

Rasio Ketergantungan

Rasio ketergantungan/dependency ratio adalah perbandingan antara jumlah penduduk berumur usia non-produktif (0-14 dan diatas 65 tahun) dan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun). Dilansir dari data BPS yang diunggah pada website International Labour Organisation (ILO), rasio ketergantungan Indonesia berada pada angka 48% di tahun 2015. Angka ini mengalami perbaikan jika dibandingkan dengan situasi 10-20 tahun yang lalu saat persentasenya mencapai lebih dari 50%. ILO juga memproyeksikan bahwa rasio ini akan terus menurun hingga tahun 2030 dan rebound pada tahun-tahun berikutnya.

Sisi lain dari yang dapat ditarik dari data dan proyeksi tersebut yakni peningkatan jumlah lansia atau populasi penduduk non-produktif. Dari sumber data yang sama, dipaparkan bahwa proporsi dari populasi lansia dengan usia produktif terus meningkat dari 9% di tahun 2017, populasi lansia diproyeksikan meningkat hingga15,8% pada tahun 2035.

Fertility Rate

Fertility rate adalah jumlah anak rata-rata yang akan dilahirkan oleh seorang perempuan pada akhir masa reproduksinya apabila perempuan tersebut mengikuti pola fertilitas pada saat TFR dihitung. Angka ini sangat berguna untuk mengetahui pola dan proyeksi pertumbuhan penduduk. Dalam konteks bonus demografi, perhitungan ini dapat memberikan gambaran pada tahun berapa kira-kira ageing population atau situasi saat usia non-produktif lebih besar dari usia produktif terjadi. Dalam statistik World Bank, fertility rate Indonesia terus menurun dari 5,6% tahun 1960 menjadi 2,3% tahun 2015. Pada periode 1975-1995, Indonesia mengalami penurunan paling signifikan yaitu dari kisaran 5% ke 2%. Jika tren ini terus sesuai dengan tren historisnya, fertility rate akan terus menurun pada tahun-tahun berikutnya.

The Dividend

Bonus demografi memberi harapan besar pada pertumbuhan ekonomi. Banyaknya angkatan kerja akan mampu memperlebar cakupan ekonomi melalui supply dari tenaga kerja yang besar. Dalam rumus ekonomi, dikenal formula produksi sebagai berikut:

Y = A x Kα x Lβ

Dari formula tersebut, Y adalah total output, A adalah Total Factor Productivity (TFP)K adalah modal, dan L adalah tenaga kerja, sedangkan α dan β adalah bagian kontribusi untuk K dan L. Dengan asumsi sederhana dari formula ini, tenaga kerja yang melimpah tentu akan mempengaruhi Y atau total output dari sebuah produksi. Situasi inilah yang diharapkan dari bonus demografi disamping rendahnya ratio ketergantungan akan memberi implikasi ringannya beban pemerintah untuk ketersedian social safety net bagi usia non-produktif. Dengan begitu, pemerintah dapat mengalokasikan porsi anggaran yang lebih besar untuk hal yang produktif seperti investasi pada pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.

Investasi pada pendidikan, kesehatan dan infrastruktur perlu terus ditingkatkan mengingat Indonesia masih cukup tertinggal dibanding negera berkembang lainnya. Data hasil riset dari Programme for International Student Assesment (PISA) menunjukkan bahwa kualitas dari pelajar Indonesia untuk bidang science, reading dan mathematics masih berada dilevel rendah dibawah Thailand dan Vietnam sebagai peer countries, dalam masing-masing bidang (sesuai urutan) Indonesia meraih nilai 403, 397 dan 386. Nilai ini rata-rata tertinggal 10-30 pin dari Thailand dan 120-180 pin dari Vietnam. Realita ini cukup mengejutkan mengingat Vietnam misalnya, mengalokasikan 20% dari National Budget untuk pendidikan.

Formula ini juga memberikan isyarat bahwa bonus demografi ini tidak dapat dipetik dengan mudah. Komponen A atau total factor productivity ini menjadi penentunya. Besaran TFP ditentukan salah satunya dari tingkat teknologi yang digunakan sehingga alokasi modal dan tenaga kerja menjadi lebih efektif dan efisien. Di era global, derasnya arus investasi dalam bentuk FDI membawa derasnya arus masuknya teknologi ke Indonesia. Pada data terakhir tercatat pada Q2 (kuartal kedua) 2017, total FDI yang masuk ke Indonesia sebesar Rp170,9 triliun dengan pertumbuhan sebesar 12,7% (y-o-y).

Dalam konteks perkembangan teknologi, peningkatan arus investasi ini membuka peluang peningkatan adaptasi teknologi yang lebih maju. Ini disebabkan 1) investasi FDI biasanya membawa serta praktik teknologi yang dipakai perusahaan di home country, 2) imitating adalah langkah termudah dalam mengejar ketertinggalan perkembangan teknologi. Untuk itu, bonus demografi yang disimbolkan pada komponen L ini harus dibekali dengan kualitas yang mumpuni agar kelompok produktif ini memiliki comparative advantage dalam produktifitas pengoperasiannya dibanding negara lain.

Singkat kata, demographic dividend yang dimiliki Indonesia saat ini sangat menguntungkan jika disikapi dengan baik. Peningkatan angkatan kerja produktif harus dibarengi dengan peningkatan kualitas agar pertumbuhan ekonomi yang diraih dapat lebih besar. Selain itu, kondisi paska periode demographic dividend juga harus diperhatikan dengan mengeluarkan kebijakan yang tepat sedari sekarang. Universal health coverage  yang dikelola oleh BPJS kesehatan dan Employment Insurance dari BPJS Ketenagakerjaan perlu memandang pola pertumbuhan ini sebagai latar belakang penyusunan kebijakan jangka panjang yang berperan sebagai nation safety net paska demographic boom tersebut. (www.kemenkeu.go.id) *) Tulisan ini adalah pendapat pribadi

BERITA TERKAIT

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…