Gayus Sarankan Barnabas Suebu Ajukan PK

Gayus Sarankan Barnabas Suebu Ajukan PK

NERACA

Jakarta - Hakim Agung Prof Dr Gayus Lumbuun menyarankan mantan Gubernur Papua Barnabas Suebu mengajukan Peninjauan Kembali terhadap kasusnya yang dinilai sarat dengan opini publik dan kepentingan politik jangka pendek.

“Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) lebih dari satu kali tidak dilarang oleh Mahkamah Agung (MA) karena ketentuan itu senapas dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak membatasi upaya seseorang dalam mencari keadilan,” kata Gayus Lumbuun dalam diskusi terbatas soal hasil eksaminasi putusan Barnabas Suebu di Jakarta, Jumat (22/12).

Semangat Putusan MK No 34/PUU-XI/2013 tentang pengaturan PK yang lebih dari satu kali adalah tidak membatasi upaya seseorang untuk mencari keadilan."Hakim itu bukan wakil Tuhan, tetapi putusan yang adillah yang disebut sebagai wakil Tuhan, karenanya, jika ada putusan yang tidak adil, masih dapat diajukan PK ke MA lagi," tegas Gayus.

Dia menambahkan hakim sangat mungkin dipengaruhi oleh kekuasaan dan politik.

Diskusi terbatas yang diselenggarakan Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Indonesia (APPTHI) dengan tema "Memaknai Putusan Barnabas Suebu di Tengah Karut Marutnya Hukum," juga menghadirkan Dr Dillon (mantan anggota Komnas HAM dan Menteri Pertanian), Prof Dr Faisal Santiago (Direktur Program Universitas Borobudur) dengan moderator Dr Laksanto Utomo.

Menurut Gayus, setelah adanya Putuan MK, MA mengeluarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Batasan Aturan PK. Dalam Surat Edaran MA juga tidak membatasi PK hanya boleh satu kali. Karena itu, penasehat hukumnya bisa saja mengajukan PK lagi setelah adanya eksaminasi yang banyak menemukan kelemahan-kelemahan dalam Putusan Nomor 67/PId.Sus/TPK/2015/PN.JKT.PSt dan Putusan Pengadilan Tinggi No 01/Pid/TPK/2016/PT.DKI.

"Saya membaca putusan itu dengan seksama sebelum adanya eksaminasi. Kesan saya putusan Pengadilan Tinggi menguatkan putusan yang salah bahkan meningkatkan jumlah tahanannya dari 6,4 tahun menjadi 8 tahun," kata dia.

Dia menambahkan, putusan itu sama sekali tidak mempertimbangkan seorang Barnabas yang punya andil dalam penguatan pembangunan di Papua dan kemajuan NKRI.

Sementara itu, Faisal Santiago menambahkan, dari hasil eksaminasi putusan tersebut dapat disarankan kepada KPK sebagai lembaga independen yang mempunyai kewenangan melakukan penyidikan dan penuntutan atas tindak pidana korupsi agar mengevaluasi kinerja Jaksa Penuntut Umum (JPU).

JPU dalam menyusun surat dakwaan agar bekerja lebih profesional dan meningkatkan kapasitas keilmuan dan integritasnya."Saya membaca pertimbangan dalam putusan itu terasa kering, hakim kurang mampu menggali nilai-nilai hukum yang berlaku di masyarakat (the living law)," kata dia.

Faisal yang juga ketua Dewan Pembina APPTHI mengatakan, salah satu pertimbangan hakim memutus Barnabas Suebu adalah menghitung kerugian negara dari sumber yang kurang tepat, yakni saksi ahli hukum pidana."Setahu saya ahli pidana itu tidak diajari ilmu akuntansi secara mendalam, karena itu kurang tepat jika penentuan kerugian negara dari sumber yang tidak 'pas'," ujar dia.

Menjawab pertanyaan, Ketua APTHI Dr Laksanto Utomo mengatakan, sebagai salah satu dasar atau pertimbangan hukum bagi terpidana untuk mengajukan upaya hukum luar biasa kepada MA selain mengajukan PK juga bisa mengajukan grasi kepada Presiden Joko Widodo guna mendapatkan keadilan.

"Presiden Joko Widodo saya kira akan mempertimbangkan pengajuan itu karena secara nyata banyak kejanggalan dalam pertimbangan maupun putusan terkait Barnas Suebu," kata dia. 

Sebelumnya diberitakan, Hasil kajian Majelis Eksaminasi yang dibentuk oleh Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum seluruh Indonesia (APPTHI) menyebutkan bahwa Putusan Perkara Nomor 7/Pid.Sus/TPK/2015/PN.JKT.PST dan Putusan Perkara Nomor 01/PID/TPK/2016/PT.DKI terhadap dugaan korupsi yang dilakukan Barnabas Suebu lebih banyak dipengaruhi oleh opini publik.

“Bahwa opini politik cenderung berperan tinggi dalam pengambilan keputusan, namun tetaplah harus dibuktikan agar tidak hanya didasarkan pada prasangka,” kata anggota tim APPTHI Dr M. Syamsuddin, SH. M.Hum dalam pernyataan persnya, Jumat (8/12).

”Dalam putusan PT, majelis hakim telah menerapkan pertimbangan dengan prasangka dan bukan berbasiskan bukti tentang hubungan korupsi yang dilakukan oleh terdakwa dengan organisasi atau kelompok yang menuntut Kemerdekaan Papua,” jelas dia. Ant

 

BERITA TERKAIT

Kanwil Kemenkumham Sumsel Sosialisasikan Pendaftaran Merek Kolektif

NERACA Palembang - Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Sumatera Selatan menyosialisasikan pendaftaran merek kolektif yang merupakan…

Jokowi Apresiasi PPATK Atas Pengakuan Efektivitas APU PPT

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo mengapresiasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak…

KPK Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi di Pemprov Lampung

NERACA Bandarlampung - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung. "Kehadiran…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Kanwil Kemenkumham Sumsel Sosialisasikan Pendaftaran Merek Kolektif

NERACA Palembang - Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Sumatera Selatan menyosialisasikan pendaftaran merek kolektif yang merupakan…

Jokowi Apresiasi PPATK Atas Pengakuan Efektivitas APU PPT

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo mengapresiasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak…

KPK Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi di Pemprov Lampung

NERACA Bandarlampung - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung. "Kehadiran…