Keuntungan Ikut "PasFinal" di Era Keterbukaan Informasi

Oleh Arya Marantika, mahasiswa Tugas Belajar PKN STAN
Pemerintah bersama DPR RI pada 23 Agustus 2017 lalu mengesahkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang. Melalui peraturan tersebut pemerintah akan makin mudah memperoleh akses informasi perbankan sehingga potensi penambahan penerimaan negara khususnya dari sektor perpajakan akan semakin meningkat.
Sebelum Perpu ini ditetapkan, sebenarnya pemerintah sudah memiliki kewenangan untuk mengakses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan kepada Bank melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (Darmin Nasution, 2017). Proses mendapatkan izin kepada OJK kerap membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Akibatnya, pemeriksaan pajak menjadi lebih lama bahkan melewati batas waktu pemeriksaan suatu perkara.  
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan negara-negara anggota G20 termasuk Indonesia sepakat untuk menjalankan kerja sama pertukaran informasi perpajakan otomatis Automatic Exchange of Information (AEoI) paling lambat September 2018 (Liputan6, 2017). Upaya tersebut dilakukan guna mencegah berbagai praktik penghindaran pajak di dunia. Pada Juni 2015, Indonesia telah menandatangani Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA), perjanjian ini bertujuan memberikan fasilitas pertukaran informasi antar anggota Global Forum.[1] Kerja sama pertukaran informasi penting bagi tercapainya aturan dan implementasi perpajakan yang adil antarnegara, tidak ada lagi tempat aman untuk para penghindar pajak di dunia (Sri Mulyani, 2017). Para Menkeu dan Gubernur Bank Sentral G20 secara bulat menyepakati agar program AEoI sepenuhnya diimplementasi mulai September 2017 dan selambat-lambatnya pada September 2018. Itu adalah bagian dari pelaksanaan komitmen kita di dunia internasional, karena kita akan comply dalam keterbukaan informasi (Darmin Nasution, 2017).
OJK menyiapkan sejumlah peraturan sektor jasa keuangan untuk mendukung pelaksanaan AEoI yang akan mulai di implementasikan pada September 2018.[2] JK juga mulai menyiapkan aturan terkait telah disahkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2017 menjadi Undang-undang Nomor 9 Tahun 2017. OJK sebagai otoritas lembaga jasa keuangan, mendukung implementasi AEoI dan Keterbukaan Informasi sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan saat ini (Muliaman D. Hadad, 2017). OJK akan melakukan revisi atas Undang-undang Perbankan dan Undang-undang Pasar Modal khusus mengenai kerahasiaan bank dan kerahasian rekening nasabah di pasar modal dalam menghadapi penerapan AEoI dan Keterbukaan Informasi untuk Kepentingan Perpajakan.
Pemerintah melalui Menteri Keuangan baru-baru ini juga mengeluarkan peraturan terbaru terkait pelaksanaan pasca Amnesti Pajak yang telah dilaksanakan pada Juli 2016 hingga Maret 2017. Peraturan yang diterbitkan terkait dengan pemberian insentif atau ‘pengampunan’ bagi Wajib Pajak, baik yang mengikuti program Amnesti Pajak maupun yang tidak (Detik Finance, 2017). Peraturan terbaru tersebut yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 165/PMK.03/2017 tentang Perubahan Kedua atas PMK Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan
Melalui PMK ini pemerintah memberikan kesempatan dan kepastian hukum kepada Wajib Pajak yang memiliki harta yang belum dilaporkan baik dalam SPT Tahunan 2015 maupun dalam Surat Penyertaan Harta, untuk secara sukarela mengungkapkan sendiri hartanya. Caranya dengan membayar pajak penghasilan bersifat final sesuai tarif dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) yang Bersifat Final atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan Dalam Rangka Melaksanakan Ketentuan Pasal 13 dan Pasal 18 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Program yang diberi nama Pengungkapan Aset Sukarela dengan Tarif Final (PASFINAL) (Ken Dwijugiasteadi, 2017) ini memberikan keleluasaan bagi Wajib Pajak dapat melaporkan asetnya sepanjang DJP belum menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak. Dengan demikian, PASFINAL ini tidak memiliki batasan waktu atau kapanpun Wajib Pajak dapat mengajukan PASFINAL ini sepanjang belum diperiksa oleh petugas pajak.
Keuntungan yang diperoleh Wajib Pajak yang melakukan PASFINAL ini ialah tidak ada pengenaan saksi Pasal 18 UU Pengampunan Pajak yaitu dihapusnya sanksi 200% bagi Wajib Pajak yang ikut Amnesti Pajak dan 2% perbulan bagi Wajib Pajak yang tidak ikut Amnesti Pajak. PASFINAL bukanlah fasilitas untuk memberikan ampunan bagi Wajib Pajak, namun lebih kepada memberi kesempatan, keadilan, pelayanan, dan kemudahan kepada Wajib Pajak yang pada saat Amnesti Pajak lalu mengalami kendala agar tidak dikenakan sanksi Pasal 18 UU Pengampunan Pajak sebelum pemeriksa pajak terjun mengungkap harta Wajib Pajak.
Adapun cara yang dapat dilakukan Wajib Pajak untuk mengikuti Program PASFINAL ini dengan mengungkapkan harta yang diperoleh oleh Wajib Pajak (sebelum 1 Januari 2016 dan belum tercantum dalam SPT Tahunan PPh per 31 Desember 2015) yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan Harta dalam Program Pengampunan Pajak serta harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh. Atas harta yang diungkapkan tersebut dikenakan tarif PPH Final sesuai PP Nomor 36 tahun 2017 yaitu sebesar 12,5% untuk Wajib Pajak Tertentu, 25% untuk Wajib Pajak Badan, dan 30% untuk Wajib Pajak Orang Pribadi.  
Lalu apakah program ini bersifat wajib atau ada konsekuensi yang diterima kalau tidak mengikuti program PASFINAL tersebut? Pada dasarnya program itu bersifat tidak wajib atau hanya bersifat sukarela dari Wajib Pajak. Namun demikian, berlakunya AEoI dan disahkannya Perpu Nomor 1 tahun 2017 menjadi UU berarti seluruh data keuangan serta data perbankan Wajib Pajak Indonesia di dalam maupun luar negeri akan diperoleh petugas pajak dengan mudah dan akurat. Jika Wajib Pajak yang telah mengikuti amnesti pajak tetapi belum seluruh hartanya diungkapkan dan Wajib Pajak yang tidak mengikuti Amnesti Pajak pada saat dilakukan pemeriksaan oleh petugas pajak ditemukan harta atau penghasilan lainnya, akan dikenakan sanksi sesuai UU Pengampunan Pajak.
Jika Wajib Pajak ingin mengikuti Program PASFINAL ini bagaimanakah penghitungannya dan adakah sanksi apabila Wajib Pajak mengikuti Program PASFINAL ini?
Contoh:
Tuan Bagus merupakan karyawan swasta dan sebagai tambahan penghasilannya ia juga melakukan usaha berdagang kue. Pada tahun 2015 Tuan BAGUS menerima penghasilan berupa:
Gaji sebesar Rp150 juta yang dikenai PPh yang bersifat tidak final;
Penghasilan atas usaha kue sebesar Rp640 juta yang dikenai PPh bersifat Final;
Bunga Deposito sebesar Rp10 Juta yang dikenai PPh bersifat Final;
Sebenarnya Tuan Bagus ingin mengikuti Program Pengampunan Pajak pada Maret 2017 namun lupa dan akhirnya terlewat.
Penghitungan:
Penghasilan bruto yang  bersumber selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebesar Rp150 juta + Rp10 Juta = Rp160 Juta (tidak melebihi batasan Rp632 juta berdasarkan Wajib Pajak Tertentu menurut PP 36/2017);
Penghasilan bruto yang bersumber dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebesar Rp 640 juta;
Total penghasilan bruto sebesar Rp160 Juta + Rp640 Juta = Rp800 Juta (tidak melebihi batasan Rp4,8 miliar) maka tarif yang berlaku adalah 12,5%
Pajak yang harus dibayar = Tarif * Dasar Pengenaan Pajak
  = 12,5% * Rp. 800 Juta = Rp. 100 Juta bersifat Final (dan tanpa khawatir atas sanksi 2% per bulan)
Wajib Pajak hendaknya memanfaatkan kesempatan PASFINAL ini dengan sebaik-baiknya sebelum pemeriksa pajak mengungkapkan harta serta memberlakukan sanksi Pasal 18 UU Pengampunan Pajak. Bila itu terjadi, pastinya sudah tidak mungkin dapat dihindari lagi, terlebih lagi Indonesia telah mendapatkan data akses perbankan akibat telah disahkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2017 menjadi undang-undang. Indonesia juga mendapat informasi dari seluruh dunia melalui kesepakatan kerja sama pertukaran informasi perpajakan otomatis AEoI.
 
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi 

Oleh: Arya Marantika, Mahasiswa PKN STAN *)

Pemerintah bersama DPR RI pada 23 Agustus 2017 lalu mengesahkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang. Melalui peraturan tersebut pemerintah akan makin mudah memperoleh akses informasi perbankan sehingga potensi penambahan penerimaan negara khususnya dari sektor perpajakan akan semakin meningkat.

Sebelum Perpu ini ditetapkan, sebenarnya pemerintah sudah memiliki kewenangan untuk mengakses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan kepada Bank melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (Darmin Nasution, 2017). Proses mendapatkan izin kepada OJK kerap membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Akibatnya, pemeriksaan pajak menjadi lebih lama bahkan melewati batas waktu pemeriksaan suatu perkara.  

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan negara-negara anggota G20 termasuk Indonesia sepakat untuk menjalankan kerja sama pertukaran informasi perpajakan otomatis Automatic Exchange of Information (AEoI) paling lambat September 2018 (Liputan6, 2017). Upaya tersebut dilakukan guna mencegah berbagai praktik penghindaran pajak di dunia. Pada Juni 2015, Indonesia telah menandatangani Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA), perjanjian ini bertujuan memberikan fasilitas pertukaran informasi antar anggota Global Forum.[1] Kerja sama pertukaran informasi penting bagi tercapainya aturan dan implementasi perpajakan yang adil antarnegara, tidak ada lagi tempat aman untuk para penghindar pajak di dunia (Sri Mulyani, 2017). Para Menkeu dan Gubernur Bank Sentral G20 secara bulat menyepakati agar program AEoI sepenuhnya diimplementasi mulai September 2017 dan selambat-lambatnya pada September 2018. Itu adalah bagian dari pelaksanaan komitmen kita di dunia internasional, karena kita akan comply dalam keterbukaan informasi (Darmin Nasution, 2017).

OJK menyiapkan sejumlah peraturan sektor jasa keuangan untuk mendukung pelaksanaan AEoI yang akan mulai di implementasikan pada September 2018.[2] JK juga mulai menyiapkan aturan terkait telah disahkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2017 menjadi Undang-undang Nomor 9 Tahun 2017. OJK sebagai otoritas lembaga jasa keuangan, mendukung implementasi AEoI dan Keterbukaan Informasi sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan saat ini (Muliaman D. Hadad, 2017). OJK akan melakukan revisi atas Undang-undang Perbankan dan Undang-undang Pasar Modal khusus mengenai kerahasiaan bank dan kerahasian rekening nasabah di pasar modal dalam menghadapi penerapan AEoI dan Keterbukaan Informasi untuk Kepentingan Perpajakan.

Pemerintah melalui Menteri Keuangan baru-baru ini juga mengeluarkan peraturan terbaru terkait pelaksanaan pasca Amnesti Pajak yang telah dilaksanakan pada Juli 2016 hingga Maret 2017. Peraturan yang diterbitkan terkait dengan pemberian insentif atau ‘pengampunan’ bagi Wajib Pajak, baik yang mengikuti program Amnesti Pajak maupun yang tidak (Detik Finance, 2017). Peraturan terbaru tersebut yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 165/PMK.03/2017 tentang Perubahan Kedua atas PMK Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan

Melalui PMK ini pemerintah memberikan kesempatan dan kepastian hukum kepada Wajib Pajak yang memiliki harta yang belum dilaporkan baik dalam SPT Tahunan 2015 maupun dalam Surat Penyertaan Harta, untuk secara sukarela mengungkapkan sendiri hartanya. Caranya dengan membayar pajak penghasilan bersifat final sesuai tarif dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) yang Bersifat Final atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan Dalam Rangka Melaksanakan Ketentuan Pasal 13 dan Pasal 18 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

Program yang diberi nama Pengungkapan Aset Sukarela dengan Tarif Final (PasFinal) (Ken Dwijugiasteadi, 2017) ini memberikan keleluasaan bagi Wajib Pajak dapat melaporkan asetnya sepanjang DJP belum menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak. Dengan demikian, PasFinal ini tidak memiliki batasan waktu atau kapanpun Wajib Pajak dapat mengajukan PasFinal ini sepanjang belum diperiksa oleh petugas pajak.

Keuntungan yang diperoleh Wajib Pajak yang melakukan PasFinal ini ialah tidak ada pengenaan saksi Pasal 18 UU Pengampunan Pajak yaitu dihapusnya sanksi 200% bagi Wajib Pajak yang ikut Amnesti Pajak dan 2% per bulan bagi Wajib Pajak yang tidak ikut Amnesti Pajak. PasFinal bukanlah fasilitas untuk memberikan ampunan bagi Wajib Pajak, namun lebih kepada memberi kesempatan, keadilan, pelayanan, dan kemudahan kepada Wajib Pajak yang pada saat Amnesti Pajak lalu mengalami kendala agar tidak dikenakan sanksi Pasal 18 UU Pengampunan Pajak sebelum pemeriksa pajak terjun mengungkap harta Wajib Pajak.

Adapun cara yang dapat dilakukan Wajib Pajak untuk mengikuti Program PasFinal ini dengan mengungkapkan harta yang diperoleh oleh Wajib Pajak (sebelum 1 Januari 2016 dan belum tercantum dalam SPT Tahunan PPh per 31 Desember 2015) yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan Harta dalam Program Pengampunan Pajak serta harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh. Atas harta yang diungkapkan tersebut dikenakan tarif PPH Final sesuai PP Nomor 36 tahun 2017 yaitu sebesar 12,5% untuk Wajib Pajak Tertentu, 25% untuk Wajib Pajak Badan, dan 30% untuk Wajib Pajak Orang Pribadi.  

Lalu apakah program ini bersifat wajib atau ada konsekuensi yang diterima kalau tidak mengikuti program PasFinal tersebut? Pada dasarnya program itu bersifat tidak wajib atau hanya bersifat sukarela dari Wajib Pajak. Namun demikian, berlakunya AEoI dan disahkannya Perpu Nomor 1 tahun 2017 menjadi UU berarti seluruh data keuangan serta data perbankan Wajib Pajak Indonesia di dalam maupun luar negeri akan diperoleh petugas pajak dengan mudah dan akurat. Jika Wajib Pajak yang telah mengikuti amnesti pajak tetapi belum seluruh hartanya diungkapkan dan Wajib Pajak yang tidak mengikuti Amnesti Pajak pada saat dilakukan pemeriksaan oleh petugas pajak ditemukan harta atau penghasilan lainnya, akan dikenakan sanksi sesuai UU Pengampunan Pajak.

Jika Wajib Pajak ingin mengikuti Program PasFinal ini bagaimanakah penghitungannya dan adakah sanksi apabila Wajib Pajak mengikuti Program PasFinal ini?

Contoh:

Tuan Bagus merupakan karyawan swasta dan sebagai tambahan penghasilannya ia juga melakukan usaha berdagang kue. Pada tahun 2015 Tuan BAGUS menerima penghasilan berupa:

  1. Gaji sebesar Rp150 juta yang dikenai PPh yang bersifat tidak final;
  2. Penghasilan atas usaha kue sebesar Rp640 juta yang dikenai PPh bersifat Final;
  3. Bunga Deposito sebesar Rp10 Juta yang dikenai PPh bersifat Final;
  4. Sebenarnya Tuan Bagus ingin mengikuti Program Pengampunan Pajak pada Maret 2017 namun lupa dan akhirnya terlewat.

Penghitungan:

  • Penghasilan bruto yang  bersumber selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebesar Rp150 juta + Rp10 Juta = Rp160 Juta (tidak melebihi batasan Rp632 juta berdasarkan Wajib Pajak Tertentu menurut PP 36/2017);
  • Penghasilan bruto yang bersumber dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebesar Rp 640 juta;
  • Total penghasilan bruto sebesar Rp160 Juta + Rp640 Juta = Rp800 Juta (tidak melebihi batasan Rp4,8 miliar) maka tarif yang berlaku adalah 12,5%
  • Pajak yang harus dibayar = Tarif * Dasar Pengenaan Pajak

  = 12,5% * Rp. 800 Juta = Rp. 100 Juta bersifat Final (dan tanpa khawatir atas sanksi 2% per bulan)

Wajib Pajak hendaknya memanfaatkan kesempatan PASFINAL ini dengan sebaik-baiknya sebelum pemeriksa pajak mengungkapkan harta serta memberlakukan sanksi Pasal 18 UU Pengampunan Pajak. Bila itu terjadi, pastinya sudah tidak mungkin dapat dihindari lagi, terlebih lagi Indonesia telah mendapatkan data akses perbankan akibat telah disahkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2017 menjadi undang-undang. Indonesia juga mendapat informasi dari seluruh dunia melalui kesepakatan kerja sama pertukaran informasi perpajakan otomatis AEoI. (www.kemenkeu.go.id) *) Tulisan ini adalah pendapat pribadi 

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…