Citra DPR Terpuruk?

Rasanya sulit kita untuk tidak menilai citra dan reputasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik secara kelembagaan maupun para anggotanya saat ini terpuruk. Pasalnya, para anggota DPR terpilih lewat pemilihan legislatif lima tahunan dan mewakili aspirasinya daerah pilihannya. Namun belakangan ini ada sejumlah anggota dewan yang berperilaku korup, dan bermanuver tercela telah membuat hal ini menjadi tontonan rakyat hampir setiap waktu.

Wajah DPR periode 2014 – 2019 dapat dikatakan yang terendah dalam sejarah “wakil-wakil rakyat” di tanah air, utamanya pascareformasi. Marwah DPR jatuh, sejatuh-jatuhnya. Bukan jatuh karena pertentangan politik seperti di masa silam. Mereka rusak, karena image kasus korupsi yang menyeret-nyeret para oknum anggota dewan yang terhormat. Tragisnya, kerusakan itu sudah dianggap tak rusak lagi. Bahkan, saat pucuk pimpinannya tersandung kasus hukum dan etik, mereka bergeming seolah berlaku peribahasa: “anjing menggonggong, kafilah berlalu”.

Kita tentu tidak heran, jika hasil rilis sejumlah lembaga survei seakan menjustifikasi anjloknya citra DPR di mata publik. Rilis Transparency International Indonesia (TII), misalnya, menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup. Tingkat dukungan publik atas DPR menurun – akibat kasus-kasus korupsi anggota DPR, menurut survei Centre For Strategic and International Studies (CSIS). Senada dengan itu, lembaga Polling Center dan lembaga Indonesia Coruption Watch (ICW) juga melapor bahwa tingkat kepercayaan publik atas DPR menurun (akibat polemik Hak Angket atas KPK).

Tidak hanya itu.  Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD dan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyebut DPR periode sekarang adalah terburuk sejak reformasi 1999. Pun, jajak pendapat dan pemberitaan sebagian besar media menguatkan catatan hitam para penghuni rumah rakyat itu. Ada beberapa hal yang membuat rusaknya Senayan, yang menyebabkan institusi DPR periode sekarang paling buruk.

Pertama, wakil rakyat untuk pertama kalinya dalam sejarah mempunyai seorang ketua dewan yang selain bermasalah dengan hukum, juga tak pandai mematut diri: hadir pada kampanye presiden AS Donald Trump, kasus ‘papa minta saham’, hingga merebut kembali kursi ketua DPR dari koleganya. Kini, status tersangka yang disandang Ketua DPR Setya Novanto dalam korupsi e-KTP yang disertai sejumlah drama menghebohkan: mangkir, sakit, kecelakaan, buron, dan penahanan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah menghancurkan wibawa DPR.

Kedua, rakyat dibuat tidak berdaya dengan rusaknya institusi yang sejatinya menjadi corong kehendak rakyat tentang bagaimana negara ini harus dikelola. Karena DPR tunarungu, tunanetra, dan tunamoral akibat kooptasi rezim partai politik dalam kartel kekuasaan dan perburuan rente, rakyat hanya bisa berteriak-teriak di pinggiran media sosial. Mereka bergerak membawa kritik lewat “jempol” dan lorong-lorong kreatifitas. Lahirnya meme, tagar, ataupun ungkapan satir selain menggambarkan realitas keresahan masyarakat, pun menandakan malfungsinya jalur-jalur resmi ketatanegaraan, seperti DPR.

Ketiga, kinerja legislasi DPR tergolong amat rendah. Dari target program legislasi nasional (prolegnas) jangka menengah periode 2014-2019 sebanyak 183 rancangan undang-undang (RUU), DPR RI telah menyelesaikan 14 RUU (di luar RUU kumulatif terbuka), sampai dengan 2016. Mengacu pada jumlah tersebut, artinya ada 169 RUU yang perlu diselesaikan dari 2017 hingga 2019 mendatang. Sementara dari target 49 RUU dalam Prolegnas Prioritas 2017, DPR baru menyelesaikan 4 RUU secara kumulatif terbuka.

Keempat, sejak awal, DPR periode 2014 – 2019 diwarnai manuver-manuver politik elite yang tak bersentuhan dengan urusan rakyat. Ketika pemerintah mulai bekerja, wakil rakyat di DPR masih sibuk berebut posisi di komisi-komisi dan alat kelengkapan DPR lainnya. Mereka terbelah dan saling jegal antara kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP).

Melihat marwah DPR yang amat terpuruk saat ini, bahkan kasus Novanto yang berakhir dengan pergantian ketua DPR, sepatutnya dijadikan momentum perbaikan. Pengganti Novanto harus dijadikan “proyek bersama”, khususnya bagi Golkar, untuk menyodorkan sosok yang bersih dan tidak mewakili mata rantai lingkaran Novanto. Anggota dewan saatnya segera kembali mendekat kepada rakyat dengan perilaku terpuji dan bukti kinerja riil.

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…