WASPADAI IMPOR BARANG KONSUMSI TERUS MENINGKAT - Bappenas: Transaksi Belanja Online Mulai Serius

 

Jakarta-Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Prof. Dr. Bambang Brodjonegoro menilai pergeseran belanja masyarakat dari ritel konvensional ke online saat ini sudah semakin serius. Sayangnya, Indonesia belum mampu mendeteksi seluruh kegiatan transaksi belanja online. "Meskipun porsinya belum terlalu besar, pengalihan dari belanja ritel menjadi online sudah mulai serius," ujarnya di Jakarta, Jumat (15/12).

NERACA

Menurut Bambang, banyak pihak berpendapat bahwa transaksi dari bisnis online (e-commerce) masih kecil terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dari data sebelumnya, transaksi ‎bisnis online hanya sekitar 1-2% dari PDB Indonesia.

"Yang orang ributkan porsinya masih kecil, itu kan yang tercatat. Yang belum tercatat porsi belanja online yang tidak dilakukan melalui e-commerce, misalnya taruh promosi produk di Instagram, langsung ada transaksi, itu yang masih sulit terdeteksi," ujarnya.

Bambang mengatakan, pemerintah dan seluruh ‎pihak terkait harus menguatkan data kegiatan dari bisnis online. "Bukaan menganggap online akan menggantikan segalanya, tapi di belahan dunia lainnya, kita melihat satu persatu ritel harus menyesuaikan dengan kegiatan online terkait belanja," ujarnya.

Tidak hanya itu. Kepala Bappenas juga memperhatikan kecenderungan impor barang konsumsi belakangan ini terus meningkat, ketimbang impor barang modal dan bahan baku. Indikasi kenaikan impor barang konsumsi salah satunya, tingginya minat masyarakat Indonesia membeli produk impor langsung via online.

Maraknya belanja online juga terlihat meningkatnya angka total belanja iklan dari sektor online ticketing yang menembus Rp 1,17 triliun selama periode Januari-November 2017, atau tumbuh 30,18% dari periode yang sama tahun lalu,

Kenaikan belanja iklan dari sektor online ticketing atau tiket online itu menunjukkan semakin banyaknya penyedia jasa online yang berbanding lurus dengan meningkatnya kebiasaan masyarakat untuk membeli tiket secara online. Selain itu, gaya hidup yang cenderung serba internet kiat merambah semua aspek kebutuhan dan keperluan seseorang, tidak terkecuali ketika merencanakan liburan.

Masyarakat tidak lagi perlu antre dan pergi ke stasiun, bandara, terminal dan pelabuhan. Semua tiket bisa didapatkan secara online. "Banyaknya liburan, baik karena gaya hidup milenial, maupun program destinasi unggulan, mendorong publik untuk rela mengeluarkan biaya tiket liburan daripada kebutuhan sekunder lainnya," ujar Sapto Anggor dari Adstensity dalam keterangan tertulisnya, pekan lalu.

Platform aplikasi e-commerce berbasis tiket memanfaatkan momentum dengan optimalkan kebutuhan traveling dan akomodasi.

Tim Adstensity mencatat, sejumlah titik iklan yang ada di televisi periode Januari-November 2017 tercatat ada 49.790 titik iklan online ticketing pada 2017. Angka itu naik 27,3 % jika dibandingkan dengan titik iklan online ticketing periode Januari-November 2016 yang berada di 36.196 titik iklan.

Hasil monitoring iklan televisi Adstensity juga mencatat ada 12 merek yang terlihat mengiklankan produk di televisi selama Januari-November 2017. Traveloka mencatatkan posisi pertama untuk belanja iklan dengan total belanja iklan sebesar Rp 794,05 miliar. Jumlah itu mencakup sekitar 67,81% dari total belanja iklan televisi dari para pebisnis online ticketing.

Kemudian Agoda berada di posisi kedua dengan belanja iklan Rp 155 miliar. Ketiga, Misteraladin.com dengan total belanja iklan Rp 105,17 miliar. Selanjutnya Tiket.com dan Pegipegi.com yang masing-masing dengan total belanja iklan Rp 39,34 miliar dan Rp 39,14 miliar.

Untuk titik iklan, Traveloka tetap masih memimpin jauh di angka 37.544 titik iklan. Pesaingnya Agoda, Misteraladin.com, Pegipegi.com, Tiket.com masing-masing 4.865 titik iklan, 2.574 titik iklan, 2.137 titik iklan dan 1.269 titik iklan. Traveloka kuasai 75,4 persen dari keseluruhan titik iklan online ticketing di televisi mulai Januari-November 2017.

Pendataan Transaksi e-Commerce

Pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) berencana mengumpulkan data perdagangan elektronik (e-commerce) untuk menjawab isu pergeseran konsumsi mulai Januari 2018. Hasil data tersebut akan diumumkan pada Februari 2018.   

Menurut Kepala BPS Kecuk Suhariyanto, pengumpulan data perdagangan elektronik sudah sesuai dengan Undang-Undang (UU) No 16 Tahun 1997 tentang Statistik. Hal ini juga merupakan upaya keseriusan pemerintah yang dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 74 Tahun 2017 tentang Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik atau Road Map e-commerce 2017-2019.

"Kami akan merekam data transaksi nilai dan volume e-commerce, penjual atau merchant, pembeli, berapa investasinya, metode pembayaran, tenaga kerja, dan teknologi," ujarnya dalam acara Sosialisasi Pengumpulan Data E-commerce di Jakarta, Jumat (15/12).  

Adapun pengumpulan data akan dilakukan BPS dengan melibatkan seluruh anggota Indonesian E-Commerce Association (idEA) plus non-anggota berdasarkan model bisnis marketplace dan ritel elektronik (e-ritel), travel, transportasi, logistik, pembayaran, dan lainnya. "Kami akan mulai mengumpulkan data minggu I-II Januari 2018 dengan data yang dikumpulkan periode 2015-2016 secara tiga bulanan, dan 2017 bulanan," ujarnya.

Menurut dia, alasan pemilihan waktu tersebut agar transaksi Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2017 dapat terdata. Data yang ada akan dikumpulkan, diolah, dan dianalisis langsung oleh BPS. "Sementara publikasi data ditargetkan akan dilakukan pada Februari 2018," ujarnya.

Kecuk menyatakan, data yang disampaikan pelaku usaha e-commerce dijamin kerahasiaannya oleh BPS. "Kami akan menjamin kerahasiannya karena BPS tidak akan mengeluarkan data individu dari konsumen data,” ujarnya.  

Pada acara yang sama, Pelaksana Tugas Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Bambang Adi Winarso mengatakan, pemerintah memerlukan basis data akurat agar dapat membuat kebijakan dan dukungan yang tepat sasaran. "Kemarin ribut-ribut soal daya beli, tapi kami tidak punya datanya. Perdagangan elektronik padahal sudah berjalan, tapi tidak terekam dengan jelas," ujarnya.

Indonesia, sambung dia, tengah menghadapi sebuah tantangan di era digital ekonomi. Perkembangan teknologi saat ini sudah luar biasa pesat.  "Nah kita tergopoh-gopoh menghadapinya karena banyak hal yang harus direspons supaya kami bisa melahirkan kebijakan yang bukan menghambat tapi mendorong," ujarnya.  

Namun di sisi lain, Asosiasi E-commerce Indonesia (Indonesian E-Commerce Association-idEA) merasa khawatir pendataan BPS ini dapat mengganggu kinerja pelaku usaha bisnis online.

Menurut Ketua Bidang Ekonomi dan Bisnis idEA Ignatius Untung, idEA mendorong 320 anggotanya untuk memberikan data transaksi penjualan, termasuk identitas perusahaan kepada BPS. Pihaknya akan menjembatani antara pelaku usaha dengan BPS. "Kami membantu komunikasi supaya BPS bisa memperoleh data dari pelaku e-commerce. Nilai dan volume transaksi, metode pembayaran, merchant atau penjual, dan data detail per individu yang akan diserahkan ke BPS. So far sih menanggapi positif," ujarnya.

Dia menuturkan, idEA akan menjelaskan kepada pelaku usaha e-commerce mengenai manfaat dari pengumpulan data tersebut, salah satunya mengenai kinerja perusahaan e-commerce. Artinya pelaku usaha dapat mengetahui pertumbuhan perusahaan baik secara bulanan maupun tahunan.

"Kalau ada yang tidak mau memberikan data ke BPS, kami coba jelaskan manfaat dan tujuan pengumpulan data tersebut. Karena kami pun sebagai asosiasi tidak akan memegang data player, semua langsung ke BPS," ujarnya.

Menurut Untung, ada beberapa alasan ketakutan pelaku usaha e-commerce enggan memberikan data ke BPS maupun membukanya ke publik. Pertama, karena data tersebut bersifat pribadi. Artinya, perusahaan menganggap bahwa tidak wajib memberikan data karena belum menjadi perusahaan terbuka. "Kedua, kalau mereka buka datanya, mereka takut tidak bisa mencari pendanaan dari investor. Ketiga, takut soal pajak. Datanya takut sampai ke Ditjen Pajak," ujarnya.

Padahal, dia menerangkan, BPS terikat aturan untuk menjaga kerahasiaan data responden atau individu. Untung bilang, BPS tidak akan memberikan data individu kepada siapapun. "Saya sudah bilang data individu sampai menteri pun tidak dikasih. Jadi tidak ada alasan pelaku usaha e-commerce tidak mau memberikan data ke BPS, karena ini sama sekali tidak akan ke Ditjen Pajak," ujarnya.

Sejauh ini dalam proses pengumpulan data bisnis online di Indonesia, Untung mengaku, baru bersifat sukarela. Dengan kata lain, pelaku usaha yang enggan memberikan data ke BPS, tidak dikenakan sanksi. "Sekarang masih voluntary, tidak dikenakan sanksi karena sifatnya tidak bisa memaksa. Tapi kalau tidak mau ngasih data, jangan minta benefit dari data ini," ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…