Program Mobnas Harus Dilaksanakan Bertahap - Minim Perhitungan, Mobnas Bakal Tergilas Merk Besar

NERACA

Jakarta – Perjalanan Indonesia untuk mewujudkan impian mempunyai mobil nasional (mobnas) harus dilaksanakan secara bertahap. Pasalnya kalau dilaksanakan secara terburu-buru dan emosional, apalagi minim perhitungan dan langsung masuk di sektor besar, maka embrio mobnas dipastikan bakal tergilas oleh merk besar atau Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM) yang sudah ada.

Oleh karena itu, jelas Menteri Perindustrian MS Hidayat, untuk tahap awal mobil nasional (mobnas) sebaiknya berkapasitas 700cc karena merupakan pilihan yang paling baik dan memiliki pasar sendiri. "Untuk mobnas, sebaiknya berkapasitas 700cc dan secara bertahap bisa dinaikkan, karena apabila langsung memproduksi mobil dengan kapasitas 1500cc kita langsung berhadapan dengan semua merek mobil terkenal di dunia," kata Hidayat usai melakukan rapat kerja dengan Anggota DPR Komisi VI di Jakarta, Selasa (31/1).

Menperin mengatakan, dengan memproduksi mobil dengan kapasitas 700cc merupakan salah satu strategi awal agar tidak kalah bersaing dengan merk mobil dunia yang telah memiliki pengalaman berpuluh-puluh tahun dan menjaga kelangsungan produksi mobnas itu sendiri. "Apabila keinginan rakyat adalah untuk membuat mobil nasional bisa kita mulai, namun harus realistis agar tidak kalah bersaing," tambah Hidayat.

Dari 700 Cc

Itulah sebabnya, Hidayat juga mengatakan bahwa mobil nasional sebaiknya dimulai secara bertahap, dari 700 cc ke 1000cc dan untuk nantinya bisa ke 1500 cc. Industri mobil merupakan industri yang padat modal dan teknologi yang terkait dengan pasar global.

Sementara menanggapi pertanyaan seputar pengenaan tarif bea masuk sebesar 10% untuk mesin utama (main engine) bagi produsen otomotif dalam negeri, Hidayat mengatakan bahwa hal tersebut telah sesuai dengan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia 2012. "Untuk tarif bea masuk mesin utama secara utuh sebesar 10%, namun apabila untuk pasokan dan dirakit di Indonesia dikenakan bea masuk 2,5%, hal tersebut dilakukan agar industri rakitan dalam negeri bisa tumbuh," ujar Hidayat.

Dia mengatakan bahwa apabila mesin utama tidak dikenakan bea impor sebesar sepuluh persen, maka yang akan diuntungkan adalah prinsipal industri mereka, sedangkan industri di Indonesia tidak akan berkembang. "Nantinya, kita harap bisa menciptakan sendiri bukan hanya merakit saja, karena Indonesia mempunyai kemampuan untuk bersaing dengan Thailand dan menjadi pusat industri," katanya.

Menurut mantan ketua Kadin ini, industri kendaraan bermotor merupakan industri yang padat modal, padat teknologi, dan sangat terkait dengan pasar global, sehingga pengembangan Esemka sebagai mobil nasional memiliki peluang dan tantangan yang cukup besar. "Baik itu dari dalam maupun luar negeri. Pasar Indonesia yang sangat besar akan menjadi peluang bagi pertumbuhan mobil nasional. Apalagi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan meningkatnya kelas menengah membuat banyak peralihan dari sepeda motor ke mobil. Tentu saja, pembangunan Esemka sebagai mobil nasional akan disambut baik,” urainya.

Kendala Mobnas

Semangat nasionalisme yang sedang tumbuh dan telah lamanya penantian masyarakat terhadap mobil nasional akan menjadi sisi positif pembanguan proyek mobil murah ini. Kondisi ekonomi global yang dibayang-bayangi krisis juga menjadi peluang dalam menciptakan pasar melalui produk nasional.

Meski demikian, Hidayat mencatat sejumlah kendala pembangunan mobil nasional. Salah satunya adanya keterbatasan rantai pasokan bahan, khusus dari industri komponen nasional. "Rantai pasokan yang ada umumnya dari usaha kecil dan menengah, sehingga urusan kualitas akan menjadi hambatan utama," bebernya.

Karena alasan kualitas itu, lanjut Hidayat, persyaratan teknis terkait regulasi keselamatan bisa menjadi kendala. Sementara bila menggunakan komponen impor harus mempertimbangkan banyak hal, termasuk hak kekayaan intelektual.

Kendaraan merk baru yang belum memiliki jaringan layanan purna jual juga akan menjadi hambatan. Hidayat mengatakan, karakteristik industri mobil ini sangat bergantung pada jaringan bengkel dan layanan suku cadang, sehingga masyarakat percaya dan mau menggunakan mobil tersebut.

Belum lagi soal keekonomisan produksi. Produksi kendaraan akan selalu memperhitungkan tingkat keekonomian suatu produk, sehingga jika peminatnya sedikit, tak mungkin mobil itu diproduksi massal. "Skala ekonomi ini benar-benar diperhitungkan dengan permintaan pasar yang ada," imbuh Hidayat.

Mobil Murah

Di tempat yang sama, Hidayat juga mengungkapkan, program mobil murah dan ramah lingkungan (low cost and green car/LCGC) telah menghasilkan komitmen investasi sebesar US$1,8 miliar, meski peraturan mengenai hal tersebut belum diluncurkan. "Selain itu investasi tambahan di tingkat industri komponen diperkirakan mencapai US$1,9 miliar dengan tambahan tenaga kerja baru antara 15 ribu sampai 17 ribu orang," ujar Hidayat.

Menurut dia, sejumlah produsen mobil dunia yang sudah memiliki pabrik di Indonesia telah berkomitmen ikut pada program LCGC tersebut antara lain Daihatsu, Suzuki, Toyota, Mitsubishi, dan Nissan. Dia juga mengatakan Indonesia harus mengembangkan LCGC karena tren otomotif dunia pada masa depan mengarah ke mobil ramah lingkungan dan hemat energi. Malaysia dan Thailand, lanjut dia, telah mengembangkan mobil sejenis LCGC. "Apabila Indonesia tidak mengembangkan dan memproduksi mobil jenis tersebut, maka dikhawatirkan pasar dalam negeri akan dimasuki oleh produk sejenis dari Malaysia dan Thailand," ungkapnya.

Ditegaskan Hidayat program LCGC terbuka untuk asing maupun produsen dari dalam negeri, sepanjang memenuhi kriteria antara lain kendaraan yang dibuat berjenis mobil serbaguna (MPV) bersilinder 1.000-1.200cc dengan konsumsi bahan bakar 20-22km/liter. "Program LCGC ini berlaku untuk semua industri otomotif di dalam negeri," ujarnya menjawab pertanyaan Dewan yang menilai program LCGC tidak memberi kesempatan kepada produsen dalam negeri seperti PT INKA, PT Dirgantara Indonesia, ataupun Kiat Esemka.

Kemenperin mengakui tengah mengembangkan program mobil murah dan ramah lingkungan atau Low Cost and Green Car (LCGC) guna mengantisipasi tren otomotif di masa mendatang. Program ini disiapkan agar pasar otomotif Indonesia tak mengalami serbuan dari produsen lain dari Malaysia dan Thailand yang sudah mengembangkan jenis mobil tersebut. "Program pengembangan mobil LCGC berlaku untuk semua industri otomotif di dalam negeri," kata Hidayat.

Diakui Hidayat, negara-negara di ASEAN seperti Malaysia dan Thailand saat ini tengah mengembangkan mobil berjenis LCGC. Bahkan kedua negara tetangga tersebut telah memproduksi jenis kendaraan tersebut. "Apabila Indonesia tidak mengembangkan dan memproduksi mobil jenis tersebut dikhawatirkan pasar dalam negeri akan dimasuki oleh produk mobil sejenis dari Malaysia dan Thailand," paparnya.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…