Menkeu Akui Utang Negara Terus Meningkat

Menteri Keuangan Sri Mulyani bicara blak-blakan soal utang negara dia mengakui utang RI memang meningkat sejak 2015, 2016, dan 2017. Namun tutur dia, hal itu tidak terlepas dari kegunaan dan penggunaan fiskal di APBN. Tiga belanja negara yang langsung berpengaruh ke perekonomian dinaikan yakni Dana Alokasi Khusus (DAK), dana desa, dan infrastruktur.

Selain itu anggaran perlindungan sosial masyarakat juga dinaikan dari Rp 75 triliun pada 2014 jadi Rp 215 triliun pada 2017. Begitupun dengan anggaran pendidikan naik dari sekitar Rp 300 triliun jadi Rp 447 triliun pada 2017.

Menurut Sri Mulyani, kenaikan anggaran untuk masyarakat itu dibiayai oleh APBN yang sebagian dananya berasal dari utang. Ia menangkis anggapan bahwa utang yang ditarik pemerintah menguap entah ke mana.

Sejak 2015 tutur Sri Mulyani, selain membangun jalan, bandara, pelabuhan, jutaan masyarakat bisa menikmati kehadiran negara lewat beberapa program. Misalnya melalui Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang meningkat jadi 91 juta orang, imunisasi anak anak umur 0-11 bulan, Program Keluarga Harapan (PKH), hingga program jaminan kesehatan yang naik 5 kali lipat.

Selain itu, ada juga program bidik misi untuk 450.000 siswa, Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk puluhan ribu siswa, hingga ribuan sekolah yang dibiayai lewat Bantuan Operasional Sekolah (BOS). " Ini untuk menjawab yang selama ini hoax menunjukan bahwa seolah-olah pemerintah tidak tahu ke mana utang itu pergi. Saya ingin sampaikan di sini, kami tahu. Ini adalah buktinya," kata Sri Mulyani.

Sedangkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menyebutkan saai ini pemerintah utang ribuan triliun itu digunakan untuk membangun infrastruktur, bukan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM). "Kalau dihitung infrastruktur yang dibangun sudah banyak sekali. Infrastruktur ada yang belum selesai, sebagian sudah, sebagian masih dibangun, dan ada yang masih diproses, tapi Anda sudah menghitung utangnya, jadi pada dasarnya tidak begitu hitungnya," kata

Dia memastikan. utang tersebut digunakan untuk kegiatan produktif, salah satunya untuk membangun infrastruktur. "Kalau meminjam untuk sesuatu yang produktif pada dasarnya oke, kecuali produktifnya tidak benar. Tapi ini benar. Namanya membangun sesuatu jangka panjang," ujar dia.

Darmin menegaskan, pemanfaatan utang tidak untuk sesuatu konsumtif. "Pemerintah kalau yang konsumtif itu masih dalam soal subsidi BBM. Kalau ini kan tidak, dipinjam karena kita perlu pembiayaan infrastruktur," tukasnya.

 

Pajak Rendah

 

Sedangkan Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS) Edy Mulyadi mengatakan, kemampuan pemerintah dalam mengoptimalkan pendatan negara dari pajak sangat rendah. Itu terlihat hingga September 2017 penerimaan pajak baru mencapai Rp770,7 triliun. Angka ini hanya 60% dari target yang ditetapkan dalam APBN-P 2017 sebesar Rp1.284 triliun.

Artinya, aparat pajak harus bekerja ekstra keras mengumpulkan Rp513 triliun sebelum 2017 berakhir. "Bisa saja pemerintah berkilah melorotnya penerimaan pajak karena situasi perkenomian nasional dan global yang tidak bersahabat. Itu bukan alasan, tapi lebih pada ketidak mampuan untuk mengejar wajib pajak, terutama yang kelas kakap," katanya.

Meski sambung, Edy, pajak sejak beberapa tahun silam memang menjadi penyumbang utama APBN. Pada APBN 2017 sebelum direvisi menjadi APBN-P, misalnya, kontribusi pajak dalam penerimaan negara mencapai Rp1.499 triliun alias 85,6% dari total penerimaan. 

Sayangnya, selama beberapa tahun terakhir perolehan pajak selalu meleset dari target. Hingga Oktober 2017, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp869,6 triliun. Ini artinya hanya 67,7% dari target APBNP 2017 yang Rp1.283 triliun. Padahal, target-target itu dalam APBN-P selalu sudah diturunkan. Contohnya, pada APBN 2017 sebelumnya pajak dipatok Rp1.498 triliun. Namun dalam APBN-P 2017 targetnya diturunkan Rp215 triliun menjadi Rp1.283 triliun.

Lebih jauh Edy menjelaskan tidak bisa dipungkiri, kinerja perpajakan kita memang jeblok, dimana sejak 2013-2017 perolehannya selalu tidak beringsut jauh dari 60% dari target (yang telah diturunkan). Pada 2013, cuma sekitar 63,18%. Bahkan pada 2015 dan 2016, masing-masing hanya 53% dan 58,4%. Satu-satunya yang agak menggembirakan terjadi pada 2014, itu pun hanya 64,16%. " Lagi-lagi jika pajak tidak bisa tercapai ujung-ujungnya bikin utang baru, itu yang terus menggerogoti APBN kita, karena beban bunga utang selalu bertambah. Belum lagi produktifitas dari utang itu yang masih terus dipertanyakan," tandasnya. (agus)

 

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…