Utang RI Sudah "Lampu Kuning"

Soal utang negara perlu menjadi perhatian, mengingat defisit anggaran primer terus naik secara signifikan. Ini menandakan beban bunga dan cicilan utang sudah cukup besar.

 

NERACA

 

Selama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) tercatat menambah utang sebesar Rp 1.258,67 triliun dalam kurun waktu tiga tahun dari tahun 2014 hingga 2017. Sementara itu, berdasarkan data yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI), hingga September 2017 posisi utang luar negeri pemerintah mencapai 172,37 miliar dollar, ditambah utang BI 175,91 miliar dollar.

Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengingatkan soal utang negara perlu menjadi perhatian, mengingat defisit anggaran primer terus naik secara signifikan. Ini menandakan beban bunga dan cicilan utang sudah cukup besar. “Penerimaan pajak kita turun, maka konsekuensinya untuk memenuhi bunga dan cicilan sebagian diambil dari utang yang baru.  Tentu saja ini mempengaruhi pada  produktifitas dari utang-utang yang kita tarik,” kata Enny saat menghadiri diskusi yang bertajuk  ‘Haruskah Negara Terus Ngutang?”.

Menurut Enny, beban semakin bertambah, karena proyek-proyek infrastruktur baru yang sumber pembiayaanya berasal dari utang tersebut tidak bisa menghasilkan uang atau arus kas baru lagi dalam jangka pendek.

Selain itu, kata Enny, ternyata pembangunan infrastruktur juga dianggap belum mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak, sehingga tidak berdampak pada kenaikan konsumsi masyarakat. “Padahal, konsumsi rumah tangga menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Dia mengatakan, penambahan utang yang dilakukan pemerintah tidak mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan penerimaan pemerintah. Sehingga secara cash flow, secara tata kelola keuangan, pemerintah tekor. “Jadi investasi terus, pengeluaran terus berlangsung, tapi pendapatanya justru menurun. Ini yang disebut, salah satunya menjadi risiko fiskal yang membahayakan kesinambungan fiskal dari pemerintah, ” katanya.

Meski begitu, lebih jauh Enny menjelaskan  jika proyek infrastruktur ditugaskan kepada BUMN, maka dampaknya tidak memberi multiplier effect yang besar kepada pembangunan nasional secara keseluruhan.Hal ini disebabkan karena BUMN hanya berpikir bagaimana mengerjakan proyek itu hingga selesai dan tidak memikirkan efek jangka panjang. “Saya pernah dengar pernyataan, setelah pembangunan proyek selesai maka aset yang dihasilkan dari proyek itu langsung dijual. Ibaratnya kalau biaya pembangunan Rp10 triliun lalu dijual Rp30 triliun, negara untung Rp20 triliun. Itu pola pikir yang salah, karena pembangunan infrastruktur itu tidak bisa disamakan dengan jual beli seperti itu,” jelasnya.

Namun begitu, menurut Enny lebih baik pemerintah memberi kesempatan kepada swasta untuk menggarap proyek-proyek infrastruktur strategis. Karena dengan begitu APBN tidak terbebani. “Kalau swasta kan memang orientasinya menghasilkan laba, penting agar swasta terlibat secara dalam pembangunan. Jika swasta dilibatkan, maka dunia usaha juga akan lebih bergairah, hal ini yang menjadi mesin penggerak konsumsi, yang akhirnya menggerakan pertumbuhan ekonomi itu sendiri,” terangnya.

 

Perlu Evaluasi

 

Pada kesempatan yang sama, Ekonom Universitas Brawijaya Candra Fajri Ananda menambahkan, utang masih belum menunjukan dampak yang signifikan. Meski pemerintah berdalih untuk pembangunan infrastruktur, tetapi dampaknya sangat panjang. “Dana desa mungkin bisa, buat bangun irigasi, kemudian muncul aktivitas ekonomi baru walaupun kecil-kecil. Tetapi yang gede-gede, seperti pelabuhan dan tol, itu butuh waktu. Apalagi kalau yang baru, ini yang tidak dikalkulasi,” kata Candra.

Karenanya, perlu dievaluasi lagi proyek paling strategis mana yang paling dinomorsatukan dan cepat menghasilkan dampak bagi pertumbuhan ekonomi. ‎Candra melihat, semua pembangunan infrastruktur tersebut sangat berlebihan. “Itu karena konsekuensi politik ya. Pak Jokowi sudah berjanji, kalau sudah ditulis RPJMN itu punya konsekuensi hukum. DPR bisa mempertanyakan, kenapa ini?,” ujarnya.

Menurut Candra, seyogyanya pembangunan infrastruktur ditunjang oleh pembiayaan yang memadai. Artinya, anggaran pembangunan infrastruktur harus ditinjau pula dari pos pendapatan negara, misalnya dari pos penerimaan perpajakan. Namun, pemerintah tidak bisa terlalu menggenjot sektor pajak, yang membuat pembiayaan anggaran ujung-ujungnya harus diambil dari utang. “Dari anggaran penerimaan negara dari perpajakan di APBN-P sebesar Rp1.472,7 triliun, sekitar sepertiga penerimaan pajak digunakan untuk membayar utang beserta bunganya. Untuk itu diperlukan evaluasi infrastruktur mana yang perlu diselesaikan terlebih dahulu. Saat ini pemerintah terkesan memaksa harus menyelesaikan pembangunan pada jangka waktu dekat ini,” jelasnya.

Candra yang kini juga menjabat sebagai Komite Badan Supervisi Bank Indonesia itu menyatakan, bahwa sebenarnya posisi utang Indonesia saat ini masih terkontrol. Hal ini terlihat dari rasio utang terhadap PDB Indonesia yang berada di posisi 28,1%. Meski demikian, efek dari pembangunan infrastruktur baru bisa dirasakan dalam jangka panjang, sekitar lebih dari 10 tahun. Sementara, utang pemerintah Indonesia sebagian besar jatuh tempo dalam 3-5 tahun.

Berdasarkan data dari Kemenkeu, jika dilihat dari posisi jatuh tempo, 39,7% dari total outstanding utang Indonesia jatuh tempo dalam lima tahun. Sementara 25,2% utang Indonesia jatuh tempo dalam tiga tahun dan 9,7% jatuh tempo dalam waktu satu tahun.

 “Untuk itu perlu dilakukan evaluasi lagi infrastruktur mana yang memang diperlukan. Dari beberapa bukti empiris di banyak negara memang infrastruktur itu mampu mendorong penyerapan kerja. Misalnya pembangunan jalan tol, proyek-proyek yang kalau dikelola dia bisa menghasilkan cost recovery. Kalau seperti tol laut, itu kan mahal biayanya. Itu destinasinya dari point to point terlalu jauh dari sini sampai Papua, padahal biasanya UKM butuhnya yang kecil-kecil pendek-pendek,” ucap Candra. (agus)

 

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…