Bantu Petani Bukan Lewat Globalisasi Tetapi Domestik

Oleh: Muhammad Razi Rahman

Menggunakan prinsip perdagangan bebas dalam rangka membantu perekonomian dalam negeri ternyata mendapatkan tantangan karena hal tersebut bukanlah seperti rumus matematika bahwa satu tambah satu adalah dua.

Ada banyak hal yang harus dibenahi agar Indonesia dapat memaksimalkan perdagangan bebas, yang menjadi ciri khas globalisasi, agar negeri ini bisa benar-benar menggunakan hal tersebut untuk menambah manfaat bagi kesejahteraan rakyat di Tanah Air. Karena bila tidak, maka instrumen globalisasi seperti perdagangan bebas hanya akan menjadi sarana derasnya masuknya barang impor murah.

Dampak negatif dari hal tersebut adalah langkah itu dapat memundurkan sektor manufaktur dan produksi domestik, termasuk pula sektor pertanian nasional. Untuk itu, tidak heran bila lembaga seperti Indonesia for Global Justice (IGJ) menyatakan perjanjian perdagangan bebas global tidak memberikan perlindungan kepada petani nasional sehingga sudah seharusnya pemerintah tidak lagi membahas hal tersebut.

Menurut Direktur IGJ Rachmi Hertani, perjanjian perdagangan bebas dan skema penyelesaian sengketanya di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tidak dibuat untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi petani Indonesia.

Rachmi berpendapat bahwa indikasi hal itu dapat dilihat dari kekalahan Indonesia di badan banding WTO terkait tudingan Amerika Serikat dan Selandia Baru yang tidak setuju kepada kebijakan pembatasan impor RI.

WTO memutuskan bahwa tindakan Indonesia atas kebijakan pembatasan impor hortikultura, produk hewan dan turunannya tidak konsisten dengan aturan GATT 1944 mengenai penghilangan hambatan perdagangan global.

Kekalahan Indonesia dalam kasus ini akan membawa dampak besar terhadap kebijakan pangan di Indonesia, antara lain karena penyesuaian kebijakan pangan Indonesia dengan aturan GATT 1994 dinilai akan bertentangan dengan semangat kedaulatan pangan dan merampas kesejahteraan petani.

Ia memaparkan, sesuai aturan WTO, maka Indonesia wajib segera melakukan penyesuaian kebijakan nasionalnya dengan aturan GATT dalam jangka waktu yang dapat dipertanggungjawabkan.

Jika tidak dilakukan, maka Indonesia harus memberikan kompensasi kepada Selandia Baru dan Amerika Serikat yang besarannya disepakati bersama. Bila tidak tercapai kesepakatan mengenai bentuk atau besaran kompensasi,maka kedua negara tersebut dapat meminta kepada WTO untuk mengajukan retaliasi atau tindakan balasan terhadap Indonesia.

Sementara itu, peneliti Bina Desa lembaga Achmad Yakub mengingatkan tidak mungkin menyerahkan kepentingan pangan sebagai keamanan nasional ke mekanisme perjanjian WTO yang dikenal sangat propasar, merugikan petani dan ekonomi bangsa Indonesia secara mendasar. Achmad bahkan menginginkan pemerintah Indonesia mendorong kerja sama alternatif yang berkeadilan sosial di luar WTO.

Lumbung Padi Organik

Pemerintah juga tidak tinggal diam. Dalam tataran nasional sektor pertanian misalnya, Presiden Joko Widodo memerintahkan secara khusus kepada Kementerian Pertanian Amran Sulaiman agar menjadikan Provinsi Kalimantan Tengah sebagai lumbung padi organik dengan luasan lahan tahap awal sekitar 300 ribu hektare.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman usai rapat koordinasi pangan di Palangka Raya, Kalteng, Senin (13/11), mengemukakan bahwa luasan sekitar 300 ribu hektare tersebut tersebar di Kota Palangka Raya, Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas.

Sedangkan untuk jenis padi organik yang ditanam, ujar dia, masih akan dilihat mana yang disenangi konsumen, mengingat antara lain karena target padi organik tersebut adalah untuk diekspor.

Program yang bagus tersebut juga harus benar-benar dipastikan jangan hanya indah di atas kertas, tetapi harus betul-betul diperhatikan hingga sedetil-detilnya serta melalui pengawasan yang ketat.

Untuk itu, tidak heran bila lembaga Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan pemerintah harus dapat memberikan pendampingan kepada petani padi organik di sejumlah daerah di Tanah Air.

Menurut Kepala Penelitian CIPS Hizkia Respatiadi, pendampingan tersebut juga harus dilakukan karena petani juga harus bisa memastikan sumber air yang digunakan untuk irigasi juga bebas dari polutan, karena sangat berkaitan dengan lahan yang digunakan untuk menanam padi organik itu.

Ia mengingatkan pengembangan padi organik masih menemui beberapa kendala antara lain dari hasil produksi padi organik lebih sedikit daripada padi anorganik. Hal tersebut, lanjutnya, disebabkan padi organik tidak menggunakan bahan kimia serta harganya juga relatif lebih mahal sehingga jarang populer di tengah masyarakat.

Dengan kata lain, Hizkia mengingatkan bahwa produk pertanian organik pada saat ini juga masih dianggap eksklusif oleh sebagian besar masyarakat.

Hizkia juga mengingatkan petani juga harus mulai belajar menggunakan teknologi sehingga perlu adanya tenaga penyuluh yang bisa mendampingi mereka dalam proses belajar dan transfer ilmu.

Berdasarkan kajian CIPS, pemerintah dinilai seharusnya lebih baik memberikan ilmu-ilmu bercocok tanam dan pemasaran agar petani dapat mandiri dan kreatif demi bersaing menghasilkan beras yang berkualitas.

Perlindungan Sosial Petani

CIPS juga mengingatkan pentingnya pemerintah dapat meningkatkan alokasi anggaran untuk program perlindungan sosial yang bermanfaat bagi keluarga petani seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Sejahtra (KIS) dan kartu Indonesia Pintar (KIP)," kata Kepala Bagian Penelitian CIPS Hizkia Respatiadi.

Menurut Hizkia, anggaran untuk benih, pupuk dan beras subsidi cukup besar senilai Rp52 triliun, atau dua kali lipat dari ketiga program sebelumnya.

Pemerintah, lanjutnya, dinilai juga dapat menerapkan program yaitu Asuransi Pertanian untuk Petani Padi (AUTP), yang bertujuan untuk mengompensasi kehilangan pendapatan petani akibat gagal panen yang disebabkan oleh banjir, kekeringan, hama maupun penyakit tanaman.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Viva Yoga Mauladi mengatakan, pemerintah perlu melindungi petani agar terus memproduksi beras meski pada 2018, program beras sejahtera (rastra) ditiadakan dan dikomplementer dengan program kartu bantuan pangan nontunai.

Menurut Viva, pada tahun 2017, dari hasil kajian 55 kota sehingga tidak seluruhnya memberikan hasil yang maksimal untuk penggunaan kartu bantuan pangan nontunai. Untuk itu, ujar dia, pihaknya akan membahas hal tersebut lebih lanjut dengan pemerintah. Politisi PAN itu berpendapat, Bulog sebagai penyedia cadangan beras pemerintah harus maksimal.

Sedangkan Wakil Ketua Komisi IV DPR Daniel Johan mengatakan pihaknya mendorong penggunaan alat dan mesin pertanian lokal yang tidak kalah mutunya dengan buatan luar negeri, sebagai upaya meningkatkan kecintaan terhadap produksi yang dibuat anak bangsa sendiri.

Menurut Daniel, penerapan produk lokal dinilai memiliki beragam manfaat seperti meningkatkan penyerapan banyak tenaga kerja, secara langsung mengurangi jumlah pengangguran serta meningkatkan penghasilan petani dan anggota keluarganya, serta meningkatkan kebanggaan terhadap produk nasional.

Selanjutnya, Anggota Komisi IV DPR Andi Akmal Pasludin menyarankan Perum Bulog perlu mendapatkan peran lebih besar agar dapat menyerap lebih banyak panenan petani yang tersebar di berbagai daerah sehingga menggenjot kinerja perekonomian sektor pertanian nasional.

Menurut Andi, peran besar terhadap Bulog tersebut karena perusahaan di bawah Kementerian BUMN itu sudah terbiasa dan telah berpengalaman serta telah terbukti kinerjanya yang makin bagus bila dilengkapi dengan gudang yang memadai untuk menyimpan komoditas dengan kualitas terjaga.

Komisi IV DPR juga mengakui bahwa Bulog sudah seharusnya dikuatkan peranannya, terutama mengingat bahwa lembaga tersebut telah mempunyai infrastruktur hingga tingkat kecamatan di berbagai daerah pelosok.

Apalagi, Perum Bulog juga telah meraih sejumlah penghargaan baru-baru ini, seperti penghargaan sebagai BUMN yang Berpredikat Sangat Bagus Atas Kinerja Keuangan Selama Tahun 2016 dalam penganugerahan Infobank BUMN Awards 2017.

Penghargaan tersebut berdasarkan rating oleh Biro Riset Infobank terhadap BUMN atas kinerja keuangan mereka Tahun 2015-2016. Hasil rating menunjukkan 56 perusahaan meraih predikat sangat bagus, 24 perusahaan dengan predikat bagus, dan 28 perusahaan mendapat predikat tidak bagus.

Bulog dinilai sukses meningkatkan kinerja bisnisnya selama 2016, dengan total pendapatan usaha Rp34,76 triliun meningkat 7,63 persen daripada tahun sebelumnya. Singkat kata, mendongkrak taraf kesejahteraan petani Indonesia bukanlah difokuskan melalui instrumen globalisasi seperti perjanjian perdagangan bebas, namun melalui beragam kebijakan domestik yang difokuskan dan berpihak kepada kalangan petani nusantara. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…