NERACA
Jakarta---Rencana pembatasan BBM bersubsidi dan kenaikkan tariff dasar listrik (TDL) makin membuat rakyat tidak nyaman hidup. Dua kebijakan tersebut sama-sama membingungkan rakyat. Apalagi sesame pejabat tak sinkron pernyataannya. Padahal kemarin Menkeu Agus Marto memastikan 1 April 2012 TDL naik maksimal 10%. Namun Dirjen Listrik ESDM membantahnya. "Sesuai nota keuangan APBN 2012, TDL naik 10%, tidak ada kata maksimal, semuanya 10%," kata Dirjen Listrik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jarman kepada wartawan di Jakarta
Yang jelas, Jarman mengaku masih merasa heran dengan pernyataan Menkeu. "Gitu ya ngomongnya. Setahu saya, sesuai nota keuangan TDL naik 10%, tidak ada nantinya 7% atau 8%," tandasnya.
Ditempat terpisah, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan dua kebijakan pemerintah soal BBM dan TDL yang secara bersamaan tak bisa diterima akal sehat. "Kalau secara rasionalitas, kedua kebijakan itu (BBM dan listrik) rasional. Tapi kalau berbarengan terlalu berat buat konsumen. Jadi waktunya jangan bersamaan," ujarnya
Tulus mengatakan, saat ini yang paling penting adalah kebijakan soal pembatasan konsumsi BBM subsidi yang paling banyak "memakan" dana subsidi. "Jadi pembatasan BBM subsidi dulu baru nanti mungkin di kuartal berikutnya dilakukan kenaikan TDL tersebut. Pemerintah harus mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat. Rakyat bisa terjepit," tegasnya
Kebijakan pembatasan konsumsi BBM subsidi, kata Tulus, konsepnya sama dengan menaikkan harga BBM sebesar 100%. Ini terasa bagi pemilik mobil pribadi. "Jadi intinya baik pembatasan BBM maupun kenaikan TDL rasional namun jangan dibarengkan seperti itu," jelas Tulus.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani mengungkapkan kenaikan TDL secara bertahap merupakan pilihan yang lebih bijaksana. “Kalau 10% besarannya, ya jangan naik sekaligus. Lebih baik bertahap karena kita akan lebih menyiapkan diri. Di-spread waktunya,mungkin selama 10 bulan,”ujarnya
Haryadi mengingatkan pengusaha Indonesia baru saja dibebani dengan kenaikan upah dan bersiap menghadapi kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Karena itu, perlu ada keputusan bijak pemerintah dalam kenaikan TDL. Namun, Haryadi mengakui sebagai pengusaha pihaknya hanya bisa pasrah dengan rencana kebijakan kenaikan TDL per 1 April. “Kita kan barusan kena masalah buruh. Ini TDL mau dinaikkan. Jangan yang dihantam industrinya terus. Kita tidak tahu kenapa risiko fiskalnya dibebankan ke kita. Kalau bisa sih jangan naik,” tandasnya.
Senada dengan Haryadi, Ketua Umum Umum Badan Pimpinan Pusat (BPP) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Wiryanti Sukamdani meminta agar pemerintah menaikkan TDL secara bertahap. “Kalau tentunya naik, sebaiknya bertahap jadi orang bisa bikin perencanaan yang lebih baik. Kalau naik, tolong ada kompensasi, ada alternatif,” imbuhnya. **cahyo
Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini NERACA Jakarta - Bangkok RHVAC 2024 dan…
NERACA Jakarta - Ekonom Josua Pardede mengatakan defisit fiskal Indonesia berpotensi melebar demi meredam guncangan imbas dari konflik Iran…
NERACA Jakarta – Presiden RI Joko Widodo meminta agar tim Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan kementerian…
Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini NERACA Jakarta - Bangkok RHVAC 2024 dan…
NERACA Jakarta - Ekonom Josua Pardede mengatakan defisit fiskal Indonesia berpotensi melebar demi meredam guncangan imbas dari konflik Iran…
NERACA Jakarta – Presiden RI Joko Widodo meminta agar tim Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan kementerian…