APHA: Pemerintah Cukup Jadi Pendamping Masyarakat Adat

APHA: Pemerintah Cukup Jadi Pendamping Masyarakat Adat

NERACA

Jakarta - Pembangunan masyarakat adat sebaiknya dilakukan oleh masyarakat itu sendiri, sedangkan pemerintah cukup sebagai pendamping, tidak perlu terlalu mencampuri, agar proses pembangunannya lebih optimal.

"Pandangan terhadap masyarakat adat dari pemerintah dan DPR sering keliru, akibatnya banyak kebijakan pemerintah terkait dengan pembangunan masyarakat adat tidak berjalan baik bahkan justru bersifat kontraproduktif," kata Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, Dr Laksanto Utomo di Jakarta, sebagaimana dikutip Antara, kemarin.

Ia menyampaikan itu terkait adanya Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Masyarakat Adat yang menyamakan masyarakat adat dengan masyarakat tradisional.

Masyarakat adat, ujar dia, telah hidup secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu, memiliki asal usul leluhur dan kesamaan identitas budaya, hukum adat, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum.

Dengan demikian, mereka itu sesungguhnya telah mempunyai nilai-nilai pranata kehidupan, termasuk di dalamnya sistem hukum jika terjadi perselisihan."Sistem hukum mereka kadangkala justru lebih baik dari sistem hukum yang kita anut selama ini," kata Laksanto seraya menyebutkan contoh dalam menyelesaikan sengketa pertanahan di antara mereka juah lebih murah, cepat dan sederhana.

"Jika para ketua adat sudah menyepakati terhadap sesuatu yang diperselisihkan, semua anggota masyarakat adat akan tunduk dan menghormatinya. Itulah yang mestinya kita belajar dari mereka," kata Laksanto.

Di tempat terpisah, dosen Pertanahan Universitas Pancasila Jakarta, Dr Kunthi Tridewiyanti menambahkan, terkait adanya usulan untuk menyamakan pandangan terhadap masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional, APHA pekan lalu telah merumuskan usulan perbaikan dalam penyempurnaan RUU Masyarakat Adat.

Rumusan yang diketuai Prof Dr Dominikus Rato, dari Universitas Negeri Jember berdasarkan hasil seminar nasional yang diikuti oleh para pengajar hukum adat dan hukum agraria dari berbagai Fakultas Hukum Universitas se-Indonesia mengusulkan agar nomenklatur RUU Masyarakat Adat perlu ditinjau kembali agar tidak ada kerancuan antara Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Adat dan Masyarakat Tradisional.

RUU itu masih menyebut tiga kelompok sehingga akan membingungkan dan membuat kerancuan di kemudian hari, karena masyarakat hukum adat berbeda dengan masyarakat adat dan keduanya juga berbeda pengertiannya dengan masyarakat tradisional. Ant

 

 

BERITA TERKAIT

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…