DANA TRANSFER DAERAH MENINGKAT - Ironis, Kelola Anggaran Daerah Belum Efektif dan Efisien

Jakarta – Sejak otonomi daerah digulirkan, kemandirian pemerintah daerah dalam mengelola anggaran daerah menjadi harapan besar bagi pemerintah pusat bisa meringankan kesenjangan ekonomi antara pusat dan daerah. Bahkan guna membantu pembangunan pemerintah daerah, dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang disuntikan pemerintah pusat tidak pernah putus dan bahkan angkanya terus meningkat. Namun ironisnya, APBN yang dialokasikan ke daerah dinilai tak diikuti pengelolaan efektif dan efisien.

NERACA

Direktur Jenderal (Dirjen) Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Boediarso Teguh Widodo mengatakan, anggaran transfer ke daerah dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dari alokasi Rp 81 triliun pada saat launching program desentralisasi fiskal di awal 2000, hingga saat ini sudah menjadi Rp 766 triliun. Begitu pula alokasi anggaran belanja di APBD dalam kurun waktu yang sama, juga meningkat hampir 12 kali lipat dari Rp 93 triliun kini menjadi Rp 1.097 triliun.”Kenaikan dari belanja APBD dan transfer tadi ternyata tidak diikuti dengan pengelolaan anggaran yang efektif dan efisien,"ujarnya di Jakarta, Rabu (22/11).

Menurut dia, transformasi pengelolaan keuangan negara merupakan suatu kebutuhan yang mendesak dan krusial. Perlu untuk segera dilakukan transformasi tersebut, mengingat pengelolaan APBN dan APBD masih terdapat celah-celah yang masih bisa diperbaiki agar bisa lebih efektif, efisien, optimal dan produktif. Disebutkan, ada 4 indikator yang menunjukkan pengelolaan anggaran daerah yang belum efektif dan efisien.

Sebut saja, mulai dari belanja pegawai yang jauh lebih besar dari porsi belanja modal, hingga realisasi belanja modal yang lambat.”Realisasi belanja modal lambat dan simpanan Pemda di bank makin tahun makin meningkat. Diperparah lagi terdapat ketimpangan dalam layanan publik antar daerah. Pada akses air bersih di Balikpapan misalnya, mencapai 98%. Kalau kita lihat sebaliknya di Papua baru 4%. Di kesehatan, untuk Aceh telah terdapat 15 berbanding 100 ribu tenaga kesehatan. Di Kupang, baru 1,4 per 100 ribu yang dilayani tenaga kesehatan," ujar Budiarso.

Lebih menyedihkan lagi, lanjutnya, terdapat 361 kepala daerah yang terlibat kasus korupsi dari 542 daerah. Di antaranya 18 gubernur, dan 343 bupati atau wali kota. Korupsi terbesar ada pada pelaksanaan dari pengadaan konstruksi bangunan. Asal tahu saja, sebelumnya Presiden Joko Widodo pernah mengeluhkan inefisiensi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Menurut dia, pengelolaan anggaran jajaran pemerintahan selama ini hanya berorientasi kepada prosedur, bukan hasil. “Saya sudah cek satu per satu banyak sekali inefisensi itu. Setiap kegiatan yang ada coba dilihat satu per satu, tidak jelas hasil yang dicapai," kata Jokowi.

Orientasi Bukan Hasil

 

Jokowi kerap kali menyatakan bahwa baik di pusat dan daerah, jajaran pemerintahan dan aparatur sipil negara hanya sibuk mengurus Surat Pertanggungjawaban (SPJ). Dirinya menceritakan, kerap menemukan hal itu saat berkunjung ke daerah dan bertemu dengan kepala sekolah, kepala dinas, kepala desa, dan tim penyuluh.”Banyak tidak ada keterkaitan program dengan sasaran pembangunan. Lepas sendiri sendiri. Kalau dirinci lagi, tak sesuai maksud dan enggak jelas juga,"tandasnya.

Hal ini menurutnya terjadi tak lepas dari banyaknya aturan pertanggungjawaban anggaran. Aturan induk, kata Jokowi, bisa beranak-pinak dari 44 menjadi 108 hingga 112 aturan.
"Ini bekerja buat laporan atau hasil sesuatu? Laporan itu yang paling penting gampang dicek, kontrol, diikuti hasilnya," tuturnya.

Sehingga, dia kali ini kembali menginstruksikan para pembantunya, kepala daerah, dan pelaku sektor perekonomian fokus pada hasil kinerja dan pembangunan. Menurut Jokowi, memaksimalkan hasil kerja dan pembangunan dapat dicapai apabila turut menyederhanakan sistem akuntasi terkait laporan yang ada.

Sementara Sekretaris Jenderal Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yenny Sucipto menuturkan, terdapat tiga masalah besar yang masih memperburuk kualitas penganggaran semua pemerintah daerah di Indonesia. Masalah pertama, menurut Yenny, masih kuatnya aspek teknokrasi di penganggaran mayoritas Pemda. Akibatnya, banyak perencanaan anggaran di daerah yang tak sinkron dengan pemerintah pusat. Ujungnya, laju serapan anggaran di daerah menjadi lamban.
Sementara masalah kedua berkaitan dengan mekanisme administrasi tender pengadaan yang tidak memperhatikan kebutuhan percepatan realisasi anggaran. Yenny mencatat banyak pemda belum berinisiatif menggelar tender di awal tahun, padahal prosesnya biasa memerlukan waktu hingga berbulan-bulan. “Tender bagian dari masalah penyerapan anggaran yang tidak maksimal. Tender memang butuh waktu panjang sebulan atau dua bulan. Tetapi kenapa tidak dilakukan di awal Januari saja (awal tahun anggaran)," kata Yenny.

Adapun masalah ketiga, menurut Yenny, berkaitan dengan minimnya transparansi anggaran di hampir semua daerah. Situasi ini mengakibatkan tingkat partisipasi publik dalam penganggaran pemda belum terbangun maksimal.”Kontrol masyarakat penting, (terutama di proses perencanaan dan pembahasan, agar anggaran tidak kemudian dimanfaatkan oleh elit-elit politik (korupsi)," ujar dia.
Persoalannya, Yenny berpendapat, selama ini tidak ada sanksi jelas bagi pemda yang belum menerapkan transparansi anggaran. Semestinya, dengan perkembangan pesat internet, semua pemda kini mudah memakai beragam medium penyampai informasi anggaran ke publik. Yenny mencatat, dari 70 daerah yang diteliti oleh lembaganya, baru 60% yang menjalankan komitmen transparansi anggaran secara serius.”Tetapi kemudian tidak hanya dalam transparansi saja. Tapi tindak lanjutnya apa. Apakah kemudian masyarakat diikutsertakan terhadap transparansi anggaran atau tidak,"tandasnya.

Sementara Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan, kini kementeriannya sedang berfokus untuk mengerek kualitas pengelolaan anggaran di kalangan aparatur pemerintahan desa.”Fokus saya memperkuat struktur aparatur desa. Bagaimana aparat desa mampu merencanakan pembangunan desa, mampu mengurus peraturan desa," ujar dia.

Menurut Tjahjo, pemerintahan desa, yang kini memiliki kewenangan besar dalam penggunaan anggara, juga perlu memahami pentingnya menjalankan pembangunan yang selaras dengan strategi nasional. bani/munib

 

 

 

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…