Waspada Arus Kas APBN 2017

Oleh: Joko Tri Haryanto, Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu *)

Menjelang akhir tahun 2017, Pemerintah berusaha mengejar target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%. Meskipun dirasa berat, namun optimisme masih tetap ada. Salah satu opsi yang dijalankan ialah percepatan belanja APBN sebagai salah satu stimulus utama dalam menggerakkan roda ekonomi di sektor riil. Hingga 31 Agustus 2017, realisasi belanja negara sudah mencapai Rp1.198,26 triliun atau 56,16% dari target APBN-P 2017. Dari komposisinya, belanja pemerintah pusat mencapai Rp695,66 triliun atau 50,9% dari target sementara Transfer ke Daerah dan Dana Desa mencapai Rp502,6 triliun atau 65,6%.

Di sisi lain, realisasi penerimaan negara telah mencapai Rp1.283,57 triliun atau 53,5% dengan kontribusi penerimaan pajak mencapai Rp685,6 triliun atau tumbuh 10% dibandingkan realisasi tahun 2016. Secara nominal, realisasi belanja negara lebih lambat dibandingkan realisasi tahun sebelumnya yang mencapai Rp1.135,00 triliun atau 60,88%. Hal ini menyebabkan muncul pemikiran mempercepat realisasi belanja negara demi upaya mengejar target pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun (Kontan, 8 September 2017).

Namun demikian, percepatan realisasi belanja negara memiliki konsekuensi pelebaran defisit APBN. Hingga akhir Agustus 2017 saja, realisasi defisit APBN sudah mencapai Rp224,35 triliun atau 1,65% PDB. Posisi ini masih lebih baik dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun sebelumnya tapi sayangnya sisa waktu tinggal enam bulan ke depan. Biasanya, menjelang penutupan akhir tahun pemerintah wajib ekstra dalam mencermati posisi arus kas APBN. Hal ini tak lepas dari tekanan realisasi belanja negara yang biasanya meningkat drastis di akhir tahun, terutama belanja yang sifatnya mengikat seperti belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja susbidi serta pembayaran bunga utang.

Padahal, jika merujuk kepada teori penganggaran publik, dalam konteks makro ekonomi penyerapan anggaran menjadi indikator utama penilaian efisiensi alokasi sumber daya. Semakin optimal penyerapan anggaran di sebuah negara, mengindikasikan adanya efisiensi dalam pengalokasian dan sebaliknya. Dengan dasar pemikiran keterbatasan sumber daya, sangat diperlukan strategi pengelolaan sumber daya yang terbatas untuk mencapai hasil yang optimal. Hal ini berarti memberi penekanan bahwa akurasi penetapan pilihan pengalokasian anggaran menjadi kunci mewujudkan kualitas belanja, sehingga besaran alokasi anggaran yang telah ditetapkan seharusnya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pencapaian target pembangunan.

Terakumulasinya penyerapan pada akhir periode tahun anggaran juga berpotensi meningkatkan inflasi, serta berpotensi mereduksi terjaganya kualitas output/outcome. Sejalan dengan hal itu, pola penyerapan yang menumpuk pada akhir tahun dapat menjadi faktor yang kontra produktif terhadap arah kebijakan fiskal dalam menjaga keseimbangan arus kas APBN.

Ini terbukti pada Oktober tahun 2016 lalu, besaran total defisit sudah hampir terlampaui. Lebih menariknya mencermati pernyataan beberapa pengamat yang menyebutkan bahwa jumlah defisit yang terjadi sebetulnya tidak mencerminkan jumlah dana riil yang dimiliki oleh pemerintah. Ada beberapa penerimaan negara yang dicatatkan, namun sejatinya dana tersebut tidak pernah masuk di dalam kantong APBN seperti misalnya Penerimaan Negera Bukan Pajak (PNBP).

Pentingnya Tax Reform

Tak salah jika kemudian Menkeu dalam banyak kesempatan berulang kali meyakinkan semua pihak untuk mendukung keberhasilan program tax reform. Dalam berbagai pendekatan, Menkeu mengatakan bahwa tax reform merupakan kunci utama pemerintah dalam menghindari terjadinya tekanan fiskal akibat defisit yang tidak terkendali. Untungnya, realisasi penerimaan perpajakan relatif meyakinkan sehingga dapat dikombinasikan dengan kebijakan perpajakan lainnya. Beberapa obyek pajak besar pun terus dikejar demi mengamankan uang negara yang menguap tak bertuan. Namun demikian, jika akhirnya program tax reform ’memble’ di tengah jalan, opsi terakhir bagi pemerintah ialah penarikan utang.

Sayangnya opsi ini sangat berisiko dan penuh dengan tekanan politik. Dengan pelebaran defisit yang sudah ada, muncul tambahan kebutuhan pembiayaan sebesar Rp37 triliun hingga Rp40 triliun dengan total mencapai Rp370,17 triliun. Untungnya pemerintah masih terus berusaha memaksimalkan sumber-sumber utang domestik melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) bertenor pendek. Sejujurnya pemerintah juga perlu mengkaji strategi peningkatan pendapatan melalui perluasan basis pengenaan cukai. Cukai kemasan plastik, cukai minuman berkarbonasi, cukai kendaraan bermotor menjadi sejumlah obyek yang layak untuk dikaji secara mendalam.

Sebagai catatan akhir, kemauan pemerintah untuk lebih melonggarkan defisit kumulatif hingga merupakan strategi menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang sedang menggeliat sekaligus menjaga kepercayaan pasar. Terbukti dalam kurun empat tahun terakhir, pemerintah sanggup mengelola defisit dalam range yang aman dan terkendali. Kita justru seharusnya khawatir dengan tekanan defisit keseimbangan primer yang relatif berfluktuasi. Jika nantinya di akhir tahun angka tersebut betul-betul terwujud, maka pasar akan menerima karena sudah direncanakan sebelumnya. Sebaliknya, jika pemerintah mampu menekan defisit hingga di bawah target, maka level confidence pasar akan meningkat dan menganggap bahwa pemerintah benar-benar ada dan bekerja. (www.kemenkeu.go.id) *)Tulisan ini adalah pendapat pribadi

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…